Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ahli Waris Kampung Bojong Malaka Masih Berjuang Tuntut Ganti Rugi Lahan UIII

Menurut Yoyo, hak warga atas tanah di UIII tidak bisa dibantah secara hukum, dari aspek historis dan yuridis,

16 Desember 2024 | 20.03 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Depok - Penerima kuasa ahli waris pemilik tanah adat Kampung Bojong Malaka Depok, Yoyo Effendi, mengklaim lahan yang dibangun untuk Universitas Islam Internasional Indonesia atau UIII secara sah milik ahli waris. Mereka masih berjuang menuntut ganti rugi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Yoyo, hak warga atas tanah di UIII tidak bisa dibantah secara hukum, dari aspek historis dan yuridis bukti-bukti dokumen kepemilikannya serta bukti sosiologis dari saksi-saksi hidup. "Pertama dari riwayat tanah, mereka memang pemilik tanah ini dari sejak zaman Belanda bahkan sudah punya tanah ini, kemudian terbukti berdasarkan fakta bahwa yang mengakui yang mengklaim tanah itu RRI, dia mengaku sebagai pemilik tanah ini dengan memiliki sertifikat hak pakai," kata Yoyo saat ditemui pada Senin, 16 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yoyo menuding pengalihan dan sertifikat hak pakai Kementerian Agama tidak sah digunakan sebagai dasar hukum untuk menguasai tanah.

"Karena terbukti berdasarkan fakta yang ada bahwa alas hak yang dijadikan dasar terbit ke terbitnya dua sertifikat ini ternyata objeknya bukan di sini. Di mana? Di Cibinong, beda objek. Sehingga, sampai detik ini,  anah ini belum pernah terbit sertifikat," klaim Yoyo.

Yoyo mengungkapkan berdasarkan kepemilikan, ahli waris tanah di lahan UIII ada 341 orang dengan luas keseluruhan mencapai 121 hektare. Dari luasan itu, 10 hektare digunakan tol, pipa gas, dan Jalan Juanda.

"Tinggal 111 hektare. Nah 111 hektare ini yang digunakan oleh UIII untuk membangun kampus Universitas Islam internasional Indonesia. PSN ini adalah proyek negara kan, patut tidak proyek negara ternyata tanahnya merampas dari masyarakat? Ya enggak layak dong," ujar Yoyo.

Yoyo mengungkapkan ahli waris sudah melakukan dua upaya untuk mengambil hak mereka kembali, mulai dari upaya hukum dengan menggugat Kementerian Agama dan instansi terkait. "Juga administrasi melalui surat menyurat kepada instansi yang berwenang. Dua upaya ini sudah kami lakukan upaya hukum sudah putusan di PN sudah kemudian administrasi sudah sampai NO (Niet Ontvankelijke Verklaard) tidak dilanjut," katanya.

Saat ini, Yoyo menempuh upaya administrasi melalui program Lapor Mas Wapres. Disinggung sudah ada yang mendapat ganti rugi, Yoyo menganggapnya hal itu bukan ganti rugi dan hanya uang kerahiman. Bahkan, ia menuding pemerintah salah memberikan uang lantaran bukan ke ahli waris, tapi ke penggarap lahan.

"Penggarap, orang-orang yang enggak punya hubungan hukum dengan tanah ini, dia hanya menduduki tanah ini seolah-olah tanah ini tanah negara, padahal ini tanah tanah adat gitu," ujar Yoyo.

Yoyo mengatakan pihaknya sudah berdiskusi dengan Kementerian Agama. Ia mengklaim Kemenag mau ganti rugi, namun harus menyelesaikan pembatalan sertifikat yang sudah diajukan ke Kementerian ATR/BPN sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus