RIDWANSYAH "resmi" menjadi kepala daerah tingkat II kedua di Aceh yang divonis karena korupsi, setelah Wali Kota Sabang, Yusuf Walad. Kamis pekan lalu, Bupati Aceh Selatan itu dinyatakan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh terbukti menerima hadiah dan memalsu daftar nominasi calon pegawai, ketika ia menjabat Kepala Biro Kepegawaian pada Setwilda Istimewa Aceh. Ia dihukum 7 tahun penjara. Bersafari warna gelap, Ridwansyah, 44, tamatan Fakultas Sosial Politik Universitas Gadjah Mada, dengan tenang mendengar vonis yang dihadiri ratusan pengunjung. Hanya istrinya, Roslina Siregar, yang membawa tiga orang anaknya ke sidang, tidak tahan. Ia terpaksa dipapah keluarganya meninggalkan sidang selesai vonis. Ridwansyah diseret ke meja hijau, sejak Desember lalu, ketika ia baru dua bulan menduduki jabatan sebagai Kepala Daerah Aceh Selatan. Jaksa Abdurahman menuduh putra daerah itu "memungli" 266 calon pegawai negeri -- sejak 1980 sampai 1983 masing-masing Rp 200 ribu sampai Rp 500 ribu, sehingga semuanya ditaksir berjumlah Rp 62 juta. Perbuatan itu terjadi, menurut Jaksa lagi, ketika dibuka kesempatan bagi pegawai honorer di daerah untuk dikukuhkan menjadi pegawai negeri yang dikenal dengan istilah pemutihan. Kesempatan itu ternyata digunakan Ridwansyah bersama stafnya untuk memasukkan orang-orang yang bukan pegawai honorer menjadi calon pegawai negeri. Akibatnya, banyak pegawai honorer yang gagal mendapatkan haknya. Dan calon-calon yang sudah membayar ada pula yang gagal sehingga menuntut uangnya kembali. Tidak semua tuduhan jaksa itu dianggap majelis hakim terbukti kebenarannya. Tapi setidaknya, kata majelis yang diketuai Yanuar, tertuduh menerima hadiah Rp 2 juta dari 54 guru di Kotacane, sebagai ucapan "terima kasih" karena dapat menjadi pegawai. Kecuali itu, Hakim menganggap Ridwansyah terbukti ikut memalsukan daftar nominasi calon pegawai, yang ditandatangani Sekwilda Aceh. Ridwansyah dan pembelanya, Nasrullah, naik banding. Sebab, menurut Nasrullah, soal hadiah dari guru-guru itu tidak termasuk dalam tuduhan. " 'Kan aneh, kalau vonis hakim di luar tuduhan jaksa," ujar Nasrullah. Pengacara itu juga menganggap kliennya tidak bertanggung jawab atas terjadinya pemalsuan daftar nominasi calon pegawai. "Sebab, daftar itu dibuat oleh panitia pemutihan yang diketuai Sekwilda -- jadi yang bertanggung jawab jelas ketua panitia," tambah Nasrullah. Soal lain yang belum tuntas adalah "lolosnya" Ridwansyah menjadi bupati. Sebab, untuk jabatan kepala daerah, setidaknya ia sudah mengantungi pernyataan "bersih" dari berbagai instansi - baik dari segi politik maupun pidana. "Kalau memang ia tersangkut perkara korupsi, kenapa tidak sejak dari dulu dipersoalkan?" ujar seorang anggota DPRD Aceh, Usmanuddin, ketika Ridwansyah pertama kali disidangkan. Ridwansyah memang bercuriga ada yang berusaha menumbangkannya. Selama dua bulan menjadi bupati, katanya, ia berhasil menaikkan pendapatan penduduk yang bertani pala dengan meningkatkan harga buah pala dari Rp 125 per bambu menjadi Rp 375. Sebaliknya ia pernah memotong rezeki tengkulak minyak, dengan mengontrol perdagangan minyak tanah. "Para tengkulak itu rupanya marah dan berusaha menumbangkan saya," ujarnya. Usaha itu, kata Ridwansyah, masih berlanjut setelah ia diadili. "Belakangan ini saya dituduh PPP, lantaran ayah saya - pensiunan bupati -- orang PPP. Bahkan ada yang mengatakan, kalau saya kembali menjadi bupati, Golkar akan kalah dalam pemilu. Padahal, selama ini apa Golkar pernah menang di Aceh?" Ridwansyah balik bertanya. Sebuah sumber TEMPO pernah menceritakan bahwa kasus Ridwansyah itu telah terbongkar sejak ia belum menjadi bupati. Tapi, berkat sponsor seorang pejabat teras di Kantor Gubernur, ia tetap lolos juga. Waktu itu Ridwansyah diharapkan bisa mengembalikan uang calon pegawai yang gagal diterima. Ternyata, Ridwansyah kesulitan uang, karena harus membayar upeti kepada sponsornya. "Akhirnya, ia renggang dengan bapak angkat'-nya, dan si bapak angkat itulah yang membocorkan kasus itu ke pusat sehingga ia diadili," ujar sumber itu (TEMPO, 14 Desember 1985). Belum bisa dipastikan mana yang benar dari kedua cerita itu. Yang jelas, selain dihukum pidana, Ridwansyah dibebastugaskan dari jabatan bupati, sejak Oktober lalu. Tapi nasibnya masih lebih baik dari rekannya di Sabang, Yusuf Walad, yang juga dijatuhi hukuman 7 tahun penjara: ia tidak harus segera masuk tahanan. KI Laporan Makmun Al Mujahid (Biro Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini