Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Akhir Karier

Sofiandi, 44, dicopot dari jabatannya sebagai kepala imigrasi Tanjungbalai, karena terlibat pemalsuan paspor RI. Karier dan kehidupan sehari-hari Sofiandi. (krim)

20 Juli 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEWAKTU Moesnal Affandi, pejabat sementara kepala Kantor Imigrasi Tanjungbalai, memasuki kantor barunya Jumat pekan lalu, di dinding masih tergantung dua buah foto. Foto pertama memperlihatkan pejabat lama Sofiandi dan Roslina, istrinya, dalam sebuah pesta. Pada foto yang lain tampak Sofiandi sedang mengikuti penataran di Kanwil Departemen Kehakiman Sumatera Utara. Kedua foto tersebut pekan ini sudah dicopot dari tempatnya. Sofiandi, 44, tak lagi menjadi kepala Kantor Imigrasi Tanjungbalai, Asahan. Ayah satu anak yang baru sekitar satu setengah tahun menjadi kepala di situ ditahan pihak Kejaksaan Agung sejak awal Juli lalu. Ia diduga keras telah mengeluarkan paspor palsu untuk 22 orang RRC yang ingin masuk Meksiko. Banyak yang terkejut sewaktu mendengar bahwa Sofiandi, telah berbuat begitu "gila". Pria dengan tinggi sedang dan tubuh agak gemuk itu sehari-harinya dikenal sebagai pimpinan yang baik. "Suaranya lembut, dan bicaranya tak banyak," kata seorang bekas anak buahnya. Tapi beberapa karyawan lain menilai Sofiandi suka pilih kasih. Di kantor dengan 15 karyawan itu, katanya, hanya empat orang yang selalu dekat dengan bosnya. Yang paling dekat adalah Azhar Zakir, kepala urusan umum, yang boleh dibilang menjadi tangan kanan Sofiandi. Keempat orang ini kini ditarik ke Kanwil Departemen Kehakiman Sumatera Utara karena diduga turut mempunyai andil dalam soal dikeluarkannya paspor palsu yang menghebohkan itu. Terlepas dari penilaian bawahannya, Sofiandi dikenal senang berpakaian rapi. Kesukaannya menonton film-film Barat atau Indonesia. Kegemarannya yang lain, menyanyi sambil bermain gitar. "Ia senang lagu-lagu anak muda. Penyanyi kesayangannya, Diana Nasution," tutur istrinya. Gaya hidup pria kelahiran Pontianak, Kalimantan Barat, yang menguasai bahasa Inggris, Cina, dan sedikit Jepang itu jauh dari gemerlapan. Di Tanjungbalai, ia bersama istri dan anak lelakinya menempati rumah dinas yang perabotannya hampir tak menunjukkan tanda-tanda kemewahan. Tak ada pembantu di rumah itu. Semua pekerjaan boleh dibilang dikerjakan sendiri oleh Roslina, yang dinikahi tahun 1967 di Pontianak. Kekayaannya yang bisa dicatat barangkali berupa sebuah mobil jip yang biasa dikendarainya bila pergi ke kantor. Sebuah Toyota Kijang, yang dibeli beberapa bulan lalu di Jakarta, sempat disita pihak Kejaksaan Agung setelah Sofiandi ditahan. Tapi, kata Roslina, mobil itu kemudian dikembalikan lagi. Kendaraan lain berupa sepeda motor mini model Dandy, yang sering dipakai anak Sofiandi, pelajar SMP, keliling kota. "Temannya sering terkagum-kagum melihat sepeda motor itu," ujar seorang tetangga. Kekayaan lain adalah sebuah rumah di Pademangan, Jakarta Utara, seluas sekitar 150 m2. Rumah yang dibeli pada tahun 1971, saat Sofiandi bertugas di Jakarta, itu terletak di daerah pecinan - mayoritas penduduknya keturunan Cina. Tampak sedikit mencolok dibanding rumah sekitarnya, rumah itu tak bisa dibilang mewah. Sehari-hari rumah ini dihuni adik iparnya. Barulah, bila Sofiandi dipanggil ke Jakarta, rumah itu ia tempati bersama istrinya. Roslina mengaku mendapat uang belanja Rp 200.000 sebulan. Sofiandi yang berkulit kehitaman itu, menurut si adik ipar dan juga istrinya, amat pemurah. Maksum, kepala lingkungan di lokasi kediaman Sofiandi di Tanjungbalai, berpendapat serupa. Waktu diminta sumbangan untuk membangun pos siskamling, pejabat Imigrasi itu memberi Rp 5 ribu. "Padahal, tetangganya, yang kebanyakan keturunan Cina, cuma memberi Rp 500," katanya. Menurut sumber di Imigrasi, lelaki ini tampaknya mempunyai istri muda, yang dikawininya enam tahun lalu. Tinggalnya di Pademangan juga, hanya beberapa ratus meter dari rumah yang ditinggali Roslina. Tapi Roslina mengatakan tak tahu-menahu tentang simpanan suaminya itu. "Kalau betul dia kawin lagi, akan saya lempar dengan ini," katanya sambil memegang asbak. Ia tak percaya karena waktu tahun 1979 Sofiandi naik haji, Roslinalah yang mendampingi. Sofiandi lahir di Pontianak bulan November 1941. Tamat Akademi Imigrasi, 1964, ia bertugas di Pontianak dan Jakarta. Pada 1979 sampai 1983 ia menjadi kepala Imigrasi di Biak, Irian Jaya. Dari sana, barulah ia dialihtugaskan ke Tanjungbalai. Ternyata, di sanalah kariernya berakhir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus