LANGIT di atas Desa Sukorejo, Boyolali, mulai kelam selepas magrib. Darsono mengajak istrinya masuk ke kamar. Tidur. Ada rasa teduh di hati Paini, istrinya, karena dua bocah mereka sudah lelap. "Kapan ke Jakarta lagi, Mas?" tanya Paini, sambil menggaruk gatal di tangannya. Darsono alias Sohinu tak menjawab, walau sering ke Jakarta. Sebagai buruh, ia terkadang sebulan di rantau. Lalu balik lagi ke kampung, sebentar. Wajah perempuan yang lebih tua sembilan tahun daripada dia itu dipandanginya. Dan yang dipandang seperti tak peduli. Paini memang sedang sibuk menggaruk tubuhnya. Laher, lengan, dan bagian mana saja. Gatal-gatal itu makin kurang ajar. Darsono bangkit. Ia keluar kamar. "Coba, kuobati," kata Darsono. Ia masuk lagi, membawa alat suntik Paini menatap sebentar. Heran. Suaminya yang 21 tahun ini bukan dokter. SD-nya saja cuma setahun. Paini kemudian menurut. Juga ketika suaminya menyingkapkan kainnya sampai ke atas paha. Di dekat "situ" (maaf) jarum suntik berisi seperempat cairan itu lalu ditancapkan. Cruuut! Ketika perempuan yang dinikahinya 4 tahun lalu itu merintih, Darsono menenangkannya. Bahkan cairan yang sama dioleskan pada bagian luar alat vital Paini. "Sebentar nanti sembuh," ujar Darsono, lembut. Yang terjadi: Paini roboh dan disusul kejang-kejang. Dari mulutnya keluar busa. Dari anusnya muncrat kotoran. Buru-buru Darsono memanggil Juminah, saudaranya yang tinggal dekat rumahnya. Maksudnya untuk ngeriki. Juminah gugup. Jika masuk angin, kenapa yang keluar busa dan kotorannya. Bu Cipto, tetangga yang membantu ngeriki, tak tega melihat Paini meronta-ronta. "Dia bukan masuk angin. Kerikan-nya tidak merah," kata Bu Cipto. Lalu ia mengabari tetangga lain tentang sakit Paini. Belum sempat dibawa ke rumah sakit, Senin, 4 Mei, sekitar pukul tujuh malam Paini meninggal dunia. Ketika Modin Abdul Goni menyingkap kain panjang yang menyelimuti mayat Almarhumah, ia curiga. Lalu ia lapor ke kepala desa dan puskesmas. Laporan diteruskan ke polisi. Dan mayat itu dua hari diinapkan, menunggu dibedah. Setelah itu, tabir kemudian terkuak. Paini, menurut visum dokter, meninggal karena disuntik dengan cairan diazinon. Rupanya, Darsono diam-diam sudah berencana melenyapkan istrinya. Dua anak (umur 2 tahun dan 7 bulan) dari rahim Paini dicurigainya bukan hasil cintanya. Darsono pada pemeriksanya berkata, "Hanya beberapa kali kumpul, masa dia bisa hamil." Seminggu sebelum kejadian, Darsono melihat bocah bernama Soepono (anak tetangga) memainkan alat suntik. Lalu ia minta dan disimpan di dinding rumahnya yang gedek. Dan cairan beberapa sendok itu ia minta dari Pronosuwito. Tetangganya itu tak curiga, karena Darsono beralasan untuk mengobati hama di pohon cengkihnya. Ketika disidangkan di Pengadilan Negeri Boyolali, Darsono sulit mengelak. Menurut Jaksa Podo Budihardjo, S.H., dia memang merencanakan membunuh. "Darsono bosan dengan Paini, karena sudah tua. Dan siapa tahu di Jakarta dia sudah melirik wanita lain?" kata jaksa itu pada TEMPO. "Tapi saya bermaksud mengobatinya," kata Darsono. Lain pula dengan kesaksian Abdul Goni. Modin yang memperhatikan Darsono ketika istrinya telah meninggal itu memberi keterangan, "Kesedihan dia hanya dibuat-buat." Pertengahan November lalu Darsono divonis 8 tahun penjara. Vonis itu dirasanya berat. Lelaki bertubuh kurus itu berwajah kuyu, dari balik selnya. Darsono bermaksud banding. "Saya kasihan pada anak-anak yang masih kecil-kecil. Saya menyesal," kata Darsono, pertengahan Desember lalu pada TEMPO. Sesal memang sering datang terlambat, Dar. Widi Yarmanto (Jakarta) & Nanik Ismaini (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini