JINGKRAK-jingkrak itu sehat. Disko dan breakdance itu baik. Sekitar 40 siswa kelas I SMPN 216, Jakarta, langsung ketawa. Yang bilang begitu adalah Budiyanto, guru biologi, yang Senin pekan ini memberikan penataran P-4 kepada para siswa. Mulai tahun ajaran 1985-1986 ini semua siswa kelas I SMTP dan SMTA diharuskan mengikuti penataran P-4. Selama enam hari pertama sekolah, mereka tak mendapat pelajaran. Gantinya, sejumlah ceramah oleh para guru - yang sebelumnya sudah ditatar terlebih dahulu. Isi ceramah, dari soal Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila sampai upacara bendera. Dari wawasan pendidikan sekolah sampai soal nyanyian nasional dan daerah. Sepintas, "Penataran ini memang tak bisa dipisahkan dengan pelajaran Pendidikan Moral Pancasila dan Sejarah Perjuangan Bangsa," kata S. Budiono, kepala SMPN 216, Jakarta. 'Cuma, tujuannya berbeda. Bukan hasil belajar yang diharapkan, tapi kedisiplinan siswa mengikuti kegiatan ini." Itu sebabnya, di hari pertama penataran Senin pekan ini, sekitar 30 siswa SMPN 216 tak diperbolehkan mengikuti upacara pembukaan karena terlambat datang. "Besok, tak ada tawar-menawar lagi, harus sudah datang di sekolah lima menit sebelum penataran," kata Budiono. Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (PDM), Hasan Walinono, penataran ini bukannya mengada-ada. Manfaatnya jelas, antara lain untuk menggantikan kegiatan masa perkenalan atau masa perploncoan. "Dengan penataran, para siswa lebih bisa diarahkan," katanya kepada Indrayati dari TEMPO. Untuk ini, pihak Departemen P & K menyediakan anggaran cukup besar. Bagi semua siswa kelas I dari sekitar 13.000 SMTP swasta dan negeri di seluruh Indonesia, diberikan uang minum dan makanan kecil Rp 100 per siswa per hari. Bagi siswa kelas I dari sekitar 6.000 SMTA, uang itu lebih besar sedikit, Rp 125. Sedangkan guru penatar mendapat honorarium Rp 4.000 untuk penataran enam hari ini. Uang untuk siswa diberikan kepada pihak sekolah, dan pengadaan jenis minuman dan makanannya pun diserahkan pada pihak sekolah pula. Pun, apakah uang itu cukup atau tidak, silakan sekolah yang cari akal. Selain anggaran tersebut, masih ada pengeluaran lain, yakni untuk menyusun dan mencetak buku pegangan buat guru dan buku penataran bagi siswa. Buku-buku ini dibagikan gratis. Adapun suasana penataran tampaknya bergantung pada gurunya. Di kelas Budiyanto suasana santai dan gelak tawa sering terdengar. Guru biologi SMPN 216 itu memang kocak. Tapi di kelas lain murid-murid acuh tak acuh, ada pula yang mengantuk. "Habis, Pak Guru ceramah terus, tidak memperhatikan apakah muridnya mendengarkan atau tidak," kata seorang murid. Tampaknya, keberhasilan penataran ini sangat bergantung pada cara guru memberikan ceramah. Para siswa itu, kata seorang kepala sekolah yang minta jangan disebutkan identitasnya, semestinya didekati dengan bahasa mereka sendiri, bahasa remaja. Bila guru memberikan ceramah yang kaku dengan bahasa formal tanpa humor, "Hanya membuat murid mengantuk," katanya. Buku yang dibagikan pun, yang disusun sebuah tim yang diketuai Darji Darmodiharjo, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah sebelum Hasan Walinono, menurut penilaiannya tak mengundang para remaja untuk membacanya. Bahasa buku itu cenderung memerintah, jauh dari kocak. Istilah "penataran" ini pun, menurut pendapatnya, kurang kocak. Semestinya dicarikan istilah macam kemping atau ngebrik. Suara itu memang berangkat dari kenyataan. Di hari pertama penataran, siswa-siswa di Jakarta suka saling mengejek. "Wah, kok seperti pegawai negeri, ditatar segala," kata seorang siswa. Yang lain menjawab, "Tapi asyik, ditraktir teh botol oleh Pak Marlin." Maksudnya, J.B. Sumarlin, ketua Bappenas yang kini juga menjadi menteri P & K sementara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini