Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Istri akvitis hak asasi manusia (HAM) Munir, Suciwati, merilis buku berjudul "Mencintai Munir". Buku setebal 372 halaman ini diluncurkan pada September lalu. Perilisan buku ini merupakan bagian dari rangkaian peringatan kematian Munir Said Thalib 18 tahun lalu.
Pengurus Perkumpulan Praxis, Wilson, mengatakan bahwa dalam buku tersebut pembaca akan lebih memahami perjuangan dan kehidupan personal Munir dari kacamata Suciwati. Di balik semua peristiwa yang menjadi jejak langkah Munir, ada dukungan, perdebatan, dan diskusi dengan Suciwati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat hendak mendirikan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Suciwati termasuk orang pertama yang diajak berdiskusi tentang idenya tersebut. Pada pembentukan inilah Munir menyadari bahwa risiko tertinggi menghadapi para jenderal militer adalah kematian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Risiko ini disampaikan kepada Suciwati. “Kalau risiko orang hidup (adalah) mati, mau nggak ngapa-ngapain bakal juga mati. Berjuang melakukan sesuatu yang berguna, mati juga. Aku hanya akan selalu ada untuk mendukungmu,” ujar suciwati (Halaman 58).
Dalam buku tersebut, kata Wilson, juga dikisahkan sosok lain Munir yang panik menjelang kelahiran anaknya, Allende. "Inilah Munir yang berbeda dari Munir yang kita kenal selalu tenang menghadapi teror dan intimidasi aparat negara. Suciwati menunjukkan bahwa Munir juga manusia biasa yang bisa cemas, gugup, kecewa, sedih, kesal, romantis dan hal-hal manusiawi di balik perjuangannya menegakkan HAM dan demokrasi," tutur Wilson dalam rilis yang diterima Tempo pada Ahad, 9 Oktober 2022.
Buku yang diterbitkan Yayasan Museum HAM Munir ini menceritakan ketika Munir mengendarai mobil tuanya menuju rumah sakit dengan gelisah. Di tengah perjalanan, pintu perlintasan kereta ditutup karena kereta akan lewat. Munir turun dari mobil meminta petugas pintu kereta membuka pintu perlintasan. Petugas pintu kereta menolak.
Di dalam mobil, Suciwati kaget melihat tindakan Munir. Munir meminta Suciwati untuk bersabar. Peristiwa kelahiran Allende membuat Munir stres dan sangat tegang. “Lebih seram dibandingkan menghadapi para penjahat HAM yang notabene pelakunya adalah para jenderal militer,” ujar Munir seperti dituliskan di halaman 69.
Wilson mengatakan, di balik dukungan kepada semua aktivitas Munir, ada keresahan dari Suciwati atas kerja-kerja Munir yang banyak berhadapan dengan aparat negara. Suciwati mengaku kadang mengalami ketegangan dan stres.
Berbagai kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia selalu melibatkan Munir sebagai pembela para korban, menghadapi para pelaku yang sebagian besar adalah TNI. Dengan jejak rekam seperti ini, kata Wilson, wajar bila ada orang-orang konservatif dalam kekuasaan yang tidak suka dan berpikiran sempit untuk menyingkirkan Munir dengan berbagai cara.
Hal itu juga tertuang dalam buku tersebut. Tim Pencari Fakta kematian Munir menemukan dokumen empat skenario pembunuhan Munir. Pertama, akan dibunuh saat di dalam mobil. Kedua, dibunuh memakai santet dan teluh. Ketiga, dibunuh dengan memasukkan racun ke makanan. Keempat adalah meracun Munir di pesawat.
Dari empat skenario tersebut, akhirnya skenario keempat yang berhasil dijalankan dalam penerbangan Pesawat Garuda GA 974 pada 6 September 2004 malam. Pesawat transit di Bandara Changi Singapura lalu melanjutkan penerbangan menuju Schipol di Amsterdam, Belanda.
Pollycarpus berada dalam pesawat yang sama karena mendapat surat tugas sebagai Aviation Security yang ditandatangani oleh Direktur Garuda Indra Setiawan. Munir wafat di pesawat pada 7 September 2004, dua jam sebelum mendarat di Amsterdam. Hasil otopsi di Belanda menemukan racun Arsenik dengan dosis tinggi yang bisa membunuh seekor gajah menjadi penyebab kematian Munir.
Pollycarpus sebagai pelaku lapangan lalu dijadikan tersangka utama, namun para pelaku utama yang menjadi dalang luput dari jerat hukum.
Wilson mengatakan sampai hari ini Suciwati tidak pernah berhenti menuntut keadilan bagi Munir dan seluruh korban kejahatan HAM di Indonesia. Suciwati bertransformasi menjadi pembela HAM. Melawan semua ketidakadilan seperti yang selalu ia teriakkan dalam Aksi Kamisan. "Jangan diam, LAWAN!".
Buku Mencintai Munir, kata Wilson, adalah sebuah fakta dan kesaksian personal dari orang paling dekat dan dicintai Munir. Melalui buku ini, Wilson mengatakan Munir dan Suciwati menjadi teladan karena secara konsisten memperjuangkan cinta sejalan dengan perjuangan menegakkan HAM dan demokrasi.
"Buku ini sebaiknya dibaca oleh para istri dan keluarga para aktor utama dan komplotan yang membunuh Munir, agar paham arti kehilangan orang yang dicintai karena dibunuh oleh para suami mereka. Buku ini juga harus dibaca para istri dan keluarga anggota majelis hakim supaya memahami hukum yang tidak adil dari para suami mereka," ujarnya.
Buku tersebut, kata dia, layak dibaca sebagai sebuah pesan untuk melawan lupa dan terus memperjuangkan keadilan dan demokrasi. "Dengan cara itu kita terus mencintai Munir."
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.