RADIO-radio di Sumatera Barat sejak Kamis pekan lalu semarak mendendangkan lagu-lagu promosi makan sayur. Ada apa gerangan? Ternyata, Gubernur Awar Anas berkampanye, mengajak masyarakat Minang memakan sayur-mayur, sumber potensial vit-A. "Saya prihatin dengan masalah kekurangan vitamin A pada balita, yang dapat mengakibatkan kebutaan," kata Gubernur dengan serius, setelah selesai menyuapi bubur sayur pada seorang anak balita. Sumatera Barat memang salah satu daerah yang rawan defisiensi vit-A. Menurut dr. Muzni Muchtar, di daerah ini penduduk yang cacat matanya karena kekurangaa vit-A sampai stadium 2-3 --- xerophtalmia yang sudah menyerang kornea -- mencapai 104 orang dari 100 ribu penduduk. "Padahal, menurut kriteria WHO tak boleh lebih dari 10 orang yang menderita dari 100 ribu penduduk," kata Direktur Akademi Gizi, Depkes Sum-Bar, ini. Di daerah bergunung-gunung ini sayuran yang banyak mengandung vit-A sebetulnya tak sulit dicari. Tinggal memetik di pekarangan rumah. Tapi, "Selama ini masih banyak orang yang menganggap sayuran itu hanya untuk makanan kambing," kata dr. Rafki Ismail, Kakanwil Depkes Sum-Bar. Maka, dengan kampanye lewat radio, diharapkan terangkatlah gengsi sayur di mata penduduk. Apakah dengan makan banyak sayur orang tidak lagi kekurangan vit-A? Belum tentu. Buktinya, penduduk Jawa Barat, yang paling doyan lalapan (sayuran mentah), masih mempunyai tingkat defisiensi vit-A cukup tinggi. Di daerah ini sekitar 96 orang menderita xerophtalmia yang sudah menyerang kornea, dari 100 ribu penduduk. Penyebabnya, menurut dr. Gantira Natadisastra, adalah infeksi saluran pencernaan pada anak-anak. "Sehingga penyerapan vit-A kurang baik," kata Direktur RS Mata Cicendo Bandung pada Ria Sofyat dari TEMPO. Lagi pula, jika makan banyak sayur tetapi tak dibarengi makan lemak, sayuran hanya akan lewat di perut saja. Mengapa? Menurut dr. Muni Muchtar, "Vitamin A yang terdapat dalam sayuran baru akan larut dan dapat diserap oleh tubuh jika bersama-sama dengan lemak." Masalah kekurangan vit-A memang sudah merupakan "aib" nasional. Tiap tahun diperkirakan sekitar 60 ribu anak balita menderita gejala kerusakan kornea, sepertiganya malah diramalkan akan buta atau cacat. Padahal, penyakit ini sebetulnya dapat dicegah. Dalam rangka itu Departemen Kesehatan, misalnya, belum lama berselang gencar menitipkan vit-A pada MSG, yang dikenal sebagai fortifikasi itu. Hanya saja, efisiensinya menimbulkan pro dan kontra. Memang, penyakit mata akibat kekurangan vit-A dapat dicegah. Tapi jika mata sudah terasa berat, khususnya untuk melirik, sementara pandangan terasa kabur, sebaiknya berhati-hatilah. Apalagi kalau disertai rasa nyeri. Karena biasanya itulah gejala tumor mata yang disebut juga tumor orbita. Dari pemantauan yang dilakukan tahun 1980 di rumah sakit besar seluruh Indonesia, 37,5 persen penderita yang datang dengan buta total adalah penderita tumor orbita -- tumor yang tumbuh pada rongga mata. Mungkin, karena persentase kebutaan yang tinggi itu Perdami (Perhimpunan Dokter Ahli Mata Indonesia) tergugah mengadakan seminar, pada 10 Oktober lalu di Surabaya. Seminar sehari yang membahas 13 makalah ini dihadiri sekitar 300 dokter serta tamu dari Jepang dan Belanda. Menurut Prof. Tamin Radjamin, ketua panitia seminar, setiap jaringan di rongga mata (orbita) berpotensi untuk terkena tumor. Selain itu, orbita bisa menjadi tempat penyebaran tumor ganas dari organ lain di dalam tubuh. "Saat ini telah banyak kemajuan pada ilmu kedokteran, namun tumor mata masih belum banyak diperhatikan dan diketahui," kata guru besar Penyakit Mata FK Unair Surabaya ini. Tumor orbita disebut juga tumor retrobulbar. Tumor mata ini terletak di belakang bola mata, di daerah posterior orbita. Bagian depan tumor orbita ini biasanya terhalang oleh bola mata, dan selebihnya terkungkung oleh tulang kranial yang berbentuk mangkuk dan berfungsi sebagai dinding orbita. Pada tumor ini ada gejala khas, yakni mata menonjol keluar atau proptosis. Penonjolan ini, menurut dr. Bakri Abdul Syukur, disebabkan adanya penambahan isi pada ruang orbita. Padahal, ruang orbita itu sangat sempit dan dibatasi dinding-dinding tulang. "Akibatnya, bola mata terdorong keluar," kata sang dokter menjelaskan lebih jauh. Mata yang normal penonjolannya berkisar 12-20 mm atau rata-rata berkisar 15-16 mm. Bila beda kedua mata sekitar 2 mm, ini masih bisa dianggap dalam batas normal. Tapi jika sudah melebihi angka itu, harus hati-hati. Di samping itu, karena adanya proptosis, kornea tidak dapat tertutup dengan sempurna, hingga mudah timbul penyakit keratitis -- infeksi kornea. Kepekaan kornea pun mulai menurun. Ini berarti tumor sudah invasi ke orbita. Penyebab timbulnya tumor pada rongga mata ini bisa tumor saraf, tumor di jaringan otot, tumor di pembuluh darah, maupun proses peradangan. Diakui para ahli mata, diagnosa tumor orbita memang sangat sulit. Tak cukup hanya didasarkan pada pemeriksaan klinis, perlu diagnosa penunjang dan konsultasi antardisiplin ilmu, dari ahli THT dan bedah saraf, misalnya. "Kelainan orbita, selain sulit ditebak, juga sulit penanganannya," tambah dr. Bakri, sambil mengerutkan dahinya. Jalan satu-satunya adalah dengan melakukan pembedahan, yaitu mencabut tumor yang nongkrong di ruang orbita hingga ke akar-akarnya. Tapi ini pun belum menjamin mata akan tetap seindah aslinya. Gatot Triyanto, Irwan S. (Padang), Wahyu Muryadi (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini