DENGAN tangan tergari, Tan Yong Cin alias Acin lari ke arah kebun tembakau di Pasar VI Kelurahan Helvetia. Yang mengejar di belakang Sertu Menhier Sianturi dari Polsekta Medan Barat. Acin alias Eddu kehabisan napas. Ketika ia tersengal, Sianturi menangkapnya. Acin dibawa ke rumah Tukiem yang tak jauh dari kebun itu. Tukiem, 56 tahun, menurut polisi, menadah sepeda mini milik Ho Chun Leng alias A Kun. Sepeda itu, kata polisi, dicuri Acin. Di halaman rumah itu Sianturi mengambil 10 batang tebu. Dengan tebu untuk bibit itu Sianturi menghajar Acin. Pukulan hampir merata di kepala, punggung, dada. Acin menjerit-jerit. Tukiem tak tega melihatnya. Ia bersembunyi ke kamar. A Hui mencoba mencegah Sianturi agar tak menggasak pemuda 18 tahun itu. A Hui? Sedangkan Serda Dewasa Marpaung, yang ikut memburu Acin juga tak dipedulikan Sianturi. "Daripada saya dipecat, lebih baik orang ini mati," kata Sianturi. Sianturi baru berhenti membantai setelah lelah sendiri. Dan Acin sudah setengah modar, lalu barulah dibawa dengan minibus ke Polsekta Medan Barat. Tiba di situ, Acin terjerembab karena tangannya disentak Sianturi. Dalam keadaan tak berdaya, Acin dipapah masuk. Kapten L. Silalahi, Kapolsekta Medan Barat, kemudian membawa buronan tersebut ke R.S. Pirngadi. Di tengah perjalanan, Acin memuntahkan buih putih bercampur kuning. Lalu disusul darah keluar dari mulutnya. Setelah di rumah sakit itu, Acin tewas. Menurut visum, ada pendarahan di dalam otak, akibat hantaman benda tumpul. Lilia Halim, 44 tahun -- ibu Acin -- tak senang. Lilia mengadukan kedua polisi itu kepada pihak berwajib. Karena itulah hingga 15 Desember lalu Sianturi dan Dewasa duduk sebagai tertuduh di Pengadilan Militer, Medan, yang dipimpin Letkol. Kusnindar. Selain Dewasa Marpaung, 42 tahun, A Hui, dan Tukiem, Kun, 40 tahun, juga melihat perbuatan Sianturi. Di sidang yang sampai lewat magrib itu semua saksi memberatkan terdakwa. A Hui dan A Kun sejak awal sudah mengingatkan kedua polisi itu. Dalam kejadian 1 Juni lalu itu mereka jangan gampang lalu tangan kepada Acin. Karena mereka juga kenal baik dengan Lilia Halim -- tetangga mereka di Desa Mabar, di pinggir Kota Medan. A Kun kehilangan sepeda itu akhir Mei, sebelum korban meninggal. Pada saat yang sama, A Hui kehilangan 6 ekor ikan hias yang dibelinya Rp 25 ribu. Untuk mendukung tuduhannya, A Hui menemui si penadah, yang katanya dijual Acin Rp 12 ribu. Tukiem juga mengaku membeli sepeda itu dari Acin. Mereka lalu mencari Acin. Anak ini memang dikenal sering mencuri ayam, ban sepeda, dan uang. Acin datang dari keluarga yang hidupnya kurang pas, dan dia tak meneruskan SD. Setelah beberapa hari gagal mencarinya, A Kun menemui dia di sebuah bar pelacuran murah, di Belawan, 20 km dari Medan. Tapi seperti tak ada persoalan, Acin menyambut kedatangan A Kun. Diam-diam A Kun membujuk pemilik bar untuk memanggil polisi setempat. Acin ditangkap. Ia diserahkan pada Sianturi serta Dewasa. Kedua polisi itu -- ditemani A Hui dan A Kun -- lalu ke si penadah. Di rumah Tukiem, mereka tak menemukan sepeda mini itu, karena sedang dibawa cucu Tukiem. Mereka menunggu kedatangan si cucu hingga mengantuk. Acin memanfaatkan keadaan itu. Ia kabur. Nasibnya kemudian "diproses" lewat batangan tebu. Dan datanglah ajalnya. Tapi Sianturi ngotot. Ia membantah menghajar Acin. Sebaliknya Kusnindar. "Fakta, keterangan saksi, dan visum bertentangan dengan keterangan terdakwa," katanya. Malah Sianturi dianggapnya mempersulit sidang. Ia kaget ketika Kusnindar memerintahkan terdakwa itu dimasukkan ke tahanan militer -- sambil menunggu sidang lanjutan pekan ini. Monaris Simangunsong & Irwan E. Siregar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini