Sebuah sengketa warisan bermilyar rupiah yang pernah dimenangkan di pengadllan Singapura digugat kembali di sini. HARIMAU mati meninggalkan belang, orang kaya mati meninggalkan -- - kadang-kadang -- sengketa yang sengit. Misalnya jutawan, atau lebih tepat milyarwan, Lugito Suryo Kusno. Hartanya berupa saham PT Biro Asri serta tanah dan uang di Jakarta, Singapura, dan Hong Kong, yang diperkirakan mencapai US$ 1 juta. Kini, setelah sang milyarwan meninggal, terjadilah suatu sengketa panjang, selama lebih dari dasawarsa dan melibatkan pengadilan di tiga negara. Berita perkaranya bahkan pernah dimuat dengan cukup mencolok, baik di The Straits Times Singapura maupun South China Morning Post. Hari-hari ini salah seorang anaknya, Herman Iskandar, 40 tahun, terpaksa duduk di kursi terdakwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jaksa T. Simanjuntak mendakwa Direktur PT Biro Asri itu menggunakan testamen (surat wasiat) palsu untuk menguasai harta peninggalan Lugito. Menurut Jaksa, warisan itu sebetulnya menjadi hak Leo Bonadi dan dua kakak perempuannya. Mereka ini adalah anak-anak Lugito dari istri yang dibawanya dari Cina. Hatta, puluhan tahun lalu, Lugito Suryo Kusno alias Liong Sew Kow "hijrah" dari Cina ke Indonesia. Waktu itu, ia membawa serta istrinya, Wong Tjoe Moi alias Wantimah (meninggal pada 1976). Perkawinan mereka kemudian disahkan Kantor Catatan Sipil Medan (1956) dan Pengadilan Negeri Medan (1968). Mereka dikaruniai tiga anak, Leo Bonadi dan kedua kakak perempuannya. Leo Bonadi (dalam koran di Singapura dan Hong Kong dieja jadi "Bonardy") menceritakan kepada TEMPO bahwa Lugito mempunyai "wanita simpanan" yang bernama Chen Ai Soe alias Lily Iskandar, yang meninggal pada 1983. Dari hubungan itu, lahirlah Herman Iskandar dan empat saudaranya. Sejauh mana cerita Leo itu benar, tentu saja belum dibuktikan. Yang jelas, 21 November 1978, Lugito, pemborong terkenal itu, meninggal dunia dalam usia 77 tahun. Selain meninggalkan delapan orang anak -- dari dua istri -- mendiang Lugito juga meninggalkan berbagai harta kekayaan. Di antaranya saham PT Biro Asri, tiga bidang tanah (plus bangunan) dan dua buah flat di Singapura, beberapa petak tanah dan bangunan di Hong Kong, serta uang di Singapura dan Hong Kong. Sementara itu, di Jakarta, juga ada sejumlah tanah dan bangunan Lugito. Maka, pertikaian pun muncul antara Herman bersaudara dan Leo bersaudara. Pada 1978, Herman menggugat Leo di pengadilan Singapura. Herman mengklaim bahwa semua harta Lugito di Singapura menjadi hak Nyonya Lili dan kelima anaknya, termasuk Herman. Dasar klaim Herman itu berupa sebuah testamen dari almarhum Lugito. Dalam testamen yang berjudul This is The Last Will and Testament of Lugito Suryo Kusno, disebutkan bahwa Lugito menghibahkan segala harta kekayaannya kepada Lili dan Herman bersaudara. Dalam testamen yang dibuat di hadapan Pengacara Lui Boon Poh di Singapura tertanggal 27 November 1975 itu, juga dikatakan bahwa Lugito mencabut semua testamen yang pernah ada sebelumnya. Pengadilan banding Singapura, pada 1981, dengan Lui Boon Poh sebagai saksi, menilai testamen itu tidak palsu. Kini, Jaksa Simanjuntak menuduh testamen itu palsu. Argumennya: tanda tangan dan nomor paspor dalam testamen itu bukan milik almarhum Lugito. "Ayah selalu menandatangani sesuatu dengan pulpen tinta. Tidak pernah dengan bolpoin seperti dalam testamen itu," tutur Leo, 61 tahun. Menurut Leo pula, pada 7 Desember 1967 sudah ada testamen Lugito, yang isinya menunjuk Wantimah (ibu Leo) sebagai pelaksana wasiat. Dengan dasar itu, ia merasa lebih berhak sebagai ahli waris, dan terus saja berperkara, meskipun sudah kalah di mahkamah di Singapura. Ayah enam anak ini, yang nampak kucal, juga mengaku sudah habis-habisan akibat sengketa ini, dan kini terpaksa hidup dari bantuan saudara-saudaranya. Sebaliknya dengan Herman, yang berada di atas angin. Di samping menang di pengadilan Singapura, di Indonesia Herman tak lupa mengajukan permohonan pengesahan testamen yang memenangkan dirinya. Ternyata, sampai tingkat kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia, ia berhasil memperoleh pengukuhan tersebut. Jaksa Simanjuntak mengungkapkan, di luar pengadilan, pada 1982, Herman menggunakan testamen itu untuk mengambil alih saham-saham Lugito di PT Biro Asri senilai Rp 250 juta. Selain itu, sambung jaksa, ia menjual tanah seluas 500 m2 -- plus bangunan -- milik Lugito di Cempaka Putih, Jakarta, seharga Rp 250 juta. Ia juga menguasai empat bidang tanah berikut bangunannya, seluas 1.000 m2 milik Lugito di daerah Cengkareng. Melihat itu, akhirnya Leo mengadukan soal testamen itu ke polisi. Akibatnya, Herman dibawa jaksa ke persidangan pidana. Kepada wartawan Herman tak bersedia berkomentar. "Saya memilih untuk diam, no comment," katanya. "Ini kan sengketa keluarga, yang sebaiknya diselesaikan secara damai. Saya tak akan memperuncingnya." Pengacara Herman, Nyonya M. Hindasih Syafarudin (terkenal sebagai pembela kasus si raja komputer Yusuf Randy), yang tampil. "Berdasarkan fakta-fakta yuridis, testamen itu asli. Sama sekali tidak palsu," ujar Hindasih. Alasannya: pengukuhan keputusan pengadilan Singapura dan Hong Kong, juga Indonesia -- yang sampai mengadakan peninjauan kembali di Mahkamah Agung 11 November 1982. "Keputusan itu seharusnyalah mengikat kedua pihak," ucap Hindasih. Sebab, pada semua persidangan, pengadilan sudah mempertimbangkan dalil dan sanggahan Leo. Di pengadilan Singapura, pada 1980, contohnya, kata Hindasih, pengadilan memutuskan bahwa semua harta tidak bergerak milik Lugito di sana menjadi milik Herman. Sedangkan, keputusan tentang harta bergeraknya masih ditunda sampai adanya vonis pengadilan Indonesia tentang keabsahan Leo bersaudara sebagai ahli waris. Ketika diadakan peninjauan kembali, Mahkamah Agung RI menyatakan bahwa Leo bukan ahli waris. Berdasarkan itu, pengadilan Singapura kemudian menyerahkan semua harta Lugito kepada Herman. Menurut Hindasih, pengaduan pidana Leo di Indonesia pada 1988 dihentikan penyidikannya oleh polisi. Sebelumnya, polisi Singapura juga menghentikan penyidikan, waktu Leo mengadu di sana. Kini menarik untuk melihat bagaimana hasil pengadilan di Indonesia. Happy S., Siti Nurbaiti (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini