Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Arie namanya

Banyak anak mengalami siksaan orangtuanya, malah ada yang diperkosa ayahnya sendiri. Orangtua umumnya memang kurang sabar. Tapi tak banyak catatan polisi tentang kejahatan orangtua terhadap anak. (krim)

1 Desember 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ARIE Hanggara, 7, kini tak lagi menderita. Ia sudah berada dalam dekapan Tuhan. Kita tahu, anak kelas I SD Yayasan Perguruan Cikini (Yaperci), Jakarta Pusat, itu meninggal dinihari 8 November lalu karena siksaan ayah kandungnya. Mulanya, dalam tas anak yang berparas manis dan tampan itu ditemukan uang Rp 8.000. Menurut Arie, uang tersebut diambil dari tas seorang pelajar SMA Yaperci. Santi, 26, ibu tirinya, segera menampar dan membenturkan kepala anak itu ke tembok. Sang ayah, Machtino, 33, yang sudah beberapa bulan tak mempunyai kerja tetap, lebih berang. Ia memukuli Arie dengan tangkai sapu. Ia juga menyuruh Arie berdiri menghadap tembok, mengikat tangannya, dan memerintahkan jongkok-berdiri beberapa kali sampai anak itu kelelahan, kelaparan serta kehausan, karena makan minumnya dibatasi. Juga kedinginan, karena Arie harus bertelanjang dada. Terakhir, pada 7 November tengah malam, yaitu setelah lima hari Arie menjalani siksaan sampai tak masuk sekolah, Machtino menjumpai Arie duduk. Padahal, di malam dingin itu mestinya Arie masih menjalani hukuman berdiri menghadap tembok. Celakanya, Machtino bukannya berpikir bahwa anak itu lelah dan mengantuk. Ia malahan menghajar anak keduanya dengan pukulan yarlg lebih keras. Malam itu, Arie rupanya sudah tak kuat lagi menanggung siksaan. Ia meninggal sewaktu dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Para orangtua umumnya - bisa dimaklumi - sangat marah, trenyuh, mendengar peristiwa itu. Ketika diadakan rekonstruksi di rumah di Jalan Haji Maun, Jakarta Selatan, massa berdesakan hendak memuku] Machtino sambil berteriak "Orangtua jahat . . . Bunuh saja!" Untung, polisi sigap sehingga Machtino dan Santi - keduanya kini berada dalam tahanan - tak menjadi bulan-bulanan bekas tetangga. Para tetangga ini boleh saja menudut Machtino jahat. Tap ia bukan satu-satunya orangtua yang tega terhadap darah dagingnya sendiri. Joni (nama samaran) 13, di Surabaya mengaku sering dihajar ayahnya, sampai ia terkadang takut pulang ke rumah seusai sekolah. Pernah, sekali waktu, ia tak diberi makan minum sehari semalam, dengan kedua kaki dan tangan terikat erat. Pasalnya, ia mencuri uang Rp 5.000 dari saku celana bapaknya. "Saya ingin membeli mainan. Tapi tidak pernah dikasih uang," Joni, bekas murid kelas IV SD, itu memberi alasan. Orangtua bukannya mencoba mengerti apa yang dimaui anak kedua dari empat bersaudara itu, tetapi justru memperlakukan Joni kian keras. Karena tak tahan lagi, anak bertubuh kecil berkulit putih itu pun lari dari rumah. Dan karena ia perlu makan, ia pun kembali mencuri. Kini, sejak empat bulan lalu, bocah menjelang remaja itu menjadi penghuni tempat penitipan anak-anak nakal Pra-Yuwana, Surabaya, bersama 18 temannya yang senasib. Dan di LP Khusus Anak Negara Pria Tangerang, ada Rida (nama samaran juga), yang meski baru berusia 10 tahun sudah kenyang "dijahati" ayah dan ibu tiri. Ia, misalnya, pernah diperlakukan seperti Joni: kedua tangan dan kaki diikat, tak boleh bergerak-gerak sampai malam. Tapi si kecil Rida nekat. Sewaktu ia tak lagi mendengar suara orang, dengan kaki tetap terikat ia melompat-lompat ke dapur dan mengambil pisau. Dengan susah payah ia berhasil memutuskan tali pengikat, lalu lari menemui ibu kandungnya di bilangan Manggarai, Jakarta Selatan. Rida memang mengaku nakal. Tapi hal itu karena ibu tirinya, yang membuka warung nasi di Tanjung Priok dan punya delapan anak yang masih kecil-kecil, tampaknya tak berkenan atas kehadiran Rida "Saya sering diomelin. Badan saya digebuk pakai rotan, dan begitu pulang sekolah langsung disuruh cuci pirimg sambil dibentak-bentak," katanya. Ayahnya, pensiunan polisi, cukup pula ringan tangan, meski terkadang )uga membela Rida. Karena keributan semakin sering terjadi antara ayah dan ibu tiri, Rida tak tahan. Ia kabur dan mulai belajar mencuri. Dan perbuatan yang terakhir itulah yang membuatnya dikirim ke LP Anak Negara Tangerang. Anak-anak yang ditahan di Polda Jakarta karena melanggar hukum umumnya juga pernah merasakan tangan orangtua. Tidak hanya kasus ringan tangan. Ada pula ternyata orangtua yang tega memperkosa anak kandungnya. Sersan dua Agustinus, 42, pekan lalu divonis mahkamah militer di Denpasar, Bali, 11 bulan penjara. Menurut majelis hakim yang dipimpin Letnan Kolonel Kasir, ayah delapan anak itu terbukti menzinahi Wiwik (bukan nama asli) yang sudah berumur 18 tahun. Padahal pelajar kelas I SMA itu darah-dagingnya sendiri - anak nomor tiga. Ketika didengar keterangannya sebagai saksi, Wiwik, yang sempat melahirkan anak hasil hubungan dengan ayahnya itu, mengaku tak berani melawan ketika hendak diperkosa. Sebab, selain ayahnya lebih kuat, ia diancam agar tak berteriak. Yeni (juga bukan nama aslinya), 20, di Bandung juga mengaku terpaksa melayani kebiadaban ayah kandungnya, seorang pensiunan polisi, karena diancam. Ia juga sempat melahirkan jabang bayi, yang "untungnya" meninggal tak lama kemudian, hasil hubungan dengan sang ayah yang kini tengah diadili di Pengadilan Negeri Bandung. Di kota itu, seorang ayah lain, yang 12 tahun lebih menjadi tahanan politik di Pulau Buru, ikut tergiur "memakan" anak kandungnya yang sedang mekar. Lagi-lagi anak gadis berusia 15 tahun itu pun hamil. Maka, sang ayah pun kembali masuk tahanan. "Sang ayah, Mahmud, rupanya tergoda setan karena belasan tahun kebutuhan biologisnya tak tersalurkan," komentar Mayor Dodo Djukardi, kepala Binmas Poltabes Bandung, seperti dikutip sebuah surat kabar di sana. Dan kalau ayah kandung saja ada yang tega memperkosa anak sendiri, jangan heran bila ada ayah memperkosa anak tiri. Yang seperti itu terjadi, misalnya di Medan menimpa gadis Ema dan dl Ujungpandang terhadap Rika (keduanya nama samaran). (TEMPO, 24 November 1984). Mengapa banyak orangtua tega menyiksa atau menyakiti anaknya sendiri? "Orangtua umumnya kurang sabar dan telaten dalam mendidik anak," kata Doktor Singgih Gunarsa, 50, guru besar Fakultas Psikologi UI, Jakarta. Bila seorang anak berbuat salah, banyak orangtua yang cenderung cepat melayangkan tangan, melampiaskan kejengkelan. Hampir 95% orangtua, menurut Singgih, memukul anak karena ia tak lagi bisa mengendalikan emosi. Dengan kata lain, "Hanya 5% orangtua yang memukul secara 'murni', yaitu dengan upaya untuk mendidik." Hal seperti itu tak hanya terjadi di sini (Lihat: Tidak Hanya di Sini). Dan kebengisan orangtua, menurut Singgih, tak hanya dengan memukul. Sebagai kepala Bimbingan dan Penyuluhan tBP) di sekolah swasta Kristen, Jakarta, Singgih juga sering menjumpai tekanan dari orangtua dalam bentuk lain: memacu anak-anaknya untuk menjadi nomor satu di sekolah. Padahal, kemampuan anak satu sama lain berbeda. Perlakuan buruk terhadap anak, menurut Fawzia Aswin Hadis, 44, ketua Jurusan Psikologi Anak Fakultas Psikologi UI, dikenal dengan istilah child abuse. Peri laku orangtua yang kasar terhadap anak, katanya, biasanya karena si orangtua itu juga mendapat perlakuan serupa di masa kecilnya. Semacam "warisan", begitulah. Ceritanya terlihat jelas misalnya dalam kasus Henky Tupanwael, 46, yang menjalani hukuman mati pada 5 Januari 1980. Penjahat besar yang sudah beberapa kali merampok dan membunuh itu, pada masa kecilnya, sering mengalami tindak kekerasan dari ayahnya. "Ayah sering memukul kami dengan rotan dan kopelrim (sabuk tentara) sampai bengkak-bengkak," tutur Benny Tupanwael, 49, adik kandung Henky. Selain itu, ayah mereka, Yacob Mathius Tupanwael, 79, pensiunan tentara yang kini aktif sebagai pendeta, ketika itu jarang sekali di rumah. Akibatnya, Henky, anak kedua dari tujuh bersaudara itu, sering bergaul dengan pemuda bergajulan. Dan pergaulan itulah, menurut Yacob, yang membuat Henky terjerumus dalam dunia kejahatan, dan kemudian menjadi salah satu tokohnya. Kondisi sosial ekonomi yang buruk, juga emosi yang tidak matang, merupakan sumber kebermgasan orangtua terhadap anak. Dalam kasus Arie, hal ini tampak jelas terlihat. Dalam keadaan menganggur, Machtino rupanya merasa lebih tertekan, karena yang mencari nafkah Santi, yang belum secara resmi dinikahi, dengan bekerja di sebuah perusahaan swasta. Apalagi ia juga pernah mempunyai pengalaman tak menyenangkan di masa muda (Lihat: Petaka Usia Tujuh Tahun). Bisa dimengerti bila ia emosional menghadapi Arie yang dinilainya nakal dan suka membantah. Dari segi si anak sendiri, menurut Fawia, bisa diamati adanya anak-anak tertentu yang mempunyai risiko tinggi untuk menerima tindakan sewenang-wenang. Yaitu anak yang cacat mental, lahir prematur, dan anak hiperaktif. Anak cacat mental mempunyai kecenderungan diperlakukan tak semestinya, karena orangtuanya bisa jadi merasa kecewa atau jengkel. Anak prematur yang penampilannya serba lemah dan kurang aktif, pun bisa mengakibatkan rasa tidak puas dan kecewa orangtua. Sedangkan terhadap anak hiperaktif, orangtua merasa kewalahan menghadapinya, sehingga tanpa disadari tahu-tahu tangan bisa melayang untuk menghentikan ulahnya. Memang, kata Fawzia, pukulan boleh saja diberikan. Tapi tujuannya harus semata-mata untuk mendidik, bukan untuk melampiaskan dendam. Juga jangan sampai terlalu menyakiti si anak, karena, "Peri laku orangtua atau orang lain akan sangat membekas di hati anak." Dan itu akan berpengaruh dalam perkembangan si anak lebih lanjut, meskipun, kata Fawzia, akibatnya yang jelas atau pasti tak bisa diramalkan. Oleh karena itu, menurut Doktor Tri, 47 dari Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung, "Bila orangtua sedang naik pitam, bacalah dulu astaghfirullah, baru kemudian berpikir untuk menghukum." Hukuman itu sendiri haruslah yang setimpal dengan kesalahan. Bila anak hanya bersalah menumpahkan tinta, contohnya, tak usah sampai dicubit atau dipukul. Cukup disuruh membersihkan tinta yang ditumpahkannya. Anak yang mencuri pun, menurut Tri, tak boleh divonis bahwa dia jahat dan karenanya patut mendapat pukulan atau sebangsanya. "Mencuri itu sebetulnya merupakan perwujudan untuk mencuri hati atau perhatian orangtua," kata Tri. Dengan kata lain, anak itu sebenarnya butuh kasih sayang. Dan, tentu, salah sekali bila orangtua kemudian malahan bersikap beringas dan menghajar si anak. Maka, barangkali ada baiknya resep Psikolog Yuke R. Siregar, 37, juga dari Fakultas Psikologi Unpad, tentang cara memperlakukan anak. Menurut Yuke, anak hendaklah tidak dianggap sebagai obyek semata. Atau semacam tanah liat yang bisa digenggam, dan diremas semaunya, agar menjadi sesuatu seperti yang diingini orangtua. Anak harus dilihat sebagai subyek yang memiliki emosi, kecerdasan, dan sebagainya. "Tugas orangtua justru memenuhi semua kebutuhan anak, baik kebutuhan fisik, kebutuhan emosi, serta kebutuhan intelektual, agar ia bisa tumbuh dengan sebaik-baiknya," kata Yuke. Meski tampaknya cukup banyak juga orangtua yang tak mempunyai kesabaran dalam mendidik anak, rupanya polisi tak banyak mencatat peristiwa itu dalam kolom kriminal. Di Medan, misalnya, hampir tak tercatat orangtua yang menghajar anaknya sampai mati atau cacat. "Jelek-jelek, Medan masih berbudi," komentar komandan Satserse Poltabes Medan, Mayor Paimim A.B. Di Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya, tampaknya juga tak tercatat. Hanya di Banyumas, Jawa Tengah, selama lima tahun terakhir ini polisi menggarap lima kasus kejahatan orangtua terhadap anak - tiga kasus penganiayaan dan dua lainnya pembunuhan. Pembunuhan pertama terjadi 1981 di Banjarnegara, menimpa seorang anak yang sakit-sakitan. "Ayahnya yang sudah tak punya biaya jadi putus asa. Anaknya lantas dicekik," tutur sumber di Polwil Banyumas kepada TEMPO.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus