PENARI putri dari Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI)
Surakarta itu mula-mula bergerak lembut, melangkah ke pentas.
Mendadak kakinya menyibak kain, dan dengan loncatan besar dia
menjelajah ruang.
Gerak itulah yang membuat kaget seorang peserta dari Sekolah
Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Surabaya, dalam Festival
Penata Tari III, 31 Januari sampai dengan 2 Februari, di Taman
Ismail Marzuki.
Tak pelak lagi, salah satu contoh kasus tersebut, membuktikan
bahwa festival ini memang penting. Misalnya, seperti contoh
tersebut, seni tari tradisi Sala yang dikenal sebagai seni tari
yang halus, setelah mendapat sentuhan anak-anak mudanya
mengalami perubahan yang bisa membuat rasa risih bagi mereka
yang kurang lapang dada. Sementara bayangan orang di luar Sala
tentang seni tari Sala masih berkisar pada Tari Srimpi.
Dan harus dipuji, bahwa sejak festival ini diadakan pertama
kalinya, tiga tahun yang lalu, sampai kini tetap mampu
menyiratkan kegairahan dan kebebasan kreatif. Pantas dicatat
predikat 'muda' dalam festival ini lebih merupakan predikat
untuk menandai, bahwa mereka itu jarang tampil di depan khalayak
nasional. Atau, masih baru menampilkan beberapa ciptaan saja.
Dalam soal kualitas, belum tentu mereka kalah dengan penata tari
yang telah kesohor.
Boleh dikata segenap penata tari yang ikut ambil bagian
berlatar belakang seni tari tradisi. Karena itu kita harus
hati-hati dalam menilai. Harus diingat, di balik karya yang
aneh-aneh itu, yang sering menerjang kaidah seni tradisi yang
sudah mapan, sedang terjadi sesuatu.
Para pencipta tari itu bisa dilihat sebagai wakil dari
pergulatan yang sedang terjadi dalam diri anak-anak muda.
Biasanya mereka adalah seniman tari tradisi terbaik dari
lingkungannya, yang kemudian menunjukkan arah perkembangan yang
tidak lagi sekedar gerak tangan lembut atau langkah berirama.
Lebih kurang karya cipta mereka merupakan hasil pertarungan
antara ikatan nilai-nilai tradisi dan tawaran kebebasan 'zaman
modern'.
Tapi anehnya, hal itu tak begitu terasa di daerah masing-masing.
Di Sala, misalnya, perkembangan semacam yang ditunjukkan ASKI
Sala itu bisa disambut 'lemparan telur busuk'. Maka festival ini
pun bisa dilihat, dan karenanya menjadi penting, sebagai wadah
dan saksi satu-satunya dari ekspresi nilai-nilai yang diam-diam
tersimpan dalam kegelisahan banyak anak muda di daerah.
Tapi tentu saja masing-masing daerah memperlihatkan kadar
perkembangan sendiri. Meski mereka, para penata tari muda itu
dan juga penari-penarinya, bisa saja berasal dari daerah yang
sama, dan mempunyai basis seni tari tradisi yang sama pula.
Lihat saja, bagaimana mereka yang dari daerah merasa terganggu
dengan lampu-lampu disko, yang memang tak dijumpai dalam teater
tradisional. Sementara teman-teman mereka yang telah lama
bermukim di Jakarta, lampu disko sudah menjadi bagian dari
permainan mereka. Seperti juga mereka tak lagi berpikir betapa
sesaknya rongga dada mereka dengan asap dan debu dari jutaan
knalpot yang menyembur ke dalam udara Jakarta.
Maka satu penilaian yang mencoba mencari keutuhan dan kadar
tradisinya, ketrampilan tekniknya, kecocokan temanya atau
ketepatan iringan instrumennya, agaknya kurang tepat. Yang
terlebih perlu diperhatikan dan dipertahankan adalah adanya
jaminan bahwa forum Festival Penata Tari Muda ini tetap
berlanjut. Dan kemudian diperlukan kerendahan hati untuk secara
lebih saksama membaca gejala dan mampu menimba pelajaran dari
mereka yang sering, oleh para seniman senior, disebut sebagai
'baru mencari bentuk' atau baru mencapai tahap embrio saja,
alias belum berkembang.
Justru, mereka, dalam ciptaannya, sering telah menjawab
tantangan zaman yang kita sendiri tak peka menangkapnya.
Sardono W. Kusumo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini