Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LUKA di sekujur tubuhnya menjadi bukti perjalanan hidupnya yang berkubang dengan kriminalitas. Serangkai giginya rontok, mata kirinya pecak, tangan kanannya hingga pergelangannya putus. Keadaan bagian kiri tubuhnya sama buruknya. Jemari di tangan kirinya rampal. ”Tangan kanan ini dibabat orang karena rebutan kekuasaan wilayah. Terus yang kiri kena celurit ketika berkelahi,” katanya.
Minggu lalu, tanda di tubuhnya bertambah lagi. Tumit kaki kirinya terluka tertembus peluru yang ditembakkan polisi saat mencoba melarikan diri. Namun peluru yang sempat menancap di tumitnya itu merupakan hadiah terakhir yang diterimanya. Dengan peluru itu, petualangan Tono Andriyanto alias Toni Buntung, 47 tahun, berakhir.
Sejak muda, Toni Buntung memang akrab dengan kejahatan. Kejahatan kecil hingga merampok telah mendarah daging dalam dirinya. Saya waktu kecil tidak bahagia. ”Bapak saya sudah meninggal ketika masih kecil. Lalu saya hidup sama anak jalanan,” katanya. Umur belasan dia sudah mulai mencuri dan minum minuman keras.
Namun, yang terakhir dilakukannya dan membuatnya ditangkap sungguh mencengangkan. ”Tapi kalau menculik belum ada setahun ini,” katanya. Pengakuan ini memang membuat kita menelan ludah. Bersama dua anak, istri, dan menantunya, dia tak segan memperkosa korbannya, bahkan menghabisi nyawanya. Sebetulnya, apa yang ada di kepalanya hingga ia nekat melakukan itu semua? Kepada Syaiful Amin dari TEMPO di Polres Cilacap, Jawa Tengah, Toni Buntung mengungkap alasannya dengan lancar. Petikannya:
Kenapa Anda menculik anak-anak?
Penculikan saya lakukan sebagai pelampiasan saja, karena sudah terpaksa dengan kondisi tubuh saya yang seperti ini.
Siapa yang punya ide itu?
Lupa, waktu itu kita saling tukar pikiran. Saya bilang pada dua anak saya, bagaimana caranya mencari uang dengan gampang. Kami saling tukar pikiran, terus saya yang mencetuskan ide bagaimana kalau menculik saja, seperti yang di televisi. Saya suka acara berita-berita, terutama berita kriminal. Berita politik juga kadang-kadang saya lihat.
Sebenarnya, siapa yang Anda incar?
Sebenarnya, kalau bisa anak orang yang mampu. Tapi, kalau anak orang kaya, kan butuh modal yang gede juga. Artinya, kalau mau menculik mereka, saya kan harus kenal dulu, harus bergaul dulu sama mereka. La, dari mana saya punya uang. Apalagi biasanya kalau anak orang kaya kan selalu dikawal. Ya, akhirnya seadanya yang didapat.
Anak dan istri Anda terlibat semua dan setuju dengan penculikan itu?
Sebenarnya tidak, istri saya ikut karena takut saja pada saya. Memang saya yang menyuruh, dia menurut. Tapi saya tidak pernah memukul istri saya.
Setelah punya duit, bagaimana cara membagi hasil dengan Jefri, Deny, Imas, dan Maryati?
Enggak ada bagi-bagi dan enggak ada aturannya. Pokoknya itu uang bersama, siapa yang butuh silakan pakai. Uang itu memang kadang saya yang bawa, kadang si Jefry, dan kadang kita letakkan begitu saja di meja.
Anda menyayangi anak-anak Anda? Seberapa sayangnya?
Sebelum cacat, saya menyayangi anak-anak, tetapi setelah cacat kemudian menimbulkan kepasrahan dan ketidakberdayaan, padahal saya harus makan dan keluarga saya juga. Ya, terpaksa saya nekat (menculik anak).
Anda kan punya anak, bahkan cucu, apa Anda rela kalau anak Anda diculik?
Tidak. Saya tidak rela.
Lalu kenapa Anda melakukan penculikan?
Ini juga jalan pintas untuk mendapatkan uang dengan gampang.
Dalam menculik, kenapa Anda bertindak kejam?
Habis disuruh diam, dibentak, enggak mau, ya sudah, pukul saja.
Tapi kenapa sampai memperkosa segala?
Enggak tahu, ya. Hanya emosi saja. Ya, emosi saja. Pokoknya persetan semuanyalah.
Katanya Anda sayang anak....
Ya itu tadi, sebelum cacat saya sayang sama anak-anak. Bahkan, kalau saya pulang kampung, anak-anak kecil tetangga saya kasih oleh-oleh, saya kasih duit. Saya sebenarnya sayang sama anak-anak, tapi setelah cacat ini saya akui saya memang kejam karena terpaksa.
Kenapa anak yang Anda culik itu dibunuh?
Ya, bukan saya. Itu si Jefri (anaknya).
Katanya Anda yang membunuh?
Saya hanya menyikut. Mati atau enggak, saya enggak tahu.
Tapi kenapa dibunuh?
Ya, karena orang tuanya enggak kasih tebusan.
Anda siap kalau dihukum mati?
Saya siap.
Anda menyesal?
Ya. Saya menyesal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo