TANAH tak cuma tempat bercocok tanam. Tanah juga lahan tumbuhnya musik. Tanah keras digali: panjang 3 meter, lebar 25 sentimeter dengan kedalaman 40 sentimeter. Lubang galian ditutup rapat dengan papan tipis 2 sentimeter. Pada kedua ujung lubang dibenamkan pasak kayu keras. Lalu rotan tua yang halus direntang melintas kuda-kuda di atas lubang. Dan berkecambahlah irama Gordang Tano. "Untaian iramanya persis suara bas berukuran raksasa," ujar Rizaldi Siagian, 37 tahun. Berbekal tongkat sebesar ibu jari dan panjangnya 30 sentimeter, lima penabuh merambas dawai Gordang, yang terbuat dari rotan itu. Seorang bertindak sebagai master, yang lain disebut panduai, pengikut. Sang master biasanya di bagian bunyi yang paling besar, sedangkan penabuh lainnya berada di hadapannya. "Untaian dawai itu menciptakan bunyi yang paling komplet," ujar Rizaldi, yang meraih M.A. dari Universitas San Diego, AS, dengan tesis mengenai tradisi musik klasik India selatan -- khususnya jenis musik Ragu Kalyani. Ketua Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara itu memperkirakan, Gordang adalah jenis musik tertua di kawasan itu. "Ini diketahui setelah melihat ciri-ciri dan karakter ritmisnya, serta pengulangan-pengulangan melodi yang menggunakan nada begitu minim," tutur bekas drumer yang pernah kondang di Medan pada tahun 70-an itu. Pendapat Rizaldi itu berdasar teori evolusi Sachs dalam The History of Instruments. Sachs menunjukkan ciri-ciri musik prasejarah. "Musik pada zaman itu terjadi masih dalam proses rangsangan menciptakan melodi," ujarnya. Jenis musik yang termasuk tua di dunia, seperti dicatat Sachs, ada juga di Madura. "Tetapi yang di Sumatera tak disebut-sebut, padahal ada," ujar Rizaldi, yang telah meneliti musik tradisional Batak Toba, Karo, dan Mandailing sejak 1980. Prof. Dr. Adi Putra Parlindungan Lubis, 54 tahun, memperkirakan, usia Gordang 300 tahun lebih. "Gordang sudah dikenal lebih dari empat generasi di Mandailing," kata bekas Rektor USU yang memimpin grup Kesenian Gunung Kulabu sejak 1968 itu. "Gordang berfungsi untuk upacara ritual memanggil hujan dan membangkitkan semangat dalam pertempuran," tuturnya. Alat musik sejenis Gordang juga ditemukan di Afrika Timur. "Bangsa Mukua menggunakannya dalam upacara ritual inisiasi, untuk mengajar wanita bersenggama," tutur Rizaldi lagi. Dan penemuan Gordang yang telah terpendam beberapa generasi itu ternyata menarik. Menurut pengakuan Rizaldi, ayah tiga anak itu, sebelumnya ia selalu gagal menemukan Gordang Tano dalam penelitian. Baru pada saat penggarapan Paket Budaya bersama TVRI Medan, Juli lalu, itulah ditemukan Gordang secara "kebetulan". Seorang petani yang bertugas memainkan Uyup-uyup -- jenis musik yang menggunakan daun kopi sebagai instrumen -- tiba-tiba sakit. Harus dicarikan ganti untuk melengkapi jenis musik untuk rekaman dengan masa putar 25 menit itu. Adalah P. Lubis, 70 tahun, yang kemudian bercerita mengenai Gordang, mengulang kisah orangtuanya. Kata Lubis, dia pernah memainkan Gordang untuk upacara memanggil hujan. Susah. Orang tua satu-satunya yang tahu Gordang itu tak bisa menjelaskan secara verbal. Tradisi musik Mandailing tak menunjukkan kebiasaan anilisis dalam struktur musiknya. "Semua berlaku oral dan informal," tutur Rizaldi. "Tidak seperti di Jawa dan India. Walaupun oral, guru musiknya mempunyai formalitas dalam proses pengajarannya. Jadi, saya harus merekonstruksi sesuatu yang abstrak, karena pola ritmenya tersimpan di benak penabuh." Menurut hasil penelitian Rizaldi, Gordang sangat menolong melatih keterampilan memainkan alat musik Gordang Sambilan, instrumen canggih terdiri dari sembilan buah gendang jumbo. Gordang dapat dibuat di mana saja, asal ada tanah keras. Jadi, murah. "Musik tradisional ini harus dipertahankan. Nilainya sangat mahal," kata Rizaldi. Paket program yang direkam TVRI Medan April lalu itu diberi judul Gondang. Acara yang direncanakan untuk siaran lokal ini berisi berbagai jenis musik tradisional asal Tapanuli Selatan. Selain Gordang Tano, Gordang Sambilan, Uyup-uyup, ada lagi Markatimbung, yang dimainkan kala mandi di sungai. Dari yang sepuh sampai bocah senang memainkannya, dengan menepuk air secara bersama, di tepian. Ada lagi Gondan Aek, yang memanfaatkan arus air mengalir di pematang dan di kincir untuk mengetuk botol dan kaleng sebagai sumber bunyi. Alat ini berfungsi untuk mengusir satwa pengganggu tanaman padi. Juga untuk mengingatkan Pak Tani: air di pematang sudah tak mengalir lagi. Instrumen unik musih Pakantan-Tamiang ini bersama jenis musik tradisional Tapanuli Selatan lainnya, ditayangkan TVRI awal September lalu Akhir Agustus lalu paket produksi TVRI Stasiun Medan ini menjadi juara pertama dan mendapat hadiah Gatra Kencana 1987 sebagai paket Program Kebudayaan antarstasiun TVRI se-Indonesia -- sebelum akan dipertandingkan di Australia. "Saya tak menyangka, paket ini bisa menjadi juara pertama," kata Zainal Arifin Kepala Bidang Produksi TVRI Stasiun Medan, mengomentari hasil garapannya Paket berbiaya Rp 2 juta itu dikerjakan selama sembilan hari, dengan 10 personel di bawah pengarah acara Yoseph Tatarang. Yang menulis skenario dan sekaligus sebagai pembawa acara Gordang itu adalah Rizaldi sendiri. Burhan Piliang (Jakarta) dan Asyadin S.T. (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini