LUTHER Ginting, Direktur CV Keluarga, cacat berat. Bola mata kanannya mengeras, tak bisa melihat. Sekujur tubuhnya menghitam. Ini semua gara-gara asam asetat (CH3COOH) yang disiramkan oleh Pelcik Ginting, 60 tahun, pakdenya sendiri. Luther, 25 tahun, yang bertubuh tegap dan beranak satu ini, akan pulang ke rumahnya di Pancur Batu, Deli Serdang, Sum-Ut. Di tengah perjalanan, dekat rumah pakdenya itu, motornya kehabisan bensin. Malam itu, sekitar pukul 20.30, Luther menggedor rumah Pelcik, yang jualan bensin. Maksudnya untuk membeli bahan bakar. Ketukan sekali, dua kali, tanpa sahutan. Lalu diulang lebih keras. "Siapa itu?" tanya Pelcik, yang berbadan kerempeng itu, dengan lantang. "Saya, Paman. Bensin motor saya habis," sahut Luther. Lalu Pelcik membuka pintu. Tapi semprotan tuduhan tiba-tiba tertumpah pada Luther katanya ia melempari rumahnya dengan batu, beberapa waktu sebelumnya. Luther menyanggah. "Bapak jangan menuduh. Saya tak tahu itu," jawab Luther. Melihat suasana memanas, Amai boru Sembiring, 30 tahun, istri ketiga Pelcik, pergi ke belakang -- mencari parang. Sementara itu, di depan, perang mulut masih terus. "Walau kau muda, saya tak takut," teriak Pelcik, bekas pejuang dengan tujuh bintang jasa dan sering terserang asma itu. Jawaban Luther lebih tajam, "Bapak jangan bicara begitu. Kupatah-patahkan nanti tulang Bapak." Perang mulut itu jadi memuncak ketika Amai ikut campur. Parang di tangan bekas penari ronggeng itu menebas lengan kiri Luther. Tapi anak muda ini cepat merebut parang itu. Amai, yang sudah tersudut, berteriak, "Siramkan air keras dalam jeriken itu." Dengan sigap, air itu disiramkan Pelcik ke tubuh Luther. Mata kanan Luther mendadak lumer seperti kena sulutan api rokok. Juga, sekujur tubuhnya terasa tersengat. Kulit dan dagingnya meleleh. Luther mengerang dan lari ke rumah Penuh Sinulingga, yang terdekat di situ. Malam itu, 22 Juni lalu, warga Desa Durin Jangak riuh. Dengan bis mini, Luther dibawa ke RS Elizabeth, Medan. Ia dirawat disana 23 hari. Karena biayanya mahal, ia dipindahkan ke Rumah Sakit Umum Medan. Di sana ia dirawat selama 12 hari. Perbuatan Pelcik itu mendapat kecaman keras dari adik kandungnya sendiri. "Abang saya yang sulung itu sangat biadab. Masa, sampai hati membuat keturunan saya buta dan cacat seumur hidup," kata Kumpul Ginting, ayah kandung Luther. Luther bersama keluarganya -- setelah musibah itu -- melapor ke Polisi Sektor Kota Pancur Batu. Merasa tak puas, mereka lalu mengadu ke Polda Sum-Ut. Pelcik tak ditahan. Karena itu, pengaduan dilanjutkan ke Laksus Sumbagut. Barulah Pelcik ditahan di Pancur Batu, sejak 10 Oktober lalu. Kemudian, Luther menggugat pamannya. "Saya pantas menggugat secara perdata sebesar Rp 203.600.000," kata Luther. Rinciannya: Rp 100 juta sebagai ganti rugi matanya yang rusak, Rp 3,6 juta untuk biaya pengobatan dan ongkos-ongkos, Rp 100 juta pengganti kerugian moril. Sidang perdata di Pengadilan Negeri Lubukpakam, 27 Oktober lalu, namun tak ada yang mau mengalah. "Istri saya juga kena goresan parang. Saya akan balik menggugat," kata Pelcik. Sidang pidananya akan berlangsung pekan ini. Kepada penyidik, ia membantah bermaksud sengaja mencelakakan kemanakannya. "Saya melumpuhkan Luther karena istri saya mau digoroknya. Konon, perbuatan Pelcik itu merupakan pelampiasan dendam. Katanya, Luther sering mencampuri urusan rumah tangga Pelcik. Ia berkali-kali memberitahukan ulah Pelcik yang doyan "rumput muda" itu kepada istri-istrinya. "Tidak ada dendam. Saya hanya membela diri dari cengkeraman maut. Dia itu, walau anak adik, jika kurang ajar harus dimarahi," ujarnya. Cuma, memarahi dan menyiksa apalagi dengan menyiramkan air keras tentu berbeda, bukan ? Widi Yarmanto, Asyadin ST (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini