Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

7 Alasan Kerusuhan Mei 1998 Jadi Periode Kelam di Indonesia

Kerusuhan Mei 1998 menjadi salah satu periode terkelam dalam sejarah Indonesia

21 Mei 2024 | 09.32 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Massa membalik dan membakar mobil pada kerusuhan tanggal 14 mei 1998 di jalan hasyim ashari, Jakarta [ Bodhi Chandra/ DR; 20000422 ].

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kerusuhan Mei 1998 menjadi sejarah kelam bagi bangsa Indonesia. Krisis ekonomi yang memuncak pada awal 1998 mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi yang meluas di seluruh negeri. Para mahasiswa, bersama dengan berbagai elemen masyarakat lainnya, merasa terpanggil untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap pemerintahan Soeharto.

Ketidakpuasan dan kekecewaan masyarakat tercermin dalam aksi mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998. Gejolak tersebut mencapai puncaknya pada peristiwa Tragedi Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998. Sehari setelahnya, 13 Mei sampai 15 Mei 1998 menyusul peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM lainnya yang kemudian dikenal dengan Kerusuhan Mei 1998.

Fakta Kerusuhan Mei 1998

1. Empat mahasiswa Trisakti tewas

Kerusuhan bermula pada 13 Mei 1998, sehari setelah Tragedi Trisakti, insiden yang mengakibatkan tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta serta puluhan lainnya luka-luka. Keempat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka tewas terkena peluru tajam di dalam kampus, mengenai bagian-bagian vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada.

Ironisnya, Kapolri saat itu, Jenderal Pol Dibyo Widodo, membantah pasukannya menggunakan peluru tajam dalam operasi pengamanan. Namun, Tetapi penyelidikan Tim Gabungan Pencari Fakta atau TGPF menyimpulkan korban tewas karena tembakan peluru tajam. Peluru tersebut diduga berasal dari tembakan peringatan yang ditembakkan ke tanah dan memantul mengenai tubuh korban.

2. Sentimen anti-Tionghoa

Kerusuhan Mei 1998 disebabkan oleh sentimen anti-Tionghoa. Saat itu beredar tuduhan bahwa etnis Tionghoa penyebab krisis moneter. Provokasi ini disebarkan oleh beberapa jenderal yang tidak memiliki hubungan dengan perekonomian. Tuduhan tersebut didasarkan pada informasi palsu bahwa etnis Tionghoa melarikan uang rakyat ke luar negeri dan sengaja menimbun sembako sehingga rakyat Indonesia kelaparan dan sengsara.

Ketegangan meningkat dengan beredarnya desus etnis Tionghoa menganut paham komunis yang bertentangan dengan paham yang dianut masyarakat mayoritas. Akibatnya, toko-toko dan rumah milik warga Tionghoa dijarah, dibakar dan bahkan dihancurkan. Wanita Tionghoa diperkosa, dilecehkan, dianiaya dan dibunuh. Konsentrasi kerusuhan warga Tionghoa terbesar terjadi di Jakarta, Medan, dan Surakarta.

3. Akhir pemerintahan Soeharto

Kerusuhan Mei 1998 menandai akhir dari pemerintahan Soeharto dan awal dari semangat reformasi. Dimulai dengan puluhan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang mendatangi Gedung DPR/MPR untuk menolak pidato pertanggungjawaban Presiden Soeharto dan menyerukan reformasi nasional.

Pada Kamis, 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari kursi kepresidenan di Istana Merdeka pada pukul 09.05, dan BJ Habibie menjadi penggantinya. Runtuhnya era Orde Baru setelah 32 tahun berkuasa dirayakan oleh jutaan masyarakat Indonesia dan disiarkan oleh berbagai media. Reformasi ini juga didorong oleh Tragedi Trisakti yang menjadi salah satu faktor utama keinginan rakyat Indonesia untuk perubahan.

4. Disulut kelompok siluman dan pria tegap berambut cepak

Kerusuhan Mei 1998 jua dipicu sejumlah kelompok provokator. Dikutip dari KontraS, berdasarkan hasil penyelidikan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), kelompok provokator berpakaian preman, berambut cepak, di antaranya gondrong. Di sejumlah lokasi, mereka berkeliaran memakai seragam SMA tanpa badge OSIS, dengan wajah yang terlalu tua untuk usia siswa SMA.

Kelompok tersebut memiliki keahlian, seperti melempar molotov dan jago menyulut kemarahan massa. Mereka memancing massa untuk beraksi secara liar seperti membakar ban, memancing perkelahian, merusak barang dan bangunan, penjarahan, hingga pembakaran gedung. Mereka datang bergerombol, diterjunkan ke lokasi dengan mobil pikap, truk, sepeda motor, dan menghilang begitu kerusuhan meletup.

5. Ribuan orang jadi korban

Kerusuhan Mei 1998 mencapai puncaknya pada 15 Mei 1998. Berdasarkan data versi Tim Relawan, setidaknya ada 1.217 orang meninggal di Jakarta, dengan rincian 1.190 akibat terbakar atau dibakar, dan 27 lainnya akibat senjata atau dan lainnya. Kemudian ada 91 luka-luka. Sedangkan di luar Jakarta, ada 33 meninggal dunia, dan 74 luka-luka.

Sementara itu, berdasarkan data jumlah korban versi Polda Metro Jaya atau Polri, 451 orang meninggal di Jakarta dengan korban luka-luka tidak tercatat. Sedangkan data korban di luar Jakarta tercatat 30 orang meninggal dunia, luka-luka 131 orang, dan 27 orang luka bakar.

6. Marak kekerasan seksual

Laporan TGPF memaparkan 52 orang menjadi korban perkosaan, 14 menjadi korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 orang menjadi korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 orang menjadi korban pelecehan seksual. Sebagian besar korban kekerasan seksual dialami oleh perempuan dari etnis Tionghoa. Korban kekerasan seksual ini bersifat lintas kelas sosial.

Kejadian tersebut menyisakan bekas trauma psikis yang amat berat bagi korban yang masih hidup, beberapa di antaranya bahkan memiliki mengakhiri hidup karena tidak sanggup menanggung beban trauma, ada yang menjadi gila, diusir oleh keluarga, serta menghilangkan diri keluar negeri dengan mengganti identitas

7. Dipicu krisis ekonomi dan hasil pemilu

TGPF dalam laporannya menyatakan peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998 berkaitan dengan dinamika sosial politik masyarakat Indonesia waktu itu. Kala itu, hasil Pemilu 1997 kembali memenangkan Soeharto untuk ketujuh kalinya. Rezim orde baru membatasi ruang masyarakat untuk berekspresi. Sejumlah aktivis yang berani menentang Soeharto hilang dan tak diketahui rimbanya hingga kini.

Kerusuhan ini juga berkaitan dengan krisis ekonomi saat itu. Krisis moneter melambungkan harga kebutuhan pokok. Krisis moneter juga mengakibatkan membesarnya kesenjangan ekonomi dan menciptakan dislokasi sosial yang luas yang amat rentan terhadap konflik vertikal (antar kelas) dan horizontal (antar golongan).

KHUMAR MAHENDRA | PUTRI SAFIRA PITALOKA | MOHAMMAD HATTA MUARABAGJA | HENDRIK KHOIRUL MUHID | SUKMA KANTHI NURANI | EKA YUDHA SAPUTRA | AHMAD FAIZ IBNU SANI

Pilihan Editor: Menolak Lupa Tragedi Trisakti 1988, Mereka Tewas Ditembak di Dalam Kampus

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus