Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Apa Itu Dwifungsi ABRI yang Dikhawatirkan Bangkit Setelah RUU TNI Disahkan?

Pengesahan RUU TNI menuai penolakan dari masyarakat sipil karena dikhawatirkan mengembalikan dwifungsi ABRI.

20 Maret 2025 | 20.01 WIB

Aksi demonstrasi mahasiswa menolak pengesahan RUU TNI di depan gedung DPRD Jawa Barat, Bandung, 20 Maret 2025. Tempo/Prima Mulia
Perbesar
Aksi demonstrasi mahasiswa menolak pengesahan RUU TNI di depan gedung DPRD Jawa Barat, Bandung, 20 Maret 2025. Tempo/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan rancangan undang-undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) menjadi undang-undang. Pengesahan itu dilakukan dalam sidang paripurna yang digelar pada Kamis, 20 Maret 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Komisi I DPR Utut Adianto dalam laporannya di depan sidang paripurna mengungkapkan, mereka telah mengadakan rapat dengan berbagai elemen masyarakat untuk membahas RUU TNI tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Meski begitu, penolakan masyarakat sipil atas pengesahan RUU TNI ini masih terus bergulir. Ratusan pengunjuk rasa bahkan masih menggelar demonstrasi di depan gedung DPR untuk menolak pengesahan RUU TNI. 

Koordinator aksi Mahasiswa Universitas Indonesia, Akbil Rajab, dengan tegas menyatakan menolak UU TNI yang baru disahkan. Menurut dia, UU tersebut mencederai demokrasi, hak reformasi, dan membuktikan bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

Akbil khawatir pengesahan revisi UU TNI bakal membangkitkan dwifungsi ABRI di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, meski telah ada bantahan dari pemerintah dan legislator Senayan. "Kami lihat mulai dari draf akademis yang tidak begitu relevan, draf akademis yang begitu kacau dan cacat, itu yang membuat kami khawatir," katanya. "Terlebih lagi supremasi sipil jadi terancam."   

Lantas, sebenarnya apa itu dwifungsi ABRI yang dikhawatirkan bangkit kembali di era prabowo? Berikut rangkuman informasi selengkapnya.


Apa Itu Dwifungsi ABRI?

Ketakutan terhadap dwifungsi TNI berakar dari konsep dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di masa Orde Baru. Kala itu, dwifungsi ABRI merupakan sebuah konsep dan kebijakan politik yang menetapkan peran ganda militer dalam kehidupan bernegara, yakni sebagai kekuatan pertahanan serta sebagai pengelola negara.

Dikutip dari jurnal Ideologi Dibalik Doktrin Dwifungsi ABRI (2020) milik I Putu Nopa Suryawan dan I Ketut Laba Sumarjiana, disebutkan bahwa dwifungsi ABRI adalah suatu doktrin di lingkungan militer Indonesia yang menyebutkan bahwa militer mempunyai dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban Negara, yang kedua memegang kekuasaan dan mengatur Negara. 

Dengan peran ganda ini, militer diizinkan untuk memegang posisi di dalam pemerintahan. Perwira ABRI harus diberi kesempatan melakukan partisipasinya di dalam pemerintahan atas dasar individu, artinya tidak ditentukan oleh institusi ABRI.

D.W. Firdaus dalam jurnalnya Kebijakan Dwifungsi ABRI dalam Perluasan Peran Militer di Bidang Sosial Politik tahun 1966-1998 (2016), menyebutkan bahwa gagasan ini pertama kali dikembangkan oleh A.H. Nasution sebagai "konsep jalan tengah" di awal pemerintahan Orde Baru. 

Pada tahun 1982, kebijakan tersebut dilegalkan melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 oleh Presiden Soeharto, yang kemudian memungkinkan ABRI mendominasi lembaga eksekutif dan legislatif. Sejak 1970-an, banyak perwira aktif ABRI yang menduduki posisi di DPR, MPR, serta DPD tingkat provinsi, yang secara signifikan mempengaruhi dinamika sosial dan politik di Indonesia.

Namun, menurut Azwar dan Suryana dalam artikel ilmiah Dwifungsi TNI dari Masa ke Masa (2021), dwifungsi ABRI mulai dihapuskan pada era Reformasi akibat berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh oknum militer maupun Soeharto sendiri. Reformasi 1998 menjadi titik puncak ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan yang dianggap menyimpang dari prinsip demokrasi dan supremasi hukum.

Dalam artikel ilmiah berjudul 25 Tahun Reformasi: Mengawal Upaya Mewujudkan Supremasi Hukum dan Meningkatkan Kualitas Demokrasi di Indonesia (2023) oleh Udiyo Basuki dan Rudi Subiyakto, disebutkan bahwa gerakan reformasi ketika itu memiliki enam poin tuntutan utama.

Keenam tuntutan tersebut ialah penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN, amandemen UUD 1945, adili Soeharto dan kroni-kroninya, penghapusan dwifungsi ABRI, serta pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.

Penghapusan dwifungsi ABRI terjadi pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Reformasi dalam tubuh TNI diawali dengan seminar Angkatan Darat pada 22-24 September 1998 bertema Peran ABRI di Abad XXI, yang menghasilkan pemikiran untuk mengembalikan TNI menjadi tentara profesional. Menteri Pertahanan dan Keamanan saat itu, Jenderal Wiranto, bersama Kepala Staf Sosial Politik ABRI Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, mulai mengurangi keterlibatan TNI dalam politik.

Gus Dur melanjutkan reformasi tersebut dengan memisahkan Polri dari TNI selama masa kepemimpinannya yang singkat (1999-2001). Ia juga mencabut kebijakan dwifungsi ABRI, sehingga militer tidak lagi memiliki peran sosial-politik dan dilarang terlibat dalam politik praktis maupun menduduki jabatan sipil.


Novali Panji Nugroho, Ricky Juliansyah, Ni Kadek Trisna Cintya Dewi, Eka Yudha Saputra dan Amelia Rahima Sari berkontribusi dalam penulisan artikel ini. 
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus