Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Korban-Korban Pulau Simardan

Para tahanan di lp pulau simardan mengalami penyiksaan oleh para petugas lp. korban antara lain, ucok miskun, sunar dan sunardi. kematian ucok tanpa divisum. (krim)

14 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SARPIN menangis ketika membuka borgol yang masih meliliti pergelangan kaki kiri jenasah adiknya, Syamsurman alias Ucok. Saya akan simpan borgol besi ini sebagai bukti kekejaman orang LP memperlakukan adik saya -- bukan saja semasa hidupnya, tapi juga setelah ia mati," keluh Sarpin, penduduk Jalan Rumah Potong di Desa Kapias, Tanjungbalai, Sum-Ut. Sarpin tak mungkin melupakan keadaan jenasah adiknya yang penuh bekas penganiayaan -- pipi, dagu, dada, perut membengkak dan seperti bekas sundutan api rokok di sekitar kemaluannya -- ketika diterimanya dari tangan petugas. Karena itu cepat Sarpin berseru -- entah kepada siapa: kematian Ucok harus diusut. Pihak yang menahan, kejaksaan, dan yang mengurusnya, LP (Lembaga Pemasyarakatan) Pulau Simardan, dimintanya pula bertanggungjawab. Seruan Sarpin diteruskan suratkabar Medan. Dan sebuah tim pemeriksa dari Kantor Ditjen Pemasyarakatan segera terpanggil melakukan penyelidikan di Pulau Simardan. Hasilnya belum diumumkan. Tapi di luaran telah telanjur beredar kisah tentang keseraman LP Pulau Simardan: "Seperti rumah penjara zaman kolonial saja," komentar Ketua LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Medan, Mahjoedanil. Apa yang terjadi pada Ucok, 23 tahun, adalah seperti yang masih sering dialami pesakitan masa kini. Ia, penarik becak, ditahan karena dituduh memperkosa adik iparnya, Nadrah, pelajar SD kelas 4. Selama lima bulan dalam penjara cukup banyak penderitaan yang diceritakan kepada istrinya. Makanannya sangat buruk. Ia disiksa oleh petugas LP dan dianiaya sesama penghuni penjara. Ia juga diperas oleh mereka. Begitu keluhnya, seperti diceritakan kembali oleh istrinya, Dewi (20 tahun), yang setia membezuknya -- meski sedang mengandung tua. Berlebihan? Boleh jadi. Yang jelas, sehari sebelum mati, Ucok masih sempat dibawa jaksa ke pengadilan. Tapi, sidang tak mungkin berlangsung, karena untuk duduk di muka hakim pun Ucok sudah tak mampu lagi. Tanpa Visum Besoknya, 14 Januari sekitar pukul 13.00, Ucok dibawa ke rumahsakit. Namun, dokter hanya sempat merawatnya kurang dari dua jam. Pesakitan yang malang itu meninggal dunia dengan kaki tetap terborgol pada tempat tidurnya. Pihak RSU Tanjungbalai tak mau menjelaskan sebab-sebab kematian Ucok. Sedangkan visum et repertum, yang harus dibuat dokter untuk menjelaskan sebab-sebab kematiannya, ternyata tak ada. "Kalaupun ada," kata seorang dokter di sana, "itu hanya diberikan kepada polisi." Penguburan Ucok yang tanpa divisum terlebih dulu ternyata mengundang perhatian polisi. Setelah memeriksa beberapa orang -- baik petugas LP maupun penghuni penjara -- Danres Kepolisian Asahan, Letkol Soedarman, juga berminat membongkar kembali kuburan Ucok. Minggu ini rencana tersebut dilaksanakan. Penganiayaan dan kekejaman yang terjadi di LP Pulau Simardan, ternyata tak diketahui oleh Pimpinan LP. "Saya tidak tahu." kata J. Malau, pejahat di sana. "Tapi saya akan memeriksa seluruh pegawai dan terutama tahanan yang sekamar dengan Ucok -- mana tahu mereka yang menganiaya." Tapi beberapa tahanan tahu benar apa yang terjadi. Dari mereka yang kini menginap di rumahsakit, tentunya, dapat diperoleh cerita seram dari LP Pulau Simardan. Dari Miskun (33 tahun), misalnya, yang masuk RSU Tanjungbalai sehari setelah kematian Ucok. Penyakitnya, kata tahanan yang sudah lima bulan di sana karena dituduh mencuri gergaji mesin, tak lain akibat perlakuan petugas penjara yang sangat buruk. Ia, katanya dipukuli petugas dan sesama penghuni penjara (ia dapat menyebutkan nama si pemukul). Kaki Miskun masih terborgol di tempat tidurnya. Tapi kesehatannya mulai membaik. Lain dengan Sunar (20 tahun), penarik ojek, yang masuk penjara -- sebagai tahanan -- karena dituduh hendak membunuh calon mertuanya. Sampai akhir bulan lalu ia masih terus mengerang kesakitan. Menurut perawatnya, Sunar masuk rumahsakit 15 Januari, dalam keadaan pigsan. Pahanya yang masih bengkak, kata perawat tadi, mungkin disebabkan patah tulang. Padahal Sunar baru dua hari jadi penghuni LP Pulau Simardan. Pada hari pertama, begitu kakinya menginjak halaman dalam penjara, kekejaman menyambutnya: seseorang menghantam pahanya dengan sepotong batubata. Tak seorang petugas penjara pun yang berniat menolongnya. Keluhan Sunar dapat disambung dengan cerita yang tak kurang sedihnya dari Saridi. Tahanan ini, yang masuk rumahsakit bersama almarhum Ucok, dapat menyebutkan nama-nama orang yang menganiayanya. Ia tak tahu berapa lama tak sadarkan diri setelah dipukuli beramai-ramai karena dipersalahkan membantah perintah petugas. Padahal ketika itu, katanya, ia benar-benar lagi sakit. Sunar ditahan karena dituduh melarikan janda kembang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus