Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) menjelaskan mengapa tidak menggunakan restorative justice atau keadilan restoratif dalam kasus Nyoman Sukena (38 tahun). Warga Kabupaten Badung, Bali itu tengah menjalani proses hukum akibat memelihara landak Jawa (hystrix javanica).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tidak semua perkara bisa diselesaikan berdasarkan keadilan restoratif," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, kepada Tempo lewat aplikasi perpesanan pada Jumat, 13 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 ayat (6) mendefinisikan keadilan restoratif sebagai penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Keadilan restoratif, dinukil dari laman ptsp.kejaksaan.go.id, juga masuk ke dalam Rencana Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Selain itu, sejumlah aparat penegak hukum juga memiliki aturan tersendiri soal restorative justice.
Kepala Kepolisian RI atau Kapolri, Listyo Sigit Prabowo, meneken surat edaran nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara Pidana. Pada 2021, Kapolri mengeluarkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif.
Di sisi lain pada 2019 silam, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin meneken Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Dua tahun kemudian, Burhanuddin mengeluarkan Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif.
Harli melanjutkan, ada kriteria-kriteria yang harus dipenuhi untuk menerapkan restorative justice dalam sebuah perkara. Misalnya, perdamaian antara pelaku dan korban karena esensi restoratif adalah mengembalikan situasi pada keadaan semula.
"Sedangkan dalam perkara ini korbannya negara," tutur Harli. "Memang hal ini menjadi pemikiran ke depan terkait perluasan perkara yang dapat diselesaikan berdasarkan keadilan restoratif."
Sebelumnya, dilansir dari Antara, Nyoman Sukena didakwa melakukan tindak pidana karena memelihara empat landak Jawa. Padahal, hewan tersebut termasuk satwa liar yang statusnya dilindungi.
Atas perbuatannya, Nyoman didakwa melanggar Pasal 21 ayat (2) huruf a Jo pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Ia juga terancam pidana paling lama lima tahun penjara dan denda paling banyak Rp 100 juta.
Berdasarkan fakta persidangan, dengan agenda pemeriksaan saksi pada 5 September 2024, terungkap landak tersebut awalnya milik mertua Sukena. Landak itu awalnya hanya dua ekor, setelah dipelihara Sukena bertambah dua ekor.
Sukena juga mengaku tidak mengetahui bahwa landak Jawa yang dipelihara merupakan satwa yang dilindungi. Sehingga dirinya syok ketika didatangi oleh Polda Bali, ditahan saat dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Bali hingga didudukkan sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar.
Dalam perkembangannya, majelis hakim PN Denpasar menangguhkan penahanan Sukena. Statusnya beralih dari tahanan rutan menjadi tahanan rumah sejak 12-21 September 2024. Ia pun wajib lapor dua kali seminggu.
Majelis hakim menyebut ada beberapa surat permohonan penangguhan atau pengalihan penahanan untuk Sukena. Surat tersebut selain diajukan oleh tim penasihat hukum terdakwa, diajukan pula oleh Pemerintah Desa Bongkasa Pertiwi dan anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka.