Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pada mulanya adalah sodom

Praktek homoseks sudah dikisahkan dalam quran dan injil. menurut islam praktek homo lebih keji ketimbang zina. gereja katolik punya fatwa tegas, mengecam homoseksual. tanggapan dari 2 tokoh agama.

10 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALKISAH, datanglah dua lelaki tampan ke rumah Nabi Luth di Negeri Sodom. Luth cemas: khawatir akan apa yang bakal diperbuat kaumnya jika mereka tahu kedatangan tamunya itu. Soalnya, selama ini kaum Luth gemar sekali "berhubungan" dengan sesama lelaki. Saling merayu, bercumbu .... Dan Luth tak bosan-bosannya menyuruh mereka meninggalkan perbuatan itu. Tapi mereka tak insaf juga, maka kehadiran dua tamu itu dicoba dirahasiakan oleh tuan rumah. Tapi bocor. Namun, kekhawatiran Luth berubah, setelah kedua tamu itu mengaku bahwa mereka sebenarnya perwujudan diri Malaikat Jibril. Tatkala kaum Luth menyerbu dan mendobrak pintu rumah Luth, Jibril pun mengibaskan sayapnya ke muka mereka. Mata mereka pun buta. Menjelang subuh, laknat Tuhan pun datang kepada penduduk Sodom. "Kami jungkir balikkan kota itu, dan kami turunkan hujan batu," begitulah kisah Quran. Cerita itu agaknya jadi dokumen penting perihal homoseksualitas di dunia -- sebagaimana Injil menuliskannya dalam kisah keruntuhan Sodom dan Gomorah. Quran sendiri, berulang kali, menyebut homoseksualitas sebagai tindakan "fakhisyah", dan mesti dikutuk. Fakhisyah itu bahkan lebih keji ketimbang zina, menurut H. Muhammad Bagir, seorang ulama tenar di Bandung. Dalam Islam, memang ada kesepakatan soal ini. Bahkan, menurut K.H. Misbach, Ketua Majelis Ulama Jawa Timur, semua bentuk hubungan yang dilakukan kaum liwath ini mesti dihukum -- tak peduli apakah itu hubungan alat vital dengan dubur atau lainnya. Mengapa Islam tak membenarkan perbuatan homoseksual? Menurut Dr. M. Quraisy Syihab, Ketua Bidang Pengkajian MUI, karena hubungan seks dengan orang sejenis itu tak mengantarkan orang mendapatkan keturunan. Perbuatan itu cuma bisa memberi kepuasan syahwat. Walau demikian, Islam tetap luwes dalam menjatuhkan hukuman. Menurut Quraisy, meskipun Islam menghukum berdasarkan hal-hal lahiriah, yahkum bidzahir, dalam saat yang sama harus dilihat dulu latar belakang perbuatan itu. Quraisy memang melihat kaum homoseksual terbagi dalam dua kelompok. Pertama, mereka yang "terpaksa", yang dari awal berorientasi seksual sejenis. Kedua, yang cuma ikut-ikutan, dan sebenarnya memiliki kemampuan untuk menghindari perbuatan itu. "Kelompok pertama itu tak perlu dijauhi, melainkan justru diarahkan, dibimbing dan diobati, supaya bisa dikembalikan kepada masyarakat banyak," kata Quraisy. Hanya kelompok yang kedua, menurut para ulama itu, yang mesti ditindak tegas. Dengan kata lain, perlu kearifan. Sayyid Sabiq, seperti juga Shobuni dalam Tafsir Ayat al-Ahkam, misalnya, menjelaskan dalam kitab Fiqih Sunnah-nya, bahwa terdapat tiga pendapat dalam soal ini. Pertama pelakunya mesti dibunuh, kedua mesti diberi sanksi seperti pada pezina, dan, ketiga diserahkan vonisnya kepada hakim Islam yang adil. Tak hanya Islam. Gereja Katolik pun punya fatwa yang tegas. Pihak Vatikan sendiri, Oktober tahun silam, menurunkan petunjuk yang dikirim kepada para uskup di seluruh dunia. Isinya mengecam tindakan homoseksual. Gereja lain sampai sekarang belum mengeluarkan kajiannya. Dewan Gereja Dunia Protestan, Anglikan, dan Katolik Ortodoks -- yang mengkoordinasikan gereja di 107 negara, belum terdengar membahas masalah homoseksual yang kini semakin muncul. Mungkin keputusannya diserahkan kepada tiap imam. Sebab, gereja bisa sama pendapat bisa lain. Pastor M.A.W. Brouwer dari Bandung, misalnya, seorang rohaniwan dan juga ahli psikologi yang banyak menulis, menyatakan ada pendapat lain. Pendapat modern, kata Brouwer, menilai homoseksualitas merupakan tingkah laku yang belum disetujui masyarakat, bukan suatu dosa atau penyakit. "Saya lebih setuju pendapat modern itu," kata Brouwer. Bagaimana halnya dengan perundang-undangan Indonesia? Hal itu, menurut Dr. Satjipto Rahardjo, ahli sosiologi hukum FH Undip, hanya bisa dimasukkan pada tindak pidana asusila di depan umum. Artinya, pelaku hanya bisa dihukum bila menjalankannya di tempat terbuka. Sebab, "Undang-undang yang secara khusus mengatur soal homoseks ini tidak ada," katanya. Tapi itu bukan berarti tak ada kasus. Para ahli sempat ramai, misalnya, waktu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 1983, menjatuhkan vonis kepada pemuda Nana yang gagal "memperkosa" pemuda 15 tahun bernama Hari (TEMPO, 29 Januari 1983). Dari segi hukum, memperkosa memang salah. Kalau suka sama suka, itu yang tak jelas. Syafiq Basri (Jakarta), Agung Firmansyah (Bandung), Bandelan Amarudin (Samarang), dan Wahyu Muryadi (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus