Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Menteri Pertanian hendak menyeret BUMN pangan ke dalam kendali Kementerian Pertanian.
Berpotensi memicu moral hazard karena regulator bertindak sebagai operator sektor pangan.
Penyatuan dipicu oleh hasrat mewujudkan swasembada pangan sebagai program utama Prabowo Subianto.
KABINET Merah Putih baru sebulan bekerja. Namun gejala pemerintahan Presiden Prabowo Subianto bakal gagal mengurus isu strategis negara ini, seperti pendahulunya, sudah di depan mata. Sektor pertanian dan pangan bisa menjadi korban pertamanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah tengah membahas perubahan sejumlah regulasi tentang pengelolaan lembaga nonkementerian serta badan usaha milik negara bidang pertanian dan pangan. Kedudukan Badan Pangan Nasional dan Badan Karantina Indonesia, yang selama ini bertanggung jawab langsung kepada presiden, hendak dialihkan ke bawah naungan Kementerian Pertanian. Kewenangan Kementerian Pertanian juga akan ditambah menjadi pengawas dan pembina PT Pupuk Indonesia, PT Rajawali Nusantara Indonesia, PT Perkebunan Nusantara, Perusahaan Umum Bulog, dan Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perhutani)—peran yang selama ini dipegang Kementerian Badan Usaha Milik Negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Pertanian Amran Sulaiman berdalih upaya mempercepat swasembada pangan memerlukan kebijakan yang selaras. Dalam suratnya kepada Prabowo tertanggal 24 Oktober 2024, Amran menyebutnya sebagai “satu komando hulu-hilir pertanian”. Surat usulan itu disertai naskah rancangan perubahan peraturan yang menekankan pentingnya penyelenggaraan pangan dan pertanian secara terintegrasi sebagai mitigasi krisis pangan global.
Ancaman krisis pangan global memang serius. Laporan Program Pangan Dunia (WFP) yang dipublikasikan pada April 2024 mencatat sebanyak 281,6 juta jiwa penduduk dunia dalam kondisi kerawanan pangan akut pada 2023, naik lebih dari dua kali lipat dibanding lima tahun sebelumnya. Perubahan iklim dan kondisi geopolitik telah mengguncang ekonomi, termasuk rantai pasok pangan dunia, sehingga wilayah dengan tingkat keterancaman krisis pangan tinggi meluas, mencakup 59 negara. Meski tidak berada dalam daftar negara tersebut, Indonesia bisa terkena rembetan dampaknya.
Pemerintah harus menyiapkan kebijakan pangan yang terintegrasi untuk mengantisipasi hal tersebut. Selama ini tata kelola sektor pertanian dan pangan amburadul. Rendahnya kualitas data dan buruknya koordinasi antarinstansi menyebabkan kebijakan pemerintah semrawut, dari perencanaan hingga realisasinya. Proyek food estate era Presiden Joko Widodo di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara contohnya.
Namun menjadikan Kementerian Pertanian pengendali lembaga dan BUMN pangan jelas salah arah. Alih-alih menjadi solusi, langkah ini malah bisa menimbulkan seabrek persoalan baru. Prabowo harus menghentikan rencana tersebut.
Prabowo sebaiknya memerintahkan Menteri Amran berfokus membenahi berbagai permasalahan di Kementerian Pertanian. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan yang dipublikasikan pada September 2024 mencatat buruknya kinerja Kementerian Pertanian dalam program pemenuhan ketersediaan dan keterjangkauan pangan pada 2021 sampai semester I 2023. Pengelolaan anggaran belanja barang, belanja modal, serta saldo aset lancar kementerian itu juga penuh cela karena tidak didukung bukti pertanggungjawaban dan tak sesuai dengan ketentuan.
Dengan rapor seburuk itu, sungguh tak bisa dibayangkan bagaimana Kementerian Pertanian bakal mengerjakan tugas baru, terutama sebagai pengendali BUMN pangan. Perusahaan pelat merah berisiko menanggung beban ambisi proyek cetak sawah yang jauh-jauh hari dirancang Prabowo dan Amran. Berkaca pada pengalaman sebelumnya, penugasan pemerintah kepada BUMN karya dalam proyek-proyek infrastruktur menimbulkan kerugian luar biasa terhadap keuangan perseroan dan anggaran negara. Sungguh celaka jika sektor pertanian dan pangan menjadi target berikutnya.