Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Catatan Sebuah Rancangan

5 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Andi Hamzah Guru besar hukum pidana Universitas Trisakti, Jakarta
Criminal law is the most faithful mirror of civilization of a national geographic society (Hermann Mannheim).

AKHIR-akhir ini media massa ramai lagi memberitakan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Saya ingin ikut urun rembuk karena kebetulan pernah menjadi salah satu anggota tim penyusunnya (1984-1992). Di ujung tugasnya, pada 1992, tim merasa rancangan ini sudah cukup lengkap, lalu menyerahkannya ke Menteri Kehakiman yang waktu itu dijabat oleh Ismail Saleh. Di era Menteri Kehakiman berikutnya, Oetojo Oesman, naskah ini sempat ditelaah lagi oleh Loebby Loqman dan Bagir Manan. Tapi tidak ada perubahan mendasar.

Sebenarnya ada hal-hal yang universal dalam KUHP setiap negara. Inilah yang menjadi patokan tim saat itu. Masalah yang menyangkut jenis perbuatan baru seperti kejahatan komputer, mendengarkan pembicaraan orang tanpa izin melalui rekaman, kejahatan lingkungan hidup, contempt of court, pencucian uang, dan sebagainya termasuk bersifat netral. Artinya, semua negara memandangnya sebagai kejahatan.

Masalah yang tidak netral justru perbuatan lama, yang menyangkut delik kesusilaan, agama, dan delik ideologi. Ini berbeda antara satu negara dan negara yang lain. Misalnya, dalam KUHP RRC sama sekali tidak ada bab mengenai delik kesusilaan. Bukan berarti perbuatan pemerkosaan tidak dipidana. Soal ini dimasukkan dalam delik seperti penganiayaan dan pembunuhan.

Begitu pula soal ideologi. Sementara Indonesia mengancam pidana terhadap orang yang menyebarluaskan ideologi komunisme, Marxisme dengan segala bentuknya, RRC mengancam pidana bagi orang yang merongrong ideologi itu.

Sementara Belanda, Jepang, dan hampir seluruh Eropa telah mencabut delik permukahan (overspel, adultery) dari KUHP-nya karena dipandang kejahatan tanpa korban, rancangan KUHP Indonesia justru memperluas pengertian permukahan dan menaikkan pidananya.

Hampir semua negara di luar Arab juga tidak mengancam pidana terhadap perbuatan kumpul kebo. Di Indonesia, menurut Prof. Hazairin, ada tiga daerah yang mentoleransi kumpul kebo. Itu sebabnya tim rancangan itu memutuskan masalah ini dijadikan delik aduan. Artinya, perbuatan ini baru dipidana jika masyarakat di sekitarnya menilainya sebagai pelanggaran kesusilaan. Ini sebagai jalan tengah, aspirasi orang Islam tertampung dengan tidak mengganggu golongan lain.

Masalah lain yang diributkan adalah santet, padahal sama sekali tidak ada delik santet di dalam rancangan. Bagi saya, santet merupakan masalah meta-yuridis, di luar jangkauan hukum. Dokter mana yang dapat membuat visum et repertum bahwa seseorang mati atau sakit akibat disantet? Karena soal ini dituangkan dalam delik formal, pada Pasal 225 (1): "Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan magis, memberitahukan, menimbulkan harapan, menawarkan atau memberikan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana…." Jelas sekali, yang akan dilindungi dengan ketentuan ini ialah orang yang memesan santet atau pengguna jasa santet agar jangan menjadi korban penipuan orang itu. Di dalam KUHP yang sekarang pun ada delik yang mirip rumusan tersebut.

Soal delik haatzaai (pernyataan perasaan kebencian)? Ini juga dipersoalkan orang. Padahal sudah tidak ada delik haatzaai yang dipandang kolonial. Yang ada, delik penghinaan kepada pemerintah. Penghinaan terhadap perseorangan pun diancam dengan pidana, apalagi kepada pemerintah. Itu pun ditambah persyaratan terjadinya akibat perbuatan berupa "keoanaran di dalam masyarakat". Jadi, penghinaan kepada orang seorang diatur dalam delik formal, artinya tidak perlu ada akibat. Sedangkan penghinaan kepada pemerintah dituangkan dalam delik material, yang harus ada akibatnya. Delik semacam ini ada juga di dalam KUHP Belanda, yang kita anggap negara paling liberal.

Yang juga terbilang baru dalam rancangan tersebut adalah mengenai jenis pidana. Berdasarkan penelitian empiris di berbagai negara, pidana penjara singkat (enam bulan ke bawah) itu gagal mengurangi kejahatan. Penjahat malah cenderung lebih jahat setelah keluar dari penjara. Istilahnya "too short for rehabilitation and too long for corruption". Karena itulah negara-negara maju memperkenalkan bermacam-macam jenis pidana sebagai pengganti, seperti pidana pengawasan, pidana yang ditunda, penahanan akhir pekan, denda harian, dan pidana kerja sosial. Beberapa jenis pidana itu telah dimasukkan ke rancangan seperti pidana pengawasan, kerja sosial, dan pidana yang ditunda.

Hukum pidana merupakan bidang hukum yang tersulit. Itu sebabnya mudah sekali orang awam salah mengerti hukum pidana yang abstrak dan teoretis ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus