Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Satgas Penanganan dan Pencegahas Kekerasan Seksual Universitas Hasanuddin bisa menyelesaikan kasus pelecehan seksual.
Kampus lain bisa meniru apa yang dilakukan Universitas Hasanuddin yang tak bisa menyelesaikan kasus kekerasan seksual.
Satgas PPKS perlu didukung ahli hukum dan ketegasan rektorat.
MULANYA dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, berinisial FS menolak mentah-mentah tuduhan melakukan pelecehan seksual terhadap seorang mahasiswa perempuan angkatan 2021. Saat proses klarifikasi oleh Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Universitas Hasanuddin, ia malah menyebut korban berhalusinasi dan memberikan keterangan palsu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Firman diduga melecehkan korban saat memberikan bimbingan skripsi di ruangan dosen pada 25 September 2024. Satgas PPKS mulai memeriksa laporan kasus kekerasan seksual itu sejak menerima laporan korban beberapa hari kemudian. Mereka mewawancarai sejumlah saksi dan mengumpulkan barang bukti. Selama proses pemeriksaan, FS juga dinonaktifkan sementara dari jabatan akademik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nyali FS mulai luntur setelah mengetahui Satgas PPKS menemukan bukti kuat, yakni rekaman kamera pengawas milik kampus. Dari rekaman itulah Satgas PPKS akhirnya menyimpulkan FS bersalah dan merekomendasikan FS dijatuhi sanksi berat. “Pelaku mengakui sebagian dari yang dilaporkan oleh korban,” kata Ketua Satgas PPKS Universitas Hasanuddin Farida Patitinggi saat dihubungi Tempo pada Rabu, 20 November 2024.
Satgas PPKS turut merekomendasikan kepada Rektorat agar FS dinonaktifkan sementara dari tugas sebagai dosen selama satu setengah tahun ke depan, yaitu hingga semester awal 2025/2026. Ia juga dicopot sebagai ketua gugus tugas di fakultasnya. Ini jabatan mentereng karena hanya diduduki dosen dengan kualifikasi tertentu. Selama ini FS memang dikenal sebagai dosen berprestasi.
Tempo berupaya meminta konfirmasi soal tuduhan dan vonis Satgas PPKS tersebut kepada FS lewat panggilan telepon dan pesan WhatsApp. Ia tak kunjung merespons hingga Rabu, 20 November 2024. Seorang pegawai di Universitas Hasanuddin mengatakan FS sudah tak terlihat lagi, bahkan tak bisa dihubungi sejak kasus kekerasan seksual itu mencuat.
Sanksi berat kepada pelaku oleh Satgas PPKS Universitas Hasanuddin merupakan cerita sukses pemberantasan pelecehan seksual di kampus sejak penerbitan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Satgas PPKS yang dipimpin Farida Patitinggi dilantik pada 4 November 2022. Satgas ini beranggotakan 11 orang dari berbagai latar belakang keilmuan.
Satu hal yang paling menonjol dari satgas ini adalah anggotanya rata-rata aktivis perempuan dan punya pengalaman mendampingi korban kekerasan. Dua anggota juga memiliki latar belakang ilmu hukum. Apalagi Ketua Satgas PPKS Universitas Hasanuddin Farida adalah guru besar ilmu hukum yang pernah dua kali menjabat Dekan Fakultas Hukum dan kini menjabat wakil rektor. “Latar belakang hukum penting karena penanganan satgas adalah kerja-kerja hukum,” ujar Farida.
Advokat dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Meila Nurul Fajriyah, menilai, selain menguasai soal hukum, pimpinan satgas yang diisi pejabat setingkat wakil rektor dan dekan juga bisa menjadi solusi penuntasan penanganan kasus kekerasan seksual di kampus. Sebab, dalam beberapa kasus, pelaku punya kedudukan lebih tinggi dari anggota satgas. Ada juga rekomendasi yang mental di rektorat. “Pemimpin satgas juga mesti punya perspektif yang baik terhadap korban,” ucapnya.
Di Universitas Hasanuddin, Satgas PPKS sudah menangani beberapa kasus dan menuntaskannya. Ada beberapa kasus yang akhirnya membuat dosen dan mahasiswa yang terbukti bersalah dipecat. Farida menjelaskan, upaya penanganan kasus kekerasan seksual membutuhkan keberanian anggota satgas dan komitmen pimpinan perguruan tinggi.
Mantan Ketua Satgas PPKS Universitas Indonesia, Manneke Budiman, mengatakan upaya penanganan kasus kekerasan seksual sangat membutuhkan komitmen dekanat dan rektorat. Dukungan konkret itu di antaranya pengalokasian anggaran operasional. Pihak kampus juga siap mengerahkan semua unit untuk kerja satgas. “Sebab, kasus ini tidak bisa menunggu karena harus ditangani 1 x 24 jam,” ujarnya.
Di beberapa kampus, satgas tak bisa berbuat banyak lantaran terhambat masalah anggaran. Soal ini diperkirakan sudah diketahui pemerintah. Sepuluh hari sebelum lengser, tepatnya pada 10 Oktober 2024, Menteri Pendidikan Nadiem Anwar Makarim mengganti peraturan lama dengan meneken Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi. Peraturan anyar ini memerintahkan perguruan tinggi untuk mengalokasikan anggaran penanganan kekerasan seksual.
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Alimatul Qibtiyah, menyebutkan pemerintah dan kampus punya tanggung jawab. Ia mencontohkan Satgas PPKS Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang sudah memiliki anggaran sendiri. “Infonya, satu kasus dianggarkan Rp 14 juta,” ucapnya.
Tapi fulus bukan menjadi faktor utama. Kampanye pencegahan juga penting. Meila Nurul Fajriyah mengatakan penulisan jargon di kampus bisa membantu mengingatkan banyak pihak soal dampak kekerasan seksual. Selain itu, dukungan pimpinan kampus untuk urusan studi korban amat dibutuhkan. Dalam pengalamannya, korban kerap menghadapi dilema saat memilih mekanisme satgas PPKS di kampus.
Korban merasa khawatir tak bisa mengikuti kegiatan belajar dengan baik selama proses penanganan kasus kekerasan seksual. Masalah utama bukan waktu, melainkan beban psikologis korban karena berpeluang terus bertemu dengan pelaku di kampus. Dalam satu kasus, korban terpaksa menjalani masa kuliah dan penulisan skripsi yang lebih lama.
Preseden yang baik terjadi di UGM pada 2018-2019. Saat itu, Meila mengungkapkan, seorang wakil dekan mendukung penuh penyelesaian kasus salah satu mahasiswi yang menjadi korban kekerasan seksual. Wakil dekan itu pula yang menjamin korban ini bisa tetap kuliah agar tidak terkena skors. “Dukungan penuh seperti ini yang dibutuhkan,” tutur Meila.
Sebelum menjadi pengurus YLBHI, Meila sudah malang melintang mengadvokasi para korban kekerasan seksual. Pada pertengahan 2024, Meila yang mendampingi 30 korban kekerasan seksual di salah satu perguruan tinggi justru ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama oleh Kepolisian Daerah Yogyakarta. Belakangan, polisi menghentikan proses hukumnya dan status tersangka Meila dicabut.
Pasal 29 huruf e Peraturan Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 55 Tahun 2024 memberi kewenangan baru bagi satgas PPKS untuk membantu korban melapor kepada aparat penegak hukum. Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah menyampaikan ketentuan baru ini menjadi terobosan untuk membantu korban kekerasan seksual bisa dipulihkan dan pelaku bisa ditindak. “Supaya kasus kekerasan seksual di kampus tidak berulang,” katanya.
Rupanya, upaya ini dimulai di Universitas Hasanuddin. Ketua Satgas PPKS Universitas Hasanuddin Farida Patitinggi bercerita, sudah ada pelaku yang dijerat pidana karena korbannya melapor kepada polisi. Tapi korban tidak ujug-ujug datang sendiri ke kantor polisi. “Kami memberikan pendampingan hukum melalui Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Hasanuddin,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ahmad Faiz Ibnu Sani dan Dinda Shabrina berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Liputan ini merupakan bagian dari seri jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support