Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

20 Tahun UU PKDRT, Komnas Perempuan Ungkap Setiap Jam Ada 3 Perempuan Jadi Korban KDRT

Meski telah disahkan 20 tahun lalu, perempuan masih rentan jadi korban KDRT

24 Desember 2024 | 16.35 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani memberikan keterangan terkait RKUHP dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) kepada wartawan di Halaman Gedung Komnas Perempuan, Kamis, 30 Juni 2022/Mutia Yuantisya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan implementasi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) belum sepenuhnya mengurangi angka KDRT. Dalam catatan akhir tahun ini, mereka mencatat masih ada tiga perempuan yang mengalami KDRT setiap jamnya di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan, setiap jam sekurang-kurangnya ada tiga perempyan dalam posisi sebagai istri yang menjadi korban kekerasan,” kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam keterangan resmi, Selasa, 24 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Andy mengingatkan kehadiran UU PKDRT pada 2004 menjadi salah satu tonggak capaian kepemimpinan perempuan. Pertama, UU PKDRT membongkar dikotomi privat/personal dan publik, sekaligus menegaskan kewajiban negara untuk melindungi semua orang dalam konteks apa pun untuk bebas dari kekerasan.

Kedua, UU PKDRT mendesakkan perubahan perspektif hukum pidana untuk lebih berorientasi pada korban. Juga, UU PKDRT menjadi simpul gerakan sosial yang ditandai dengan dukungan dari beragam sektor dan pihak dalam advokasinya.

“Karena itu, kemajuan-kemajuan dalam penanganan kasus serta upaya pencegahan KDRT perlu terus kita teguhkan sebagai agenda bersama gerakan sosial untuk Indonesia yang aman, adil dan bermartabat,” kata dia.

Komnas Perempuan menerima laporan 582.780 kekerasan terhadap perempuan pada periode 2001-2023. Sebanyak 491.067 kasus (94 persen) adalah kekerasan terhadap Istri (KTI) dan 18.577 kasus (3,56%) kekerasan terhadap anak perempuan. 

Sementara itu, dari 3.709 kasus KTI yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan dari tahun 2019 hingga 2023, sebanyak 50% adalah KDRT psikologis, 31% kekerasan fisik, 16% penelantaran dan kekerasan ekonomi lainnya dan 3% kekerasan seksual. 

Dari jumlah tersebut, 222 kasus berhubungan dengan perebutan anak dan 309 kasus merupakan KDRT yang masih berlanjut meski pasangan telah bercerai. Temuan ini menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga tidak selalu berakhir dengan putusnya ikatan perkawinan.

Andy menyatakan pola kekerasan yang terungkap dalam kajian ini menampilkan spektrum yang luas selain kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi. Pola-pola ini sering kali berkelindan dengan bentuk kekerasan lainnya, menciptakan jerat yang sulit diputus oleh para korban.

Komnas Perempuan juga mencatat puncak KDRT pada kasus-kasus femisida atau pembunuhan terhadap perempuan dan juga bunuh diri. Era digital, menurut Andy, turut memberikan dimensi baru dalam permasalahan KDRT dan tidak jarang justru memperburuk situasi dengan munculnya Kekerasan Berbasis Gender Siber. Pelaku KDRT memanfaatkan teknologi informasi sebagai sarana untuk melanggengkan kontrol dan dominasi terhadap korban, bahkan setelah perpisahan.

“Dalam perkawinan tidak tercatat, kondisi korban KDRT menjadi lebih buruk karena kerap diabaikan dari proses penanganan dan pemulihan sesuai UU PKDRT,” ujar Komisioner Theresia Iswarini. Rekomendasi Umum Komnas Perempuan. 

Padahal, menurut Theresia, UU PKDRT tetap dapat digunakan dalam penanganan kasus KDRT dalam konteks perkawinan yang belum tercatat. Komnas Perempuan mengenali ada banyak alasan perempuan berada dalam perkawinan tidak dicatatkan. Sebagiannya adalah mereka yang sudah berada dalam lingkar kekerasan, ada yang tidak tahu bahwa perkawinannya harus dicatatkan setelah menempuh pernikahan berdasarkan agama atau adatnya, dan ada pula yang tidak dapat mencatatkan perkawinannya karena hambatan legal.

“UU PKDRT tidak mensyaratkan pencatatan perkawinan dan juga telah ada sejumlah produk kebijakan maupun putusan pengadilan yang dapat dirujuk oleh aparat penegak hukum untuk memproses kasus KDRT dengan UU PKDRT sekalipun perkawinannya tidak dicatatkan.” ungkap Iswarini.

 

 

 

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus