Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Akhir Kegilaan Si Buntung

Polisi berhasil menangkap keluarga Toni Buntung, penculik anak di empat kota. Inilah petualangan dan kegilaan mereka.

5 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALAM sudah merangkak jauh. Perumahan Tiara Ajimas Permai, Ajibarang, Banyumas, sudah senyap. Penghuninya kebanyakan sudah ngorok. Namun sebuah rumah di blok P nomor 9 malah kedatangan tamu. Sebuah mobil Kijang berhenti di depan rumah. Penumpangnya langsung merangsek ke halaman.

Setelah pintu rumah bercat putih itu diketuk, beberapa lelaki yang tak lain polisi disambut tuan rumah, seorang perempuan, yang diikuti seorang laki-laki yang kedua tangannya dimasukkan ke saku jaket. Lelaki yang usianya hampir setengah abad itu mencoba bersikap ramah. Sebaliknya, para tamu tak mau mengumbar basa-basi. ”Mana Buntung?” salah seorang dari mereka membentak.

Si tuan rumah malah balik bertanya, ”Buntung? Siapa Buntung?” Salah satu polisi menjawab dengan tegas, ”Saya tidak tahu namanya, tapi panggilannya Buntung.” Lelaki berjaket pun berkata lagi, ”Di sini tidak ada Buntung.”

Jawaban itu seperti terseret angin malam. Mereka menerobos ke dalam rumah tipe 36 itu. Tiap ruangan digeledah, tapi nihil hasilnya. Betul kata si tuan rumah, tiada lelaki di rumah itu selain dirinya.

Namun, melihat perangai lelaki itu yang masih memasukkan lengannya ke dalam saku jaket, terbitlah curiga di benak Kuswanto, salah satu polisi penggerebek. Dia langsung menarik kedua tangan pria itu. Ooops..., ternyata tangan pria itu tak sempurna. Jari-jarinya tak ada. ”Langsung saja saya tinju wajahnya karena ternyata kedua tangannya memang buntung dan dia yang kami cari,” katanya.

Setelah diselidiki lagi dan dipastikan, akhirnya Tono Andriyanto alias Toni Buntung atau Toni Ompong digelandang ke Kantor Kepolisian Resor Cilacap, Jawa Tengah. Lelaki 47 tahun ini sudah lama diincar karena diduga menjadi dalang serangkaian kasus penculikan anak. Bersama Toni, polisi membawa Imas, yang tak lain menantunya, dan Maryati, istrinya, yang turut terlibat dalam penculikan. Dari rumah itu pula petugas menemukan Riska, 6 tahun, dan Budi Bahari Sanjaya, 3 tahun, dua korban penculikan yang selama ini mereka cari.

Tak pelak, penangkapan pada Jumat dua pekan silam itu mengakhiri petualangan Toni Buntung sejak Maret lalu. Ia beraksi bersama istrinya, Maryati, 47 tahun, dan kedua anaknya, Jefri Saputra, 23 tahun, dan Deny Saputra, 20 tahun, serta Imas, 17 tahun, istri Jefri. Tak kurang dari 10 anak dari berbagai daerah—Cianjur, Bogor, Magelang, Cilacap, dan Jakarta—telah menjadi korban. Dari hasil kejahatannya, Toni Buntung berhasil mendapatkan uang jutaan rupiah, yang dipakainya untuk membeli mobil minibus dan rumah yang lengkap dengan perabotnya.

Penculikan yang dilakukan keluarga Toni Buntung boleh jadi yang paling sadis yang pernah terjadi di negeri ini. Motifnya sungguh berbeda dengan kasus yang menimpa Hegel Muthahari di Tangerang beberapa waktu lalu. Saat itu Hegel diculik dengan maksud agar orang tuanya mau membayar utang. Toni Buntung melakukan pencidukan bocah-bocah semata untuk mendapatkan uang tebusan. Ia pun tak segan-segan memerkosa bahkan menghabisi nyawa korban.

Sebelumnya, Toni, yang lahir di Jakarta, dikenal sebagai bromocorah kelas kambing yang sering keluar-masuk penjara. Luka sekujur tubuh, termasuk tangannya yang buntung, merupakan buah dari kelakuannya di masa lalu (lihat Kisah Keluarga Penculik). Karena tangannya cacat, akhirnya dia beralih profesi dari mencuri dan merampok menjadi menipu dan kemudian menculik.

Modusnya terpola. Untuk menculik, yang turun ke lapangan adalah dua anaknya, Jefri dan Deny. Korban yang menjadi target operasi harus diselidiki dulu. Tak perlu dari keluarga kaya, yang penting keluarga itu bisa mereka hubungi lewat telepon jika korban sudah berada di tangan. Dengan demikian, transaksi tebusan bisa dilakukan. Soal harga tebusan sepenuhnya di tangan Toni, sedangkan pengurusan korban selama dalam penculikan ditangani Maryati alias Tan Mon Lai dan Imas.

Jefri dan Deny biasa mendekati calon korban dengan cara yang simpatik. Umumnya korban tak jauh dari tempat mereka mengontrak rumah saat itu. Itu sebabnya keluarga penculik ini sering berpindah tempat. Untuk berkenalan dengan calon korban dan keluarganya, mereka kerap berpura-pura punya keperluan, misalnya membeli atau mengontrak rumah. Mereka lalu meminta si bocah calon korban mengantar ke tukang rokok. Dan setelah itu, korban dibawa kabur.

Yang menjadi korban pertama adalah Putri Nabila, hampir 2 tahun, anak pasangan Ade dan Sari, yang tak lain merupakan teman Deny. Putri dan keluarganya tinggal di Pademangan, Jakarta Utara. Hanya, aksi ini tak menghasilkan duit karena orang tua korban tidak sanggup membayar uang tebusan sebesarRp 15 juta. Akhirnya Putri yang sedang lucu-lucunya itu dibunuh. Mayatnya dibuang di dalam sebuah kardus. Hasil visum membuktikan, sebelum dibunuh, ia sempat diperkosa.

Gagal pada operasi pertama tak membuat mereka jera. Selanjutnya, Deny Saputra yang beraksi lagi. Kali ini targetnya adalah Widya Wirada Andini, 4 tahun 6 bulan, anak Rahmad, kenalannya, yang sehari-hari menjadi petugas Lembaga Pemasyarakatan Paledang, Bogor. Setelah mereka mendapatkan tebusan uang sebesar Rp 10 juta, akhirnya korban dilepas.

Bulan Juli, giliran Jefri Saputra, anak tertua Toni, yang melakukan penculikan. Korbannya kali ini adalah Dwi Yunita, 9 tahun. Penculik minta tebusan Rp 5 juta kepada ayah korban, Suwandi. Namun, karena bayarannya kurang dari yang diminta, beberapa hari kemudian keluarga Suwandi menemukan anaknya sudah menjadi mayat di Karawang. Mayatnya diletakkan di dalam kardus televisi.

Jefri Saputra beraksi lagi. Korbannya adalah Riska, 6 tahun, anak dari Dayat, seorang montir di Cianjur. Ini penculikan mereka paling besar. Selain menculik Riska, Jefri membawa paman dan bibi Riska. Uang tebusan yang diminta pun tak tanggung-tanggung, Rp 50 juta.

Menurut Nyonya Atin, ibu Riska, saat itu, sekitar awal Juli 2003, dia kedatangan tamu yang memperkenalkan diri dengan nama Jefri. Tujuannya adalah meminta Dayat memperbaiki mobilnya. Dari perkenalan inilah Jefri bisa akrab dengan keluarga itu. Atin mengaku tidak pernah jatuh curiga pada Jefri, yang berkelakuan baik dan sopan. ”Jadi, ketika dia mengajak Riska, saya tidak curiga, apalagi mereka pergi bareng sepupu saya,” kata Atin. Tiga kerabat Riska, yakni Andrian, 16 tahun, serta Enok dan Devi, masing-masing berusia 9 tahun, akhirnya dilepas. Tapi Riska sendiri baru ditemukan setelah Toni Buntung digerebek dua bulan kemudian.

Setelah serangkaian aksi, keluarga Toni Buntung amat berhati-hati karena polisi terus mengincar mereka. Apalagi, ketika itu, Deny, yang berada di Surabaya, tertangkap ketika mencuri motor milik calon mertuanya. Mereka tak mau lagi tinggal di sebuah kota berlama-lama, dan selalu berpindah-pindah lokasi. Menurut pengakuan Toni, dia sampai tiga kali pindah kota, dari Serang Barat, Provinsi Banten, lalu ke Ciruas, sampai akhirnya ke Ajibarang. ”Kami juga sempat ke Surabaya, tapi tidak menetap,” katanya.

Keluarga penculik itu tidak berani tinggal di Jakarta lagi karena televisi telah memberitakan korban penculikannya. Toni sempat memilih Tegal, tapi sial, harian Pos Kota, yang menunya berita kriminal, beredar sampai ke kota itu. Mereka pun tak punya nyali untuk berlama-lama di sana. ”Akhirnya saya putuskan ke Ajibarang karena Pos Kota tidak masuk ke sana,” ujar Toni Buntung.

Amankah mereka di sana? Ternyata tidak. Apalagi mereka terus ketagihan melakukan aksi lagi. Akhir September lalu, Jefri Saputra menculik Budi Bahari, 3 tahun, di Cilacap. Mula-mula dia berpura-pura mencari kontrakan rumah di Jalan Kolonel Sugiono di kota ini. Katanya, hendak dibuat menjadi pabrik tahu. Lalu dia pun sampai ke rumah Sutinem, nenek Budi, untuk menanyakan harga kontrakan. Si nenek sama sekali tak menaruh curiga karena penampilan Jefri yang sopan.

Melihat korbannya terpukau, Jefri pun pasang aksi. Setelah asyik ngobrol, ia pamit membeli rokok dan mengajak Budi. Tak curiga, Sutinem merelakan cucunyaikut dengan orang yang baru dikenalnya itu. Namun, lama ditunggu, si tamu dan Budi tak kembali. Tuan rumah pun langsung curiga. Setelah mencari seharian, mereka pun melapor ke polisi.

Beruntung, polisi tanggap. Selanjutnya, strategi pun dipasang. Tusinah, ibu Budi, disuruh menuruti semua yang diminta penculik, termasuk menyetor duit sebesar separuh dari yang diminta para penculik itu, yakni Rp 10 juta. Dari nomor rekening yang dituju, ketahuan pemiliknya, yakni Imas, yang beralamat di Kampung Pesanggrahan, Cisoka, Tangerang, Banten.

Kepala Polres Cilacap Ajun Komisaris Besar Polisi Prasta Wahyu Hidayat lalu mengirimkan anak buahnya hingga ke Tangerang untuk melakukan pengecekan. Ternyata penghuni alamat itu sudah pergi. Dari pemilik rumah, ketahuan pengontrak rumah itu bernama Tono Andriyanto, yang tinggal bersama istri, anak, dan menantunya. Dari pemilik rumah, mereka mendapatkan foto Jefri. Ketika ditanyakan kepada Sutinem, wajah di foto itu persis dengan orang yang membawa cucunya.

Dari situlah polisi memasang strategi baru untuk menyergap Jefri. Caranya dengan menyebar anggotanya di semua ATM Bank Lippo—tempat Imas menjadi nasabah. Mereka menempatkan anggotanya di berbagai ATM di Cirebon, Brebes, Ajibarang, Purwokerto, Banyumas, dan Cilacap yang dicurigai akan disinggahi Jefri untuk mengambil uang. Pelaku dipancing dengan janji akan diransfer lagi uang sebesar Rp 750 ribu. Dengan bekal foto itu, semua anggota polisi memasang mata dan kuping lebar-lebar.

Pada Jumat, 26 September 2003, sekitar pukul 12.00 WIB, ditransfer uang sebesar Rp 750 ribu. Pancingnya kena. Sore harinya, di Karanglewas terlihat seorang laki-laki yang mencurigakan. Karena ciri-cirinya mirip dengan Jefri Saputra, ditangkaplah orang tersebut dan digeledah. ”Di sakunya ditemukan dua buah kartu ATM atas nama Imas dan Jefri Saputra,” kata Ajun Komisaris Polisi Mahedi Surendra, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Cilacap.

Dari penangkapan itu, polisi pun mengembangkan penyidikan. Dari mulut Jefri, meski dia berbelit-belit, didapatkan keberadaan Toni Buntung. Malam itu juga mereka bergerak dan berhasil meringkus sang dalang. Namun anak dan bapak ini punya pikiran sama: ogah menyerah. Dalam perjalanan, keduanya mencoba melarikan diri. Jefri mati tersungkur, sedangkan Toni terhuyung setelah kakinya ditembak.

Di tahanan polisi, kini Toni sesekali terlihat sesenggukan menahan tangis. Ia dijerat pasal berlapis, dari penculikan, pemerkosaan, sampai pembunuhan. Istri dan menantunya mengalami nasib yang sama. Begitu pula Deny, yang sekarang ditahan polisi Jakarta Barat. Toni Buntung mengaku menyesal, tapi sudah amat terlambat. Ulahnya telanjur menebarkan penderitaan yang luar biasa bagi korban dan keluarganya.

Irfan Budiman, Syaiful Amin (Cilacap), Upiek Supriyatun (Cianjur), Deffan Purnama (Bogor)


Dari Jakarta sampai Cilacap

1978
Dalam sebuah perkelahian, Toni Buntung menusuk temannya hingga luka parah, lalu ia diganjar hukuman delapan bulan di Penjara Cipinang, Jakarta.

1983
Toni dipenjara lagi karena merampok seorang pengusaha di Jakarta Barat. Setahun kemudian, ia lepas dari Penjara Sukamiskin, Bandung.

Maret 2003
Mulai tertarik melakukan penculikan. Toni dan keluarganya diduga sudah menculik 10 anak sebelum dicokok polisi. Korban pertama adalah Nabila, sekitar 2 tahun, yang tinggal di Pademangan, Jakarta Utara. Ia ditemukan tewas di Bogor karena orang tuanya tak mampu membayar tebusan Rp 15 juta. Hasil visum membuktikan korban telah diperkosa sebelum dibunuh.

13 Juni
Keluarga Toni Buntung menculik Widya Wirada Andini, 4,5 tahun, anak petugas Lembaga Pemasyarakatan Paledang, Bogor. Korban dilepas lima hari kemudian setelah orang tuanya mengirimkan duit Rp 10 juta.

6 Juli
Bersama anak, istri, dan menantunya, Toni menculik Dwi Yunita Swantia, 9 tahun, di Jakarta Timur. Walau ayahnya sudah membayar tebusan Rp 4 juta, Dwi tetap dibunuh dua hari kemudian. Mayat korban, yang dibungkus kardus, dibuang di wilayah Karawang.

19 Juli
Karena dicari-cari polisi Jakarta dan Bogor, keluarga Toni Buntung pindah ke Cianjur. Di sana mereka menculik Riska, 6 tahun, dari rumah orang tuanya di Kampung Cicantu Mekar, Hegarmanah, Cianjur. Andrian, 16 tahun, serta Enok dan Devi yang masing-masing berusia 9 tahun, masih kerabat Riska, juga dibawa kendati akhirnya dilepas.

20 September
Keluarga Toni menculik Budi Bahari Sanjaya, 3,5 tahun, dari rumahnya di Jalan Kolonel Sugiono, Cilacap.

26 September
Petugas Polres Cilacap menggerebek persembunyian Toni Buntung di Ajibarang, Banyumas. Dua bocah, Budi Bahari dan Riska, ditemukan di sana dalam keadaan hidup.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus