ANAK dalam gambar di sebelah ini dirantai ayah tirinya dengan tuduhan "menolak pekerjaan". Sebuah potret, yang agaknya jarang kita bayangkan. apalagi di tengah masyarakat Amerika kontemporer. Ketika D. Bakan menulis bukunya, Slaughter of the Innocents, 1971, ia memperkirakan paling tidak 250 ribu anak disiksa setiap tahun di seantero Amerika Serikat. Ia. ketika itu, dianggap mendramatisasikan persoalan. Barulah lima tahun kemudian orang mulai berpikir. Menurut laporan Amencan Humane Association (AHA) 1976, tahun itu tercatat 413 ribu kasus penganiayaan anak yang sampai ke penguasa lokal dan negara bagian. Angka itu naik menjadi 851 ribu pada 1981. Tahun lalu, AHA mencatat kenaikan 12%. Belum terhitung kasus yang tidak dilaporkan . Sebuah survei nasional yang dikutip D.G. Gil dalam bukunya Vlolence against Children, 1970, menunjukkan: 9,3 dari 100 ribu anak Amerika Serikat mengalami penganiayaan fisik sepanjang 1968. Setahun sebelumnya angka itu masih 8,4. Dan bentuk penganiayaan yang tercatat, masya Allah: "dicambuki, dihajar dengan kepala ikat pinggang, dibenamkan ke air, dimandikan dengan es, dipaksa menelan lada, meminum kencing, cuka, dan alkohol, dilaparkan." Padahal, perlindungan terhadap anak sudah diundangkan di New York pada 1875. Di Inggris, hukum yang sama dikukuhkan pada 1884, serentak dengan berdirinya Lembaga Nasional untuk Pencegahan Kekerasar terhadap anak-anak. Undang-undang yan ditetapkan di New York itulah yang kemudian menjadi model bagi negara bagiar dan banyak negeri di luar AS, dengan tujuar meletakkan penganiayaan anak sebagai tindak keiahatan. Di dalam sampel Gil, lebih dari tiga perempat anak yang teraniaya berumur sekitar dua tahun, sisanya di atas usia enam tahun. Catatan itu terdengar iebih pedih, karena anak yang lebih muda ternyata disiksa lebih keras dari rekannya yang lebih tua. Sisi lain: lebih banyak anak lelaki yang disiksa ketimbang perempuan. Tetapi, itu tidak berarti bahwa anak perempuan tidak mengalami bentuk siksaan yang paling keji. Linda Halliday, 37, dalam autobiografinya yang diberi judul The Silent Scream, menceritakan betapa ia secara teratur disetubuhi oleh ayah kandungnya, sejak ia berusia 16 tahun. Perlakuan yang sama diterima juga oleh ketiga saudara perempuannya. Linda berkali-kali mencoba bunuh diri, kemudian berpaling ke alkohol dan dunia pelacuran. Akhirnya, ia memilih untuk menuliskan pengalaman pahit itu, demi membangkitkan perhatian pada rekan-rekannya senasib, dan kini menetap di British Columbia. Pengalaman Sherry, 40, bahkan lebih pahit. Anak ini dicabuli ayahnya sejak berusia tiga tahun. Sebelum melaksanakan tindakan laknat itu, sang ayah biasanya menakut-nakuti Sherry dengan ancaman akan digantung, atau meletakkannya di dalam kotak yang mirip peti mati. Sherry tumbuh dengan kepribadian ganda. Ia akhirnya kawin, kemudian cerai, dengan seorang pria yang juga rajin menyiksa, dan dikarumai seorang anak lelaki. Sherry kini bekerja sebagai guru di Los Angeles. Selama 12 tahun ia menjalani terapi. "Sekali seminggu," katanya, "Aku duduk dan menangisi hal-hal yang tidak kumiliki pada masa kanak." Lalu, timbul pertanyaan: Siapakah sesungguhnya para penyiksa itu? "Setiap orangtua mempunyai kemampuan untuk menjadi algojo bagi anak-anaknya," kata Betty Singer, yang mengepalai tim trauma masa kanak pada Rumah Sakit Anak-Anak di Boston, AS. Sebuah penelitian di negeri itu membuktikan, penganiayaan anak-anak tidaklah semata-mata hak lapisan masyarakat yang lebih rendah. Memang, sebagian penganiaya bocah itu datang dari kelompok yang kurang mampu, kurang berpendidikan, dan kehilangan kesempatan kerja. Ada semacam anggapan yang juga menambah buruk keadaan, yaitu bahwa setiap orangtua berhak menghukum anaknya. Hukuman itu, kemudian, lebih - kerap bersifat fisik. Padahal, "Jarak antara hukuman fisik dan penganiayaan anak tidak terlalu jauh," kata Guy R. Lefrancois, penulis buku Of Children. Di Amerika Serikat, "kelainan mental" hanya terdapat pada 46,1% jumlah orangtua yang menganiaya anaknya. Sisanya, yang lebih banyak, justru hanya terdorong oleh ketidakmampuan menguasai kemarahan. Ditambah faktor masuknya orang ketiga ke dalam rumah ayah tiri, ibu tiri, atau sekadar teman hidup bersama - makin terancamlah keselamatan tubuh dan jiwa yang masih rapuh itu. Dalam banyak kasus, para orangtua penganiaya ternyata juga menderita pada masa kanaknya. Kasus Mary, 35, bisa dijadikan contoh. Sejak kecil anak ini dihajar ibu kandungnya - dengan tumit sepatu, ikat pinggang, atau alat pemeras kentang. "Ketika tetekku mulai tumbuh," katanya, "Ibu mendaratkan pukulan langsung di dada." Mary sendiri mulai menyiksa anaknya sejak berumur empat bulan. "Sekali waktu, cincin kawinku meninggalkan luka berdarah di pipinya yang lembut," kata perempuan ini. Ia bukannya tak menyesal. Tiap Minggu ia ke gereja, duduk di bangku pengakuan, dan mengakui dosa-dosanya. Tetapi, setelah itu, ia kembali menghajar anaknya. Untunglah, Mary menyadari kelainan ini. Ia mendatangi Parnts Anonymous, serikat yang mendamaikan persoalan antara orangtua dan anak. Setelah konsultasi dan "terapi" yang panjang, ia berhasil menguasai diri. "Angka pertumbuhan penganiayaan anak memang bisa bersifat geometris," kata Letnan Richard Willey, spesialis kasus penganiayaan anak pada Kantor Sheriff Los Angeles. "Jika seorangtua menyiksa empat anaknya, ia telah menciptakan potensl bagi lahirnya ernpat orangtua penyiksa di masa depan." I)an penyiksaan, ternyata, tidak harus selalu dalam bentuk fisik. Tidak adakah usaha yang bisa ditempuh untuk menyelamatkan anak-anak itu? "Pertama, sistem pendidikan kita haruslah diarahkan pada usaha mengubah sikap terhadap hukuman fisik," kata Gil. Setelah itu, usaha mengatasi kemiskinan hendaknya dilipatgandakan. Terakhir, barulah Gil memandang perlu campur tangan lembaga kesehatan dan penyakit mental.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini