Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAYA tidak tahu apakah harus senang atau sedih menyikapi berkembangnya wacana tentang pajak terhadap transaksi valuta asing (valas) atau yang kerap dikenal dengan sebutan Tobin Tax.
Kalaupun saya harus bersedih, barangkali lebih tepatnya perasaan déjà vu yang sendu, karena sebenarnya Tobin Tax bukanlah ide yang luar biasa baru. Namun, laiknya sebuah ide yang baik, Tobin Tax tidak pernah tenggelam. Ide dan wacana tentang ini juga pernah muncul di Indonesia, di penampakan terakhir circa 1998.
Ide Tobin Tax sudah muncul pada 1972, diluncurkan oleh James Tobin, seorang pemenang hadiah Nobel, yang tampaknya punya bola kristal dan menyadari bahaya global capital market (konon, pemikirannya itu pun berasal dari ide Keynes, pada 1930-an). Kondisi pasar modal pada saat itu masih jauh dari sekarang. Sebagian dunia masih menganut fixed exchange rate. Volume transaksi valas global masih sangat kecil, jauh di bawah angka US$ 1.400 miliar per hari seperti yang terjadi sekarang.
Menurut Tobin, pajak valas akan mengurangi volatilitas kurs, sementara penerimaan pajak tersebut dapat dipergunakan untuk membiayai pembangunan dunia, untuk kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan sebagainya. Kalau saja Tobin Tax dapat diterapkan, anggaran Bank Dunia, IMF, dan PBB tidak perlu didominasi oleh negara tertentu yang kemudian menuntut privilese seperti hak veto dan sebagainya.
Jika jenis pajak ini kemudian ditentang habis-habisan oleh konspirasi bernama "The Washington Consensus", tentu bukanlah suatu hal yang aneh. Kampanye perdagangan dan pergerakan modal yang bebas adalah dua ciri utama negara kapitalis. Pajak berarti pembatasan, dan itu berarti mengurangi efisiensi, sehingga tidak bisa diterima. Mereka (pura-pura?) lupa bahwa pasar sendiri kerap tidak efisien dan memang membutuhkan instrumen pajak. Kunjungan ke situs OECD, Bank Dunia, dan IMF jelas memperlihatkan posisi ketiga institusi ini (di balik hasil penelitian yang mereka biayai).
Kesedihan saya yang kedua adalah karena wacana Tobin Tax ini kembali mengingatkan saya betapa negara kita masih berada di bawah kendali IMF dan Bank Dunia. Dan hal ini pun masih akan berlangsung beberapa lama lagi.
Bertentangan dengan posisi IMF dan Bank Dunia dalam masalah Tobin Tax, ada posisi koalisi lepas banyak LSM dunia. Penelusuran singkat ke website Google di Internet akan meyakinkan Anda akan adanya konstelasi LSM versus kapitalis ini. Karena itu, sangatlah mengagetkan kalau pemerintah kita (yang masih di bawah IMF) kemudian mengambil posisi yang sama dengan LSM (dan otomatis berseberangan dengan IMF) dalam hal kebijakan di bidang ekonomi. Posisi ini mengagetkan karena konstelasi global mengindikasikan ide Tobin Tax ini (tanpa dorongan politik yang kuat di dalam negeri) dipastikan akan layu sebelum berkembang. Ini menjadi kesedihan saya yang ketiga.
Kesedihan saya yang keempat adalah bahwa timing dari wacana ini sudah agak kedaluwarsa. Konteks asli dari Tobin Tax berbicara mengenai pengurangan volatilitas valas. Padahal, seperti sama-sama kita ketahui, pengurangan volatilitas ini adalah suatu isu yang sangat relevan pada 1998. Pada saat itu, kita selalu berbicara tentang cara menyelamatkan negara dari kebangkrutan. Kita berdiskusi tentang Tobin Tax, compulsory export surrender, capital control, currency control, dan deinternasionalisasi rupiah. Saya berdebat keras di media dengan Dr. Sjahrir (salah satu kandidat presiden kita) dan M. Chatib Basri, yang anti dengan segala hal tersebut.
The rest, demikian istilah asing, is history. Dengan perasaan campur aduk, saya melihat Malaysia selamat dari terkaman kapitalis pasar modal. Bahkan Kohler, juragan IMF, datang ke Malaysia dan menyampaikan penghargaan kepada negara itu. Lalu Korea Selatan keluar total dari paket IMF dengan bendera berkibar, diikuti Thailand. Di mana Indonesia?
Kesedihan saya yang kelima adalah karena isu Tobin Tax menandakan lemahnya koordinasi antar-instansi. Bank Indonesia sudah melangkah jauh lebih dulu, melalui PBI 3 No. 3/2001, mengeluarkan peraturan yang berimbas pada pengurangan aktivitas spekulan rupiah. Kalau sekarang kita kemudian berbicara tentang Tobin Tax, tentu kita ingin melihat bahwa keduanya (Tobin Tax dan PBI 3/3 2001) adalah bagian dari paket strategi komprehensif mengurangi volatilitas rupiah. Kita harus bertanya strategi apa yang dirancang oleh dua pilar keuangan Indonesia ini (Lapangan Banteng dan Kebon Sirih). Dalam kerangka grand strategy ini, kita ingin melihat di mana peringkat keefektifan Tobin Tax dibandingkan dengan instrumen yang lain.
Kesedihan saya yang keenam adalah karena ide tentang Tobin Tax yang bertujuan mulia—membantu negara miskin dan menambah fasilitas masyarakat—menjadi salah kaprah. Seharusnya pertimbangan penerapan Tobin Tax didasari kekhawatiran akan volatilitas rupiah, dan bukan didasari ide menambah pendapatan negara. Wacana yang ada justru menunjukkan semangat anggaranlah yang menempati posisi dominan.
Bahaya terbesar dari pendekatan anggaran adalah unsur ketidakpastian penerimaan. Walaupun di atas kertas tampaknya sederhana, berbagai penelitian menunjukkan perhitungan akhir selalu menjadi sangat rumit. Akibatnya, anggaran yang diterima tidaklah dapat dipastikan. Karena itu, saya menyarankan agar ide Tobin Tax dilupakan saja jika ini dianggap sebagai instrumen anggaran.
Kalau semangat anggaran itu yang mendominasi, memang ada alasan para pemain pasar modal, pasar uang, dan perbankan untuk menjadi khawatir. Dalam tulisan saya beberapa waktu yang lampau (Loyang di Perbankan Kita, Majalah TEMPO), saya melihat beberapa bank amat bergantung pada aktivitas pasar modal dan pasar uang untuk menyokong kehidupannya. Mereka saya sebut sebagai loyang (pretender) di perbankan kita.
Ada juga tipe bank yang tentu tidak setuju dengan penerapan Tobin Tax, yaitu bank berbasis regional dari Singapura. Mereka jelas bukan loyang, tapi sangat bergantung pada aktivitas pasar uang. (Saya juga yakin bahwa penerapan Tobin Tax ini akan mengganggu kepentingan ekonomi Singapura, tempat 6 persen transaksi valas global dilakukan.)
Kalau sekarang Tobin Tax akan diberlakukan, kita bisa mengerti alasan mereka menolaknya—baik secara langsung maupun melihat berbagai upaya lobi yang telah dilakukan. Namun kita tentu tidak perlu bersetuju dengan mereka.
Setidaknya kita tahu, berdasarkan penelitian Bank for International Settlement, 75-80 persen transaksi valas global adalah untuk jangka yang sangat pendek, kurang dari tujuh hari. Dan apa dampak riil dari transaksi jangka pendek tersebut? Nyaris tidak ada.
Karena itu, kalaupun Tobin Tax diberlakukan, kita perlu membedakan transaksi jangka pendek dan jangka panjang. Agar terdapat keseragaman, Departemen Keuangan perlu melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia, bukan hanya dalam penentuan definisi dan koordinasi, tapi juga dalam proses perhitungannya. Hal ini karena fasilitas Real Time Gross Settlement (RTGS) Bank Indonesia akan sangat bermanfaat.
Di samping mengurangi volatilitas, saya menganggap pemberlakuan Tobin Tax justru akan menambah tekanan pada perbankan untuk mulai mencari sumber pendapatan yang tradisional, yaitu penyaluran kredit. Bukan dengan kondisi sekarang saat pendapatan treasury malah menjadi pilar utama beberapa bank. Penyaluran kredit ini jelas akan berdampak baik terhadap ekonomi nasional. Barangkali saja, setelah ekonomi membaik dan penerimaan pajak meningkat, Tobin Tax bisa digantikan instrumen lainnya yang dapat membantu meredam volatilitas kurs.
Setelah usaha persuasi publik dan penurunan suku bunga masih belum membawa hasil bagi peningkatan penyaluran kredit yang signifikan, siapa tahu kali ini Tobin Tax bisa menjadi pil majun.
Janji Tobin Tax adalah janji pengurangan volatilitas, janji penerimaan anggaran, dan harapan penyaluran kredit ke sektor riil. Tapi, dari semua janji itu, adakah yang bisa dijamin agar kita masih merasa perlu memperdebatkannya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo