Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Aksi Kamisan, Perjuangan Keluarga Korban Pelanggaran HAM Tuntut Tanggung Jawab Negara

Aksi Kamisan sudah berlangsung 15 tahun, keluarga pelanggaran HAM menuntut janji pemerintah menuntaskannya.

22 September 2022 | 06.51 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aktivis HAM Sumarsih berorasi saat aksi Kamisan ke-600 di Jakarta, Kamis 5 September 2019. Dalam aksinya mereka menuntut segera diselenggarakannya pengadilan HAM di Indonesia. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Orang-orang berdiri dan membentuk lingkaran di seberang Istana Merdeka. Dengan berpakaian hitam-hitam dan memegang payung hitam pula, ratusan orang tersebut tampak menyimak dengan saksama orasi yang sedang dilakukan di tengah lingkaran tersebut. Sebagian dari mereka memegang kertas dan payung bertuliskan "Jangan Diam: Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM". Mereka menamai dirinya sebagai Aksi Kamisan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sudah lebih dari 15 tahun, banyak dari mereka yang menuntut pertanggungjawaban negara atas kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Terhitung, sejak 18 Januari 2007, mereka sudah berdiri dan melingkar di seberang istana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kamisan atau yang sering disebut dengan aksi damai ini hadir sebagai bentuk aksi para korban dan keluarga Tragedi 1965, Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, Kasus Talangsari, kasus Tanjung Priok, dan korban pelanggaran HAM lainnya, temasuk pembunuhan aktivis HAM Munir.

Maria Katarina Sumarsih, Bedjo Untung, dan Suciwati merupakan tiga sosok yang hampir tidak pernah absen untuk datang ke seberang Istana Merdeka setiap Kamis sore. Ketiganya merupakan sosok yang selalu konsisten menuntut pertanggungjawaban negara atas terjadinya pelanggaran HAM masa lalu. Pelanggaran HAM yang terjadi selama 1965-1966, pelanggaran HAM selama Orde Baru, hingga pelanggaran HAM yang terjadi ketika masa Reformasi menjadi salah satu pokok tuntutan mereka.

Dalam artikel Majalah Tempo yang meliput Aksi Kamisan, Maria Katarina Sumarsihmengatakan bahwa saya akan terus memelihara harapan sekecil apapun. Marian Katarina Sumarsih merupakan ibu dari Bernadinus Realino Norma Irawan atau Wawan, mahasiswa Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, yang tewas ditembak pada 13 November 1998.

"Saya mau memaafkan, tapi kepada siapa yang saya maafkan? Kalau dendam, saya mau kepada siapa? Sampai sekarang saya tidak tahu pelakunya," kata Maria Katarina Sumarsih.

Nada getir yang diucapkan oleh Maria Katarina Sumarsih juga diucapkan oleh Suciwati, istri aktivis HAM Munir.

"Sampai mati saya tidak akan menyerah. Kalau enggak ngapa-ngapain kita mati, ngapain-ngapain kita mati. Lebih baik ngapa-ngapain dan berjuang, kita akan sama-sama mati," kata Suciwati, dalam liputan Majalah Tempo.

Sudah dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo atau Jokowi, tetapi penuntasan dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu masih menemui jalan yang berat dan sulit. Ratusan Aksi Kamisan dilakukan di depan Istana Merdeka, menuntut pemerintah menuntaskan kasus pelanggaran HAM tersebut, seperti janjinya.

"Hidup korban! Jangan diam! Lawan!" Begitulah jargon yang sering terdengar ketika aksi Kamisan berlangsung.

EIBEN HEIZIER  I  SDA

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus