DI sebuah rumah di Desa Kauman Sumoroto, Ponorogo, seorang warok membukakan dunia gemblakan. Kasni, 64 tahun, warok itu, kini memimpin grup reog "Pujonggo Anom", juara satu festival reog se-Jawa Timur, Agustus lalu. Di ruang tamu berukuran 3 X 3 meter, didampingi Suparno, 24 tahun, salah seorang pacar terakhir sang jagoan, kata Kasni, "Menutup-nutupi itu bukan jiwa warok." Maka, meluncurlah pengakuannya: Saya ingat betul, begitu habis disunat saya sudah berani main gemblakan. Umur saya waktu itu 15 tahun. Saya sedang belajar ilmu kanuragan. Bagi anak-anak muda di zaman itu, tidak mempelajari ilmu berkelahi, sungguh memalukan. Nah, siapa pun yang belajar ilmu kanuragan harus menjauhi wanita kalau ingin berhasil. Waktu itu saya sangat membenci wanita. Sebaliknya, begitu melihat cah bagus, anak laki-laki ganteng, waduh, senangnya. Saya memelihara gemblakan untuk diri sendiri. Dulu saya sering ganti-ganti gemblakan. Saya termasuk jagoan. Lebih dari dua puluh gemblakan saya. Kalau tidur diapit dua atau tiga gemblakan, waduh, hidup ini kayak di surga. Berdosa? Lho, 'kan saya tidak merusakkan pager ayu, atau menggauli istri orang. Dan semua itu 'kan warisan nenek moyang? Setelah ilmu kanuragan saya mentok, ya saya kawin. Saya 'kan laki-laki, harus saya buktikan bahwa saya laki-laki yang bisa punya keturunan. Anak saya lima, tertua sudah umur 27 tahun. Sekarang kadang-kadang saya masih menggemblak. Tak seperti dulu lagi, saya sudah tua. Tapi melihat jejaka ganteng, wah, greget lama muncul lagi. Gemblakan itu tak mungkin dihilangkan. Selama masih ada reog, masih ada pula gemblakan. Bedanya, dulu terang-terangan, sekarang sembunyi-sembunyi. Kalau ketahuan, dituduh macam-macam. Sekarang 'kan pemerintah gencar menganjurkan agar gemblakan tak dilakukan lagi. Orang mestinya menanyakan dulu mengapa warok memelihara gemblakan, jangan asal menuding. Gemblakan 'kan sudah jadi tradisi. Dalam reog gemblakan biasanya jadi jaranan. Sekarang ada jaranan diperankan wanita. Katanya itu modern. Boleh, boleh saja. Tapi itu merusakkan tradisi, itu reog yang sudah kehilangan ruh. (Ganti kemudian Suparno bercerita. Sebagaimana Kasni, gemblakan ini kini punya istri, Sri Wahyuni, tiga tahun lebih muda daripada dia, dan telah punya anak lelaki berusia empat tahun. Sri menikah, tahu siapa suaminya. Ia tak cemburu suaminya pacaran dengan warok, "asal tak sama wanita.") Saya mau jadi gemblakan karena saya juga suka. Melayani warok, dibawa ke mana-mana oleh warok itu rasanya bangga. Di samping itu, orangtua saya mendapat penghasilan juga. Dari kontrak dengan warok, tiap tahun mendapat seekor anak sapi. Selain main reog saya buka salon, "Noni" namanya. Ceritanya, waktu saya main reog di Kediri, ada jaksa yang jatuh asmara dengan saya. Kami sempat berpacaran, dan saya disekolahkan di salon kecantikan. Tapi saya gemblakan sama jaksa cuma sebentar, bosan. Saya kawin dengan Sri pada 1980, karena saya takut jadi banci. Akhirnya saya punya anak. Sekarang saya jarang jadi gemblakan. Bagaimana main gemblakan itu? Aihh ... tahu sendirilah. Budiono Darsono (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini