LAKI-LAKI itu teramat malang Kini ia menngkuk dl tahanan dan dicaci maki semua orang. Dengan tangannya sendiri ia mengakhiri hidup anak kandunnya, Arie Hanggara. Tapi, sebagai ayah, ia bukan tidak kehilangan. Dengan mata membengkak Machtino Eddiwan berkata kepada wartawan TEMPO, Eko Yuswanto, di tahanan Polsek Mampang Prapatan, "Sudah lima hari ini saya bersembahyang. Tapi tiap kali sembahyang saya tidak dapat menahan tangis." Tlno, didampingi saudara dan Pengacara Henry Yosodiningrat, bercerita: Dilahirkan di Jakarta, 36 tahun lalu dari seorang ibu berdarah Minang dan ayah dari Tapanuli Selatan, ia menjalani masa kanak-kanaknya penuh duka. Ayahnya, Eddiwan, anggota DPR/MPR dari Fraksi Karya Pembangunan, bercerai dengan ibunya pada waktu-ia berusia tujuh tahun. Ia anak kedua dari enam bersaudara dan masih mempunyai empat orang adik lagi dari ibu tiri. Ibu kandung dan ibu tirinya telah meninggal dunia. Ia mengaku bersama saudara-saudaranya dididik ayahnya dengan keras agar berdisiplin: selalu dihukum jika melakukan kesalahan. "Coba berdiri di sudut sana," kata Tino, mencoba mengulangi perintah ayahnya dulu. Dan, katanya, perintah semacam itu harus selalu dipatuhi. "Saya ingin mendidik anak-anak seperti halnya ayah mendidik kami dahulu," ujar Tino. Tino mengaku dididik dari SD sampai SMP di Yayasan Perguruan Cikini. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya ke SMA 7. Pada 1972, Tino mendapat kesempatan sekolah penerbangan di Belgia, selama dua tahun. Tapi hanya setahun dijalaninya, ia kemudian berkelana di Eropa. Sekitar dua tahun kemudian ia kembali ke tanah air. Ketika itulah, menurut bekas istrinya, Dahlia Nasution, 28, mereka bertemu. Dan setahun kemudian mereka menikah di Kecamatan Ciomas, Bogor. Setelah itu, kata Lia, mereka tinggal di Tebet, sampal lahirnya anak pertama, Anggie Hanggata. Kehidupan rumah tangga mereka, tutur Lia, anak kedua dari 14 bersaudara keluarga seorang mayor purnawirawan TNI, tidak begitu cerah. Sebab, Tino tidak mendapat pekerjaan tetap. Akibatnya, mereka terpaksa berpindah-pindah rumah kontrakan, dari Tebet ke Cilandak, dan kemudian ke Tulodong. Tapi di kepahitan hidup itu, Lia mengaku mengecap kebahagiaan. Ketika Lia jatuh sakit dan dirawat di Rumah Sakit Fatmawati, Kebayoran, setiap malam dengan setia Tino menunggumya. Pada waktu itu, menurut Lia, ia tidak melihat tanda-tanda Tino akan berlaku kejam terhadap anaknya. "Ia tidak pernah main tangan dalam mengajar anak ia hanya tidak senang bila anaknya menangis," ujar Lia. Kebahaiaan wamita yang hanya sempat duduk di kelas I SMA itu surut setelah anak ketiga, Arkie, lahir. Padahal, tutur Lia, waktu itu suaminya sudah mendapat pekerjaan yang lumayan sebagai manajer salah satu perusahaan film iklan. Hanya saja, di kecerahan kehidupan mereka itu, mengintip malapetaka: Santi, yang kemudian hidup bersama Tino, muncul. "Waktu itu Santi sering ke rumah, tapi saya tidak sampai berpikir yang tidak-tidak," ujar Lia. Rumah tangga menjadi suram. Tino jarang pulang. Waktu itulah ayah Lia datang dan menyuruh anaknya yang waktu itu lagi hamil anak keempat, Reza, pulang ke rumahnya di Bogor. Selama ia di Bogor, menurut Lia, Tino hanya sekali menjenguk. Itu pun untuk menjemput Anggie, untuk diserahkan kepada neneknya dari Tino, yang waktu itu tinggal di Depok, Bogor. Ketika Reza berusia 9 bulan, kata Lia, ia memboyongnya bersama Arkie dan Arie ke rumah ibu Tino di Depok. "Maksud saya, biar ia tahu bagaimana mengurus anak," ujar wanita yang mengaku pelayan restoran Jepang itu. Setelah itu, Juli 1982, baru mereka bercerai secara resmi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Machtino bertahan untuk tidak mengembalikan kedua anaknya itu kepada Dahlia. Lelaki yang mempunyai hobi boling dan anggota Orari itu mengaku mempunyai alasan yang sangat pribadi untuk tidak menyerahkan anaknya kepada Lia. Cita-cita Tino kini hanyalah mengasuh kembali anak-anaknya. "Tidak akan terulang lagi kejadian sedih itu," kata Tino, yang berniat mengurus semua sekolah anaknya sampai ke perguruan tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini