MIMPI buruk para pengacara di Jawa Timur berakhir juga. Pengacara Trimoelya D. Soerjadi, yang dilarang berpraktek karena tidak mematuhi ketentuan meminta izin praktek dari pengadilan tinggi itu, diputuskan Mahkamah Agung untuk dimaafkan. Keputusan yang menggembirakan kalangan pengacara itu diterima Trimoelya, belum lama ini, berupa sebuah surat yang ditandangani Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara Indroharto. Di situ tegas-tegas disebut bahwa tidak perlu izin praktek dari ketua pengadilan tinggi bagi pengacara-pengacara yang sudah diangkat Menteri Kehakiman. "Trimoelya dianggap sudah terdaftar di Pengadilan Tinggi Surabaya, karena pernah mengucapkan sumpah di sana, dan karena itu hendaknya diperkenankan melanjutkan pekerjaannya sebagai advokat," begitu bunyi surat Indroharto. Untuk pengacara seperti Trimoelya, menurut Mahkamah Agung, cukup memperlihatkan fotokopi pengangkatannya untuk berpraktek di suatu pengadilan. "STNK" pengacara itu menjadi ramai di Jawa Timur, awal tahun lalu, ketika ketua pengadilan tinggi setempat mengeluarkan surat keputusan yang mengharuskan pengacara mendaftarkan diri untuk mendapatkan izin praktek yang hanya berlaku dua tahun. Selain itu, bagi pengacara Jawa Timur yang akan berpraktek ke wilayah lain, diwajibkan pula meminta izin lebih dahulu dari ketua pengadilan tinggi setempat. Dasar keputusan itu, kata Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Timur, Syafar Luthans adalah wewenang pengadilan untuk mengawasi pengacara. Tapi para pengacara di daerah itu memprotes keputusan Syafar itu. Sebab, mereka merasa sudah diangkat secara resmi sebagai advokat oleh Menteri Kehakiman. Kalangan pengacara menilai bahwa keputusan Syafar itu merupakan upaya pengadilan untuk memojokkan pengacara, menyusul ribut-ribut antara ketua Pengadilan Negeri Surabaya, Soejoedi, dan Pengacara (almarhum) Pamudji -- yang berakhir dengan pemecatan Pamudji. "SK itu merupakan ancaman bagi pengacara," kata Abdullah Thalib, Ketua LBH Surabaya, ketika itu. Tapi, protes para pengacara itu tidak menyebabkan SK Syafar dicabut. Bahkan Ketua Mahkamah Agung Ali Said, belakangan, mengukuhkannya. Tindakan Syafar itu, kata Ali Said dalam suratnya kepada Peradin Jawa Timur, merupakan aktivitas seorang ketua pengadilan tinggi melaksanakan pengawasan terhadap penasihat hukum di wilayahnya. Kepada TEMPO, Ali Said membenarkan pihaknya saat itu tengah mencoba mengadakan ketentuan pengawasan terhadap advokat, sesuai dengan undang-undang. "Tapi, percayalah, tujuan penertiban itu untuk kebaikan advokat juga," ujar Ali Said. Karena sikap Ali Said itu, barangkali, hampir semua pengacara Jawa Timur yang sebelumnya 'ngotot tidak menerima SK Syafar, belakangan ramai-ramai mendaftarkan diri. Satu-satunya pengacara yang mencoba bertahan untuk tidak minta "STNK" adalah Trimoelya D. Soerjadi. "Inilah beda saya dengan teman-teman. Baju sama-sama pengacara, tapi kalau sudah soal perut dan periuk nasi, bisa lain-lain," kata Trimoelya. Sikap keras Trimoelya itu hampir membawa akibat buruk baginya. Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Timur, Syafar, mengeluarkan surat edaran ke seluruh pengadilan di wilayahnya untuk melarang pengacara yang tidak memiliki izin darinya untuk berpraktek. Trimoelya memang kena batunya. Ketika akan membela sebuah perkara perdata di Surabaya, akhir Januari, Hakim Willyarto mempertanyakan izin prakteknya dari pengadilan tinggi. Pada sidang berikutnya Trimoelya terpaksa mengajukan pembelaannya -- di luar materi pokok perkara -- tentang izin praktek itu. Judul pledoinya: "Profesi Advokat yang Mandiri dan Bebas di Ambang Kehancuran. Pembelaan bagi Profesi yang Mulia". Ia tetap berpendapat bahwa SK Syafar itu tidak mempunyai kekuatan hukum. Selain itu, Trimoelya juga mengirimkan surat ke Mahkamah Agung, meminta penjelasan dan perlakuan adil. Jawaban Mahkamah Agung, kemudian, memang di luar dugaan. Ketua Muda Mahkamah Agung, Indroharto, menelepon Hakim Willyarto yang isinya memperkenankan Trimoelya berpraktek pengacara tanpa segala macam izin lagi. Dan, keputusan lengkap atas perubahan sikap Mahkamah Agung itu diterima resmi Trimoelya, akhir bulan lalu. Angin baikkah untuk pengacara? Belum tentu. Mahkamah Agung agaknya hanya tengah mencari cara baru untuk mengawasi para advokat. Di rapat kerja Mahkamah Agung yang berakhir Rabu pekan lalu, misalnya, diputuskan akan dikeluarkan semacam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Kehakiman dan Mahkamah Agung untuk mengawasi para advokat. Dalam rapat itu ditetapkan pula pengawasan Mahkamah Agung itu akan dilakukan secara bertingkat dari pengadilan negeri sampai ke pengadilan tinggi. Ketua Mahkamah Agung Ali Said membantah keras, usaha-usaha pengawasan yang akan dikeluarkannya itu dalam rangka membatasi gerak-gerik advokat. "Pengawasan advokat tidak identik dengan mencari-cari kesalahan, tapi ditujukan untuk menegakkan citra peradilan," ujar Ali Said, sambil mengakui bahwa di kalangan peradilan sendiri masih terdapat banyak kekurangan, baik kemampuan teknis maupun moral serta mental aparatnya. Karni Ilyas Laporan Jalil Hakim (Biro Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini