Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bangunan rancangan Charles Wolff dan Richard Arnold Schoemaker membentuk wajah modern Kota Bandung.
Maestro arsitektur Belanda H.P. Berlage menyebut Bandung sebagai Kota Schoemaker.
Warisan mereka menjadi gedung ikonik: dari Villa Isola hingga Observatorium Bosscha.
KARYA Schoemaker bersaudara—Charles Prosper Wolff Schoemaker dan Richard Leonard Arnold Schoemaker—dihidupkan lagi dalam pameran “Bandoeng and Schoemakers”. Keduanya adalah arsitek Belanda yang merancang sejumlah bangunan penting di Kota Bandung pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajah mereka dalam foto hitam-putih terpajang di sebuah panel di ruang galeri Dia.Lo.Gue, Kemang, Jakarta Selatan. Di bidang panel-panel yang lain, kurator Engel Tanzil memperkenalkan keduanya melalui reproduksi foto-foto, arsip, dan beberapa maket karya mereka dalam pameran selama 30 Oktober-10 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wolff Schoemaker lahir di Banyubiru, Semarang, Jawa Tengah, pada 25 Juli 1882 dan meninggal di Bandung, Jawa Barat, pada 22 Mei 1949. Adapun adiknya, Arnold, lahir di Roermond di perbatasan Jerman-Belanda-Belgia pada 5 Oktober 1886. Arnold bergabung dengan Ordedienst, gerakan perlawanan anti-Nazi Jerman di Belanda di masa Perang Dunia II. Polisi rahasia Jerman menangkapnya dan dia dihukum mati oleh Nazi di Sachsenhausen, Jerman, pada 3 Mei 1942.
Perjalanan hidup mereka disusun berdasarkan urutan waktu hingga kiprah mereka dalam lanskap kekaryaan di bidang arsitektur serta aktivitas Wolff sebagai ketua Bandoengsche Kunstkring sepanjang 1921-1926 dan guru besar Technische Hoogeschool te Bandoeng, cikal-bakal Institut Teknologi Bandung (ITB). Ada pula gambaran ketika Wolff menceburkan diri dalam kancah politik sebagai anggota Gemeenteraad (Dewan Kota) Bandung. Berbeda dengan kakaknya, Arnold memilih pulang ke Belanda dan mengabdi di Technische Universiteit Delft.
Riwayat karya keduanya juga dijabarkan melalui urutan waktu di papan panel. Ada sebuah perjalanan karya yang cukup panjang sejak 1913 hingga 1934 yang menjadikan Bandung kota dengan arsitektur kolonial modern dengan biro arsitek dan teknik. Sejumlah bangunan yang dirancang Schoemaker bersaudara itu kini menjadi ikon Kota Kembang. Mereka berada di puncak kepopuleran pada 1920-an, ketika Wolff mulai merancang Gedung Kologdam di Jalan Aceh yang diresmikan pada 17 Mei 1920. Gedung itu menjadi tempat penyelenggaraan pameran dagang tahunan Jaarbeurs de Bandung di masa kolonial sehingga sering disebut sebagai Gedung Jaarbeurs. Bangunan itu kini menjadi kantor Komando Pembina Doktrin, Pendidikan, dan Latihan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Kologdam.
Bekas gedung Hogere Burgerschool (HBS) rancangan C.P.W. Schoemaker yang dibangun pada 1916, kini menjadi SMAN 3 Bandung di Jalan Belitung, 16 November 2024/Tempo/Anwar Siswadi
Jejak karya mereka terdapat di seputar Kota Bandung. Lihatlah gedung G.C.T. van Dorp & Co yang dulu merupakan percetakan dan toko buku yang banyak dikunjungi dan kini menjadi Gedung Landmark. Gedung ini menjadi contoh bagi dua saudara ini untuk menunjukkan gagasan mereka tentang arsitektur di Hindia Belanda. Mereka juga merancang Gereja Katedral Santo Petrus, tempat ibadah pertama rancangan kedua arsitek itu.
Mereka juga ikut merancang Observatorium Bosscha dan bioskop Majestic (kini gedung pertunjukan De Majestic) di Jalan Braga Nomor 1. Arnold merancang gedung dan kompleks militer yang kini dimanfaatkan sebagai Gedong Sabau yang kemudian menjadi kantor detasemen Markas Komando Daerah Militer III/Siliwangi. Ada pula gedung megah seperti Societeit Concordia (Gedung Merdeka) dan Masjid Cipaganti. Engel Tanzil menampilkan karya-karya itu dalam peta di sebuah kaca.
H.P. Berlage, maestro arsitektur Belanda, menyebut Bandung sebagai “Kota Schoemaker” saat melihat pengaruh besar Schoemaker dalam pengembangan kota itu. Ketika datang ke Bandung pada 1923, dia menyoroti perdebatan gagasan dan konsep karya rancangan Schoemaker bersaudara dengan dua arsitek Belanda lain, Henri Maclaine Pont dan Thomas Karsten. “Orang dapat menyebut Bandung sebagai Kota Schoemaker sesuai dengan nama ahli perancang serangkaian bangunan publik. Yang paling penting adalah Societeit Concordia, gedung istana komandan tentara, dan Gedung Jaarbeurs,” kata Berlage seperti dikutip di sebuah koran saat itu.
Engel Tanzil menilai Schoemaker bersaudara sebagai arsitek multitalenta. Keduanya anggota militer, desainer, ilustrator, guru besar, penulis, politikus, dan tokoh intelektual dengan pemikiran progresif yang melawan arus dominan “dengan gagasan-gagasan arsitektur modern yang turut membentuk kehidupan dan identitas Kota Bandung”.
Engel tak hanya menampilkan kronologi penciptaan karya duo Schoemaker, tapi juga menyertakan informasi perkembangan tata kota Bandung dari waktu ke waktu. Bangunan-bangunan karya mereka pun dipandang tak biasa oleh arsitek Belanda. Bambang Eryudhawan, arsitek dari ITB, mengatakan para arsitek muda pada masanya melihat karya-karya Schoemaker itu aneh, unik, dan belum pernah mereka pelajari. “Bisa jadi ini periode gelap juga. Generasi mudanya kan memandangnya ke depan, ya,” ucap Bambang dalam diskusi di Dia.Lo.Gue pada Sabtu, 16 November 2024.
Gedung bioskop De Majestic di Jalan Braga, Bandung, 14 Mei 2022/Tempo/Anwar Siswadi
Karya Schoemaker, Bambang menambahkan, bisa dikatakan “nakal” dan wujud seorang avonturir. Schoemaker mempunyai kebebasan berkreasi di Bandung, yang jauh dari Belanda dan jauh dari sorotan, komentar, serta kritik dari arsitek lain sehingga dapat melakukan apa saja sekehendak mereka. “Ini kok ada bangunan kayak kue tar begini. Aneh, menurut mereka. Arsitek Belanda yang berpraktik di sini punya kemewahan,” ujar Bambang.
Jika membuat hal itu di Belanda, mereka pasti akan menuai banyak pertanyaan. Apalagi ada beberapa bangunan yang dirancang dalam dimensi besar, seperti Gedung Merdeka dan Gedung Sate, yang tak akan mungkin dibangun di Belanda, yang umumnya membangun dalam dimensi kecil, seperti Villa Isola dan Villa Merah yang unik. Schoemaker bersaudara juga dapat mempelajari karya-karya arsitek Belanda di wilayah pesisir, seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya.
Situasi politik turut mendukung mencuatnya karya mereka. Saat itu muncul wacana pemindahan ibu kota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung sehingga banyak institusi yang dipindahkan ke Bandung. Jika kemudian karya Schoemaker menjadi lebih “bersejarah”, Bambang melanjutkan, hal itu terjadi secara kebetulan. Ia mencontohkan, Wolff Schoemaker menjadi guru Sukarno dan Gedung Merdeka menjadi tempat penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika I.
Bagi Bondan Kanumoyoso, sejarawan dan Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Bandung dengan gedung-gedung yang dibangun Schoemaker bersaudara ini meninggalkan jejak sejarah tersendiri. Kota ini boleh dikatakan sebagai penerus ambisi Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels. Kebijakan-kebijakan Daendels seperti meniru atasannya, Louis Napoleon Bonaparte, Presiden Republik Kedua Prancis, yang diilhami Revolusi Prancis. Banyak implementasinya dalam infrastruktur dan sistem tata kota. Menurut Bondan, Schoemaker membangun gedung-gedung vital yang kemudian menjadi simbolisasi banyak hal.
Bondan menjelaskan bahwa wilayah Bandung merupakan kota yang tersegregasi. Demografi terbagi ke dalam tiga wilayah. Bagian selatan dikuasai pribumi dan bagian tengah atau pusat ditempati keturunan Arab dan Cina. Wilayah utara yang masih kosong kemudian dikuasai orang Eropa, yang disebut sebagai strata tertinggi. “Di bagian utara ini boleh dikatakan paling kuat nuansanya sebagai kota Eropa. Ada memori kolektif yang tumbuh bersama bangunan yang jadi heritage,” tutur Bondan dalam diskusi di galeri tersebut. Tapi wilayah utara ini kemudian kosong karena ditinggalkan penduduk Eropa pada 1957.
Ornamen dan gaya arsitektur paduan Jawa Eropa membalut bangunan cagar budaya Masjid Cipaganti di Bandung, 29 April 2021/Tempo/Prima Mulia
Salah satu lembaga yang ikut memperhatikan karya kakak-adik Schoemaker adalah Paguyuban Pelestari Budaya atau Bandung Heritage Society. Frances Bowden Affandy, yang tinggal di Bandung selama 42 tahun dan menjadi anggota dewan pengawas di paguyuban itu, sudah lama mengenal karya Schoemaker. Ia tertarik pada kepribadian Wolff Schoemaker, yang lahir dan tinggal di Indonesia hingga masuk Islam dan menikah dengan orang Sunda.
Affandy menolak jika ada yang menyebut Schoemaker bersaudara sebagai arsitek asing. Mereka, kata dia, telah berkolaborasi untuk membangun Bandung. Dia mengaku sulit membedakan karya mereka dari arsitek Belanda lain yang sezaman. “Saya bisa melihat gayanya, tapi sulit membedakan karya Wolff dengan saudaranya,” ucap perempuan asal Amerika Serikat itu pada Ahad malam, 17 November 2024.
Affandy melihat bangunan karya Schoemaker bersaudara sebagai bentuk yang solid. Semua bagian atau elemennya terintegrasi dari atap sampai fondasi. Jendela, pintu, dan unsur lain berpadu serasi. Menurut dia, Schoemaker adalah arsitek yang populer pada masa itu dan bangunan mereka cukup banyak dibanding karya arsitek lain. “Sebagai arsitek di Bandung, memang Schoemaker rajanya,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Anwar Siswadi dari Bandung berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jejak Warisan Duo Schoemaker"