PETUGAS rumah tahanan (rutan) Salemba, Jakarta, mendapat kerepotan baru. Enam orang Cina penghuni Blok A 23 yang ditahan sejak awal bulan ini menolak menu yang disediakan. "Mereka tak mau makan nasi. Dikasih ikan dibuang. Wah, repot juga," kata seorang tahanan di situ. Selain itu, mereka suka pula menangis. Ketika pertama memasuki sel tersebut, keenam orang itu serentak menangis meraung-raung. Baru beberapa hari belakangan ini keenam imigran gelap dari RRC itu agak tenang. Semua itu kabarnya berkat A Cong, seorang tahanan, yang mengerti selera mereka. A Cong membantu petugas rutan memasakkan bubur nasi dicampur sayur sawi yang direbus dengan campuran sedikit minyak kelapa. Masakan itulah yang dihidangkan di dalam mangkuk lengkap dengan sumpitnya. Selain itu, A Cong berfungsi sebagai juru bahasa, setiap kali orang-orang Cina itu berhubungan dengan petugas rutan. Kebetulan, leluhur - A Cong berasal dari kota yang sama dengan asal imigran gelap itu, Fuchow, ibu kota Provinsi Fukien, di bagian tenggara Cina. Provinsi itu dikenal paling banyak menampung orang-orang Cina perantauan yang pulang kampung setelah peristiwa G-30-S. Tapi keenam tahanan ini mengaku mengenal nama Indonesia cuma lewat pelajaran di sekolah. Berikut ini, cerita mereka:Li Ri Hong, 29, pemegang paspor RI No. A 423467. Lelaki berperawakan kurus tinggi, dengan muka agak lonjong berambut lurus, ini mengaku lahir di Fuchow. Tapi di paspor "aspal" ia disebutkan lahir di Indrapura, sebuah kota kecil tak jauh dari pabrik peleburan aluminium Kuala Tanjung, Sumut. Li Ri Hong menyebut pekerjaannya adalah buruh pabrik di Fuchow, dengan gaji 100 renminbi (mata uang RRC) sebulan, atau kira-kira Rp 39.000. Jumlah itu, menurut dia, sudah mencukupi baginya dengan seorang istri dan dua anak. "Di Cina, sudah dianggap cukup bila seseorang menghasilkan 30 renminbi sebulan," ucapnya pada seorang petugas. Jumlah yang disebutkannya itu kalau di sini sekitar Rp 10.000. Tapi, menurut Li, dia punya famili di Amerika yang menjanjikan pekerjaan lebih baik baginya. Karena itu, sekitar bulan April yang lalu Li menyeberang ke Hong Kong dengan bus. "Saya berangkat dengan sah menggunakan paspor RRC," ujar Li Ri Hong. Untuk keluar dari Daratan Cina, orang-orang Cina ini mengaku mengeluarkan biaya 15 sampai 40 renminbi untuk sebuah paspor RRC. Selain itu, mereka mengaku berbekal uang hasil tabungan mereka selama ini, 500 sampai 600 renminbi (sekitar Rp 200.000-an). Di Hong Kong, Li tak perlu keluar biaya. Dia menetap beberapa lama di rumah saudaranya, untuk mendapat semacam penataran seluk-beluk Amerika dan cara bekerja di negeri Paman Sam itu. Setelah pelajaran dirasa cukup, barulah Li terbang ke Bangkok, Muangthai, dengan tiket yang dibelikan famili tadi, dan tinggal di hotel Huang Chung. Di kalangan pencari kerja dari Daratan Cina, nama hotel itu memang sudah amat terkenal karena merupakan tempat berkumpul para imigran untuk semacam transit ke berbagai negeri tujuan. Memang, di sinilah Li berkenalan dengan Mr. Wong. Kenalan baru itu bersedia mengirimkan Li ke Amerika dengan bayaran Rp 10 juta, termasuk untuk biaya tiket pesawat, paspor (Indonesia), dan berbagai urusan lainnya. Belakangan, diketahui bahwa Mr. Wong itu tak lain adalah Wong Sin Fat alias Yohanes Purwadi, penduduk Kelurahan Krukut, Jakarta Barat. Hanya saja, menurut Li, uang itu baru diterima Wong setelah mereka sampai di tempat tujuan. "Karena yang akan membayar adalah saudara saya yang di Amerika," katanya. Ternyata, bersama empat teman lainnya, Li tersasar ke Jakarta, dan akhirnya jadi penghuni rutan Salemba. "Wah, saya pusing sekali," ujar Li sambil memijit kepalanya. Di kedua belah pelipisnya kelihatan menempel Salonpas. Zheng Zi Qiang, 34, Paspor No. A 423490 Mengaku dilahirkan dan tinggal di kota yang sama, Fuchow, Zheng menuturkan pengalaman yang tak jauh berbeda dengan Li Ri Hong. Ia juga berkenalan dengan Mr. Wong di hotel Huang Chung. Menurut Zheng, mereka sengaja memilih paspor Indonesia karena Indonesia dikenal sebagai negeri nonkomunis. "Di Meksiko, kalau berpaspor negeri komunis, gerak-gerik kita selalu dicurigai," katanya. Tak jelas dari mana Zheng dan kawan-kawannya mengetahui kiat ini. Ketika itu, di hotel Huang Chung sudah berkumpul 21 pencari kerja yang berasal dari negeri yang sama. Mereka jadi gembira ketika Mr. Wong menyanggupi menyediakan paspor. Segera saja mereka menyerahkan foto kepada Mr. Wong berikut catatan nama-nama di atas secarik kertas. Tiga pekan setelah Itu, atau sekitar awal Juni lalu, Mr. Wong menemui mereka dengan paspor jadi berikut visa untuk masuk ke Meksiko. Kota yang mereka tuju sebenarnya adalah New York, Amerika Serikat. Kiranya, setelah kini nasib Hong Kong tak menentu, banyak pengusaha Cina yang mengalihkan modalnya ke New York. Mereka terutama bergerak di bidang tekstil dan pakaian jadi serta restoran. Kuat dugaan, Zheng dan kawan-kawannya itu mendapat janji pekerjaan di perusahaan-perusahaan itu. Biasanya, usaha seperti itu menampung imigran gelap sebagai buruh dengan upah murah. Buruh sejenis ini konon tak berani menuntut kenaikan upah karena takut dilaporkan majikannya kepada polisi. Dari Meksiko, Imigran gelap berpaspor Indonesia itu tinggal selangkah lagi mencapai Amerika Serikat. "Saya memang bersedia bekerja apa saja di Amerika," kata Zheng. Soalnya, di kampung halamannya, lelaki dengan istri dan tiga anak itu cuma hidup sebagai petani. "Di sana jadi petani susah, tak bisa punya uang," tuturnya. Wang Xing Ming, 34, Paspor No. A 423471 Petani dengan lima anak ini mengaku sampai ke Bangkok karena ajakan teman-temannya. "Semula saya ikut untuk jalan-jalan saja ke Bangkok," katanya. Pernyataan ini memang agak meragukan. Sebab, tidak biasa petani seperti dia bisa sampai ke Bangkok cuma untuk pesiar, sekalipun biaya perjalanan Hong Kong-Bangkok ditanggung familinya di Hong Kong. Berperawakan sedang, tinggi 160 cm, dengan wajah yang terlihat ramah, Wang mengaku menggabungkan diri dengan teman-temannya yang akan ke Amerika setelah muncul Mr. Wong, yang mengkoordinasikan mereka. Cerita yang tak jauh berbeda datang dari Zhang Zeng Rong, 29, dengan paspor nomor A 423463, dan Huang Jin Zhu, 27, paspor nomor A 423454. Yang agak lain adalah Yu Hui Ming, yang berperawakan sedikit gemuk dan berpakaian rapi. Dia tidak termasuk lima orang yang ditangkap basah petugas imigrasl di bandar udara Soekarno-Hatta itu. Yu ditangkap 5 Juli lalu, atau setelah dia sempat berkeliaran sembilan hari di Jakarta. Rupanya, Yu dengan selamat melintasi mata petugas imigrasi di bandar udara Soekarno-Hatta, setelah mendarat dengan pesawat Cathay Pacific, 27Juni 1985, dari Bangkok. Padahal, paspor Yu Hui Ming, menurut sumber TEMPO, semodel dengan paspor lim? imigran gelap lainnya. Tapi ketika Yu tertangkap, petugas tak menemukan lagi paspor apa pun padanya. "Paspor saya di dalam tas yang terbawa oleh teman saya," katanya. Menurut ceritanya, setelah mendarat, bersama dua temannya, i Ching Hwa dan Zhe Tan, mereka naik sebuah taksi berwarna biru. Mereka singgah di sebuah gedung tinggi yang tak jelas di mana persisnya. Entah bagaimana kedua temannya konon menghilang, dengan membawa tasnya yang berisi pakaian dan surat-surat penting. Mengaku berpendidikan SLTA dan hidup sebagai buruh pabrik beras di Fukien, dengan penghasilan 200 renminbi sebulan, Yu mengatakan bahwa tujuannya ke sini cuma sebagai turis. Dia ingin mengunjungi familinya yang bernama Wu Xiang Cheng di Surabaya. "Istri saya tinggalkan karena tak punya cukup ongkos," kata lelaki dengan dua anak itu. Dia mengatakan sudah lupa alamat famili itu karena catatannya berada di dalam tasnya yang hilang. Bagaimana tentang paspor itu? Yu membantah keras memiliki paspor Indonesia seperti kelima temannya satu sel. "Warnanya biru, saya punya paspor Muangthai," katanya dengan sengit. Yu Hui Ming memang kelihatan rada licik dibanding temannya yang lain. Misalnya, ketika suatu kali mereka disuruh petugas menyanyi, dia segera menangis, sementara lima temannya menyanyikan lagu Cina. Akhirnya, petugas itu membebaskannya dari tugas itu. Yu pula yang berani menawarkan pakaian dan jam tangan mereka kepada petugas agar dilepaskan. Padahal, pakaian itu sudah butut dan dari bahan murahan, sedangkan jam tangannya pun merk Seiko dan Titoni buatan tahun 1960-an. Tentu, yang ditawari sogok cuma tertawa. Amran Nasution Laporan Didi Prambadi (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini