LAKI-LAKI itu pernah menikahi 121 orang wanita. Namanya Ali
Nasib Nasution, umur 27 tahun, tinggi badan 159 cm, wajah
biasa-biasa saja -- malah boleh dikatakan tidak tampan. Namun
bila ia tersenyum kelihatan ada "sesuatu " di matanya yang sayu.
Menurut kepolisian Padang Sidempuan di Tapanuli Selatan
wanita-wanita yang pernah dinikahi Ali Nasib berumur antara 14 -
24 tahun. Dan rata-rata berwajah ayu. Tapi 93 di antara
wanita-wanita itu telah dicerai. Namun di samping 4 orang wanita
yang masih dipertahankan sebagai istri, 24 orang lainnya belum
dicerai Nasib secara resmi.
Pernah dua kali masuk bui, untuk urusan penipuan yang
berhubungan dengan wanita-wanitanya, Nasib juga disangka
bertanggungjawab terhadap 16 peristiwa kejahatan di Padang
Sidempuan sejak September hingga Januari lalu.
Cerita tentang kehebatan Nasib jadi buah bibir. Misalnya, baru
dua hari kenal, Nasib berhasil membujuk Sumiati untuk melarikan
diri dari keluarganya yang tinggal di Desa Simardona. Untung
orang kampung mencium siapa si Nasib, lalu mengeroyoknya. Nasib
melarikan diri. Ia masih sempat menggaet tape-recorder milik
pacarnya. Tapi orang kampung mengejar terus dan berhasil
meringkus Nasib di Desa Janji Raja, 11 km dari Padang Sidempuan
dan menyerahkannya kepada polisi 18 Januari lalu.
Ternyata Nasib memang bukan orang baru bagi polisi. Dua tahun
lalu ia pernah dihukum 10 bulan, karena menyerobot barang
perhiasan istrinya, Lamhasari, yang tiba-tiba ditinggalkannya
tanpa alasan. Sebelumnya Nasib juga pernah masuk bui 8 bulan.
Karena, menurut Danres Polri Tapanuli Selatan, Letkol. Pol.
Sukardi, setelah melarikan Sairah (14 tahun) dari Desa Aek
Libung, Nasib merenggut kegadisan dan perhiasan wanita itu,
kemudian menelantarkan korbannya di desa lain.
Kabar tentang nasib si Nasib ditahan polisi menggembirakan
banyak wanita dan bekas istrinya. "Lega hatiku," kata Soriati,
yang resminya masih istri Nasib -- entah yang ke berapa pula
dan, menurut Nasib sendiri, dari istri yang satu inilah ia
memperoleh satu-satunya anak -- sambil menggendong anak mereka
yang baru berusia 8 bulan. "Maunya disembelih polisi saja dia,"
lanjutnya. Pengalamannya selama tiga bulan di sisi Nasib,
katanya, sudah cukup membuatnya makan hati.
Celana Kolor
Tiga tahun lalu, ketika ia masih berumur 17 tahun, Soriati satu
oplet dengan Nasib dalam perjalanan pulang ke Salambue dari
Bange. "Saya masih ingat," tutur Soriati, "ia memakai jaket dan
celana Lee." Mereka belum saling kenal. Tapi Nasib, katanya,
senyum-senyum terus sambil berkali-kali menghembuskan asap rokok
ke mukanya. Sekarang Soriati menyangka ketika itulah Nasib
menancapkan mantra-mantra kepadanya. Buktinya, ketika Nasib
berkata "besok kau kujemput," Soriati mengangguk begitu saja.
Padahal, katanya, "saya tahu dia jelek, tapi entah kenapa, saya
mengiyakan saja apa katanya."
Besoknya Nasib langsung menawari Soriati kawin lari. Lagi-lagi
Soriati tak menolaknya. Mereka menikah di Simangabat. Lalu
kembali ke Salambue setelah, mau tak mau, orang tua Soriati
menerima Nasib sebagai menantunya. Dari mertuanya, Nasib
menerima sebuah rumah, sawah dan kebun karet. Mula-mula, menurut
Soriati, suaminya baik-baik saja: mau turun ke sawah dan
membelanjai istrinya dengan uang getah karet.
Tapi usia rumah tangga mereka tak lama. Perangai asli Nasib
mulai tampak. Penghasilan dari kebun karet mertuanya
dihabiskannya di meja judi. Pernah ia pulang hanya dengan
bercelana kolor saja karena kalah judi. Istrinya, yang juga
terjun ke sawah, tak mendapat uang belanja lagi. Yang paling
mengesalkan, kata Soriati, suaminya tak pernah shalat. Soriati,
katanya, baru bisa meninggalkan Nasib dan kembali ke rumah orang
tuanya setelah mandi air limau untuk melepaskan diri dari
guna-guna suaminya.
Nasib, seperti pengakuannya kepada TEMPO, memang merasa memiliki
semacam ilmu untuk menundukkan wanita. Yaitu dengan
mantra-mantra disertai hembusan asap rokok ke muka calon korban.
Itu, katanya, diperolehnya dari seorang dukun, almarhum
Jatautan, ketika ia berumur 17 tahun. Ia menuntut ilmu begituan,
katanya, karena sebelumnya merasa rendah diri terhadap
teman-teman sebayanya yang disenangi gadis-gadis. "Saya anak
keluarga miskin -- itulah soalnya," katanya. Penghasilannya
sebagai penyadap getah hanya cukup untuk makan dan rokok saja.
Selesai menuntut ilmu dari Jatautan di Kotanopan Rao, Nasib
membuka praktek pertama kali terhadap Hisma. Inilah istri
pertamanya. Tapi Nasib menceraikan Hisma karena, katanya,
istrinya tersebut tak mau mengikutinya tinggal jauh dari rumah
orang tuanya. Selanjutnya Nasib makin gemar meniupkan asap
rokoknya ke muka wanita-wanita yang menarik hatinya. Namun
perkawinan tampaknya selalu mengecewakannya. "Saya tak pernah
puas hidup berumahtangga," katanya, "karena istri saya selalu
ditarik orang tuanya."
Kegemarannya memikat perempuan menjadi-jadi. Tapi, katanya,
istrinya tak pernah mencapai 121 orang seperti digambarkan
polisi. "Yang saya ingat," ujar Nasib, "hanya 27 orang saja."
Dan 23 orang di antaranya telah diceraikannya sedang lainnya, 4
orang, belum dicerainya walaupun tidak lagi digaulinya. Ia
mengaku tak tahu apa artinya shahadat. Tapi ia fasih
melafaskannya di muka penghulu yang menikahkannya di sana-sini.
Ia membantah telah merampok perhiasan para istrinya. Ia,
katanya, memang ada menjual barang-barang milik istrinya. Tapi
menurut Nasib, semuanya digunakan untuk keperluan bersama: untuk
ongkos hidup dan termasuk "menebus" surat nikah pada penghulu.
Polisi mengumumkan apa dan siapa Nasib: eh, siapa tahu, masih
ada wanita lain yang mau menambah angka prestasi "arjuna" ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini