SARPIN menangis ketika membuka borgol yang masih meliliti
pergelangan kaki kiri jenasah adiknya, Syamsurman alias Ucok.
Saya akan simpan borgol besi ini sebagai bukti kekejaman orang
LP memperlakukan adik saya -- bukan saja semasa hidupnya, tapi
juga setelah ia mati," keluh Sarpin, penduduk Jalan Rumah Potong
di Desa Kapias, Tanjungbalai, Sum-Ut.
Sarpin tak mungkin melupakan keadaan jenasah adiknya yang penuh
bekas penganiayaan -- pipi, dagu, dada, perut membengkak dan
seperti bekas sundutan api rokok di sekitar kemaluannya --
ketika diterimanya dari tangan petugas. Karena itu cepat Sarpin
berseru -- entah kepada siapa: kematian Ucok harus diusut. Pihak
yang menahan, kejaksaan, dan yang mengurusnya, LP (Lembaga
Pemasyarakatan) Pulau Simardan, dimintanya pula
bertanggungjawab.
Seruan Sarpin diteruskan suratkabar Medan. Dan sebuah tim
pemeriksa dari Kantor Ditjen Pemasyarakatan segera terpanggil
melakukan penyelidikan di Pulau Simardan. Hasilnya belum
diumumkan. Tapi di luaran telah telanjur beredar kisah tentang
keseraman LP Pulau Simardan: "Seperti rumah penjara zaman
kolonial saja," komentar Ketua LBH (Lembaga Bantuan Hukum)
Medan, Mahjoedanil.
Apa yang terjadi pada Ucok, 23 tahun, adalah seperti yang masih
sering dialami pesakitan masa kini. Ia, penarik becak, ditahan
karena dituduh memperkosa adik iparnya, Nadrah, pelajar SD kelas
4. Selama lima bulan dalam penjara cukup banyak penderitaan yang
diceritakan kepada istrinya. Makanannya sangat buruk. Ia disiksa
oleh petugas LP dan dianiaya sesama penghuni penjara. Ia juga
diperas oleh mereka. Begitu keluhnya, seperti diceritakan
kembali oleh istrinya, Dewi (20 tahun), yang setia membezuknya
-- meski sedang mengandung tua.
Berlebihan? Boleh jadi. Yang jelas, sehari sebelum mati, Ucok
masih sempat dibawa jaksa ke pengadilan. Tapi, sidang tak
mungkin berlangsung, karena untuk duduk di muka hakim pun Ucok
sudah tak mampu lagi.
Tanpa Visum
Besoknya, 14 Januari sekitar pukul 13.00, Ucok dibawa ke
rumahsakit. Namun, dokter hanya sempat merawatnya kurang dari
dua jam. Pesakitan yang malang itu meninggal dunia dengan kaki
tetap terborgol pada tempat tidurnya.
Pihak RSU Tanjungbalai tak mau menjelaskan sebab-sebab kematian
Ucok. Sedangkan visum et repertum, yang harus dibuat dokter
untuk menjelaskan sebab-sebab kematiannya, ternyata tak ada.
"Kalaupun ada," kata seorang dokter di sana, "itu hanya
diberikan kepada polisi."
Penguburan Ucok yang tanpa divisum terlebih dulu ternyata
mengundang perhatian polisi. Setelah memeriksa beberapa orang --
baik petugas LP maupun penghuni penjara -- Danres Kepolisian
Asahan, Letkol Soedarman, juga berminat membongkar kembali
kuburan Ucok. Minggu ini rencana tersebut dilaksanakan.
Penganiayaan dan kekejaman yang terjadi di LP Pulau Simardan,
ternyata tak diketahui oleh Pimpinan LP. "Saya tidak tahu."
kata J. Malau, pejahat di sana. "Tapi saya akan memeriksa
seluruh pegawai dan terutama tahanan yang sekamar dengan Ucok --
mana tahu mereka yang menganiaya." Tapi beberapa tahanan tahu
benar apa yang terjadi. Dari mereka yang kini menginap di
rumahsakit, tentunya, dapat diperoleh cerita seram dari LP Pulau
Simardan.
Dari Miskun (33 tahun), misalnya, yang masuk RSU Tanjungbalai
sehari setelah kematian Ucok. Penyakitnya, kata tahanan yang
sudah lima bulan di sana karena dituduh mencuri gergaji mesin,
tak lain akibat perlakuan petugas penjara yang sangat buruk.
Ia, katanya dipukuli petugas dan sesama penghuni penjara (ia
dapat menyebutkan nama si pemukul). Kaki Miskun masih terborgol
di tempat tidurnya. Tapi kesehatannya mulai membaik.
Lain dengan Sunar (20 tahun), penarik ojek, yang masuk penjara
-- sebagai tahanan -- karena dituduh hendak membunuh calon
mertuanya. Sampai akhir bulan lalu ia masih terus mengerang
kesakitan. Menurut perawatnya, Sunar masuk rumahsakit 15
Januari, dalam keadaan pigsan. Pahanya yang masih bengkak, kata
perawat tadi, mungkin disebabkan patah tulang.
Padahal Sunar baru dua hari jadi penghuni LP Pulau Simardan.
Pada hari pertama, begitu kakinya menginjak halaman dalam
penjara, kekejaman menyambutnya: seseorang menghantam pahanya
dengan sepotong batubata. Tak seorang petugas penjara pun yang
berniat menolongnya.
Keluhan Sunar dapat disambung dengan cerita yang tak kurang
sedihnya dari Saridi. Tahanan ini, yang masuk rumahsakit bersama
almarhum Ucok, dapat menyebutkan nama-nama orang yang
menganiayanya. Ia tak tahu berapa lama tak sadarkan diri setelah
dipukuli beramai-ramai karena dipersalahkan membantah perintah
petugas. Padahal ketika itu, katanya, ia benar-benar lagi sakit.
Sunar ditahan karena dituduh melarikan janda kembang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini