DOSA? Cacat? Terbawa-bawa? Di masa lalu, orang memang menganggap homoseksualitas sebagai demikian. Tapi berbagai penelitian yang dilakukan kemudian justru membuat semakin ragu menentukan penyebab kebiasaan itu. Yang paling akhir, dua peneliti seks terkenal, William Masters dan Virginia Johnson, tahun lalu menerbitkan hasil penelitian mereka, Homosexuality in Perspective. Kesimpulan mereka: mereka tak mampu menentukan jawaban yang paling benar. Ini umumnya diakui para ahli. Ujar psikiater dr. Dadang Hawari, "Ada terlalu banyak faktor terlibat, hingga sulit menentukan kesimpulan." Menurut ahli jiwa ini, faktor biologi, psikologi, pendidikan, dan pergaulan kadang-kadang tumpang tindih menyebabkan seseorang menjadi homoseks. Hawari berpendapat bahwa seks punya dua segi: yang satu bertujuan mendapat keturunan, yang lain untuk mendapat kepuasan dan kenikmatan. Sebagian besar praktek homoseks, karena tidak mungkin membuahkan keturunan, berada di jalur mencari kesenangan. Apa pun motifnya, menurut Prof. Hasan Basri Saanin, guru besar Universitas Padjadjaran Bandung itu, homoseks (pria) mempunyai beberapa kategori. Paling tidak yang kini dikenal ada empat: overt, eksklusif, fakultatif, biseksual - yang terakhir ini bisa melakukan hubungan seks dengan wanita ataupun pria. Kelompok overt dan eksklusif sama-sama tak menyukai wanita. Bedanya yang overt aktif menyukai pria bahkan sampai melakukan hubungan badan, sementara yang eksklusif tidak. Yang fakultatif, termasuk yang bukan homoseks sebenarnya. Mereka melakukan hubungan sejenis karena terdesak -- misalnya yang terjadi di penjara atau untuk tujuan melacurkan diri. Mungkin juga ada juga yang latah, terpengaruh citra bahwa hubungan seks dengan kawan sejenis adalah kegiatan yang bergengsi, karena dipraktekkan lingkungan orang tenar atau makmur. Mencoba melihat penyebabnya, Hasan Basri mengemukakan kemungkinan berperannya faktor biologis. Pangkalnya, menurut ahli jiwa itu, adalah kondisi hormon estrogen (pembentuk sifat wanita) dan hormon testosteron (pembentuk sifat laki-laki). Artinya, seorang pria yang punya hormon estrogen berlebih akan menjadi kewanita-wanitaan dan otomatis homoseks, dan pada lesbian sebaliknya. "Tapi teori ini ternyata belum dibuktikan dengan penelitian yang tuntas," katanya. Artinya, dalam banyak kasus homoseks, tak ada kelainan hormonal sama sekali. Maka, dalam hal ini, menurut Hasan Basri, faktor psikologis mungkin punya peran lebih besar. Ahli psikologi Dr. Sarlito Wirawan Sarwono melihat lingkungan keluarga sebagai kemungkinan faktor psikologis potensial dalam penyebab homoseks. Misalnya keadaan di masa remaja ketika manusia mulai tertarik pada seksualitas. Kekecewaan akibat hubungan orangtua yang tidak harmonis, kontak pengalaman seks dengan kawan remaja sejenis yang berkepanjangan, juga keadaan yang menekan adalah beberapa kondisi psikologis yang bisa membangkitkan homoseksualitas. "Pada hakikatnya, perbedaan jenis kelamin pria dan wanita hanya dipisahkan selaput tipis," ujar Sarlito, "tidak tegas hitam putih." Maka, dalam pembentukan sifat dan kecenderungan seksual, perubahan memang mudah terjadi. Sebuah trauma menghadapi sikap ibu, misalnya, bisa membuat seorang anak laki-laki membenci ibunya dan sekaligus wanita secara umum. Anak itu jadi lebih menyukai pria. Psikologi memang kaya dengan dunia tanda tanya tentang jiwa. Psikolog Leila Ch. Budiman, pengasuh rubrik Konsultasi Psikologi Kompas yang bermukim di Salatiga, mengaku mendapat cukup banyak surat yang berisi keluhan dari kaum homoseks. "Setahun rata-rata ada 100 kasus," kata Leila. Menurut Leila, sebagian besar gay punya latar belakang psikologis yang tak bahagia. Mereka kemudian mendapat beban psikologis lagi karena sikap masyarakat yang mencemooh. Sebagian besar putus asa. Ketertutupan masyarakat kita dalam membahas homoseks secara benar, menurut Leila, membuat kaum homoseks merasa sangat terkucil. "Karena itu, dalam konsultasi, saya sering mengutarakan bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi problem psikologis, dan banyak penderita seperti mereka ternyata bisa mengatasi keadaan." ujarnya. Problem psikologis, betapapun kecilnya, barangkali memang senantiasa ada pada kasus homoseks. Bila mimpi dan khayalan mereka bisa dijadikan patokan, Masters dan Johnson punya sejumlah data. Kedua peneliti itu menemukan terdapat perbedaan yang besar antara khayalan kaum homo dan khayalan heteroseks. Khayalan homoseks, yang terlihat baik pada dialog maupun pengakuan mereka, umumnya menyeramkan. Pada yan pria, khayalan diperkosa dalam hubungan seks dominan sementara pada yang wanita ada semacam nada balas dendam terhadap pria. Semua ini bisa dikembalikan pada pengalaman pahit. Tapi begitu jadi homo, mereka dikucilkan -- meskipun sifat homonya itu terjadi di luar kuasa mereka. Tapi ini bukan sikap yang terdapat di semua tempat, di semua masa. Jauh di lingkungan kehidupan tradisional, soal homoseksual jauh lebih damai. Di sana tidak ada masalah. Jim Supangkat (Jakarta), Agung Firmansyah (Bandung), dan I Made Suarjana (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini