Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Beda Tafsir Rp 349 Triliun

Tiga lembaga pemerintah berbeda pandangan soal transaksi janggal Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan. Ada yang menutupi data.

2 April 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menko Polhukam/Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Mahfud Md didampingi Kepala PPATK Ivan Yustiavandana (kiri) saat menghadiri rapat dengar pendapat umum dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 29 Maret 2023. Tempo/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Mahfud Md. menjelaskan asal-usul transaksi janggal Rp 349 triliun kepada DPR.

  • Transaksi berlangsung selama 2009-2023.

  • Ada kasus penyelundupan emas yang ikut mencuat.

PERTEMUAN yang ditunggu-tunggu itu akhirnya terlaksana pada Rabu, 29 Maret lalu. Selama enam jam, Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat menggelar rapat dengar pendapat bersama Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Ivan Yustiavandana juga tampak hadir menemani Mahfud.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mahfud akhirnya memenuhi undangan DPR setelah ribut-ribut ihwal dugaan transaksi janggal di Kementerian Keuangan sebesar Rp 349 triliun sejak awal Maret lalu. DPR ingin meminta keterangan pria yang juga menjabat Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang tersebut. Ivan turut memberi penjelasan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tapi pertemuan itu tak mengungkap secara rinci siapa saja pelaku yang terlibat. Rapat tersebut justru dipenuhi debat panas antara Mahfud dan para anggota Komisi Hukum. Mahfud memastikan data tentang Rp 349 triliun valid. “Saya hanya mengumumkan secara agregat, jadi tidak menyebut nama orang dan akun,” katanya di sela-sela pertemuan.

Mahfud mengaku hanya menyebutkan nama pejabat Kementerian Keuangan yang pernah terjerat kasus korupsi, seperti bekas Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak, Angin Prayitno Aji. Mahfud juga menyenggol nama bekas Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Selatan II, Rafael Alun Trisambodo. 

Baca: Jerat Gratifikasi Pelakon Pandawa

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu mengungkap dugaan pencucian uang senilai Rp 349 triliun setelah kasus harta janggal Rafael Alun mencuat pada awal Maret lalu. Awalnya ia menyebut transaksi itu bernilai Rp 300 triliun. Belakangan, ia mengoreksi jumlah tersebut hingga menjadi Rp 349 triliun.

Mahfud pertama kali mengungkap dugaan transaksi janggal Rp 300 triliun itu lewat konferensi pers pada Rabu siang, 8 Maret lalu, di sela-sela lawatan kerjanya di Yogyakarta. Ia mengklaim kepemilikan data tersebut merupakan bagian dari tugasnya di Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Semua transaksi diduga berkaitan dengan pegawai Kementerian Keuangan. Ia mengantongi data tersebut pada Rabu pagi.

Kabar tersebut langsung bikin heboh. Saat itu sejumlah pejabat Kementerian Keuangan menjadi sorotan. Salah satunya Rafael Alun Trisambodo. Laporan kekayaan hartanya senilai Rp 53,5 miliar dianggap tak wajar dengan profilnya sebagai pegawai eselon III Direktorat Jenderal Pajak yang bergaji Rp 36-47 juta per bulan.

Beberapa jam kemudian, Mahfud melontarkan pernyataan tambahan. Ia mengatakan transaksi janggal Rp 300 triliun itu sudah disampaikan lewat surat-menyurat dari PPATK ke Kementerian Keuangan pada 2009. Tapi Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan tak pernah menindaklanjuti surat tersebut.

Merespons pernyataan Mahfud, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui pihaknya menerima 196 laporan dari PPATK dalam kurun 2009-2023. Tapi ia heran ihwal asal-usul angka Rp 300 triliun itu. Tak ada satu pun surat laporan yang mencantumkan dan menjelaskan angka Rp 300 triliun versi Mahfud. “Saya tidak pernah tahu transaksi itu hitungannya dari mana, apa saja, dan siapa saja,” ucap Sri Mulyani pada Ahad, 12 Maret lalu.

Polemik baru berakhir setelah Kepala PPATK Ivan Yustiavanda angkat suara dengan menyatakan transaksi janggal itu bukan hanya aktivitas pegawai Kementerian Keuangan. Transaksi itu juga berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi pengawasan Kementerian Keuangan.

Uang triliunan rupiah itu mencakup kasus-kasus yang melibatkan perusahaan yang berurusan dengan Direktorat Jenderal Pajak serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. “kasus-kasus itulah yang memiliki nilai luar biasa besar yang akhirnya disebut Rp 300 triliun,” tutur Ivan pada Selasa, 14 Maret lalu.

Polemik ini membuat Mahfud berjanji siap buka-bukaan. Ia berharap diundang Komisi Hukum DPR. Tapi ia tak akan mau mengungkap identitas di dalam transaksi janggal itu. Ia menjelaskan secara detail kronologi surat-menyurat yang berujung temuan transaksi janggal tersebut.

Ia menerangkan, penjelasan dokumen surat transaksi janggal Rp 349 triliun itu terbagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama berisi 65 surat yang memaparkan transaksi senilai Rp 253 triliun. Data ini berisi debit-kredit operasional perusahaan dengan transaksi terbesar Rp 189 triliun terkait dengan tugas fungsi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Direktorat Jenderal Pajak.

Kelompok kedua berisi 135 surat senilai Rp 22 triliun menyangkut korporasi dan pegawai. Sementara itu, kelompok ketiga berisi 100 surat yang dikirim ke aparat penegak hukum menyangkut Kementerian Keuangan senilai Rp 74 triliun.

Mahfud menduga ada bawahan Menteri Sri Mulyani yang menutup akses terhadap surat-surat tersebut. Akibatnya, Sri tidak pernah mengetahui ada laporan transaksi janggal yang berkaitan dengan Kementerian Keuangan.

Saat rapat bersama Komisi Keuangan DPR pada Senin, 27 Maret lalu, Sri Mulyani menegaskan transaksi janggal yang menyangkut pegawainya sudah didetailkan datanya. Nilainya hanya Rp 3,3 triliun dalam kurun 2009-2023, bukan Rp 349 triliun sebagaimana yang ramai beredar beritanya di publik.

Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) dan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait dugaan transaksi gelap karyawan Kemenkeu di Kantor Kemenkeu, Jakarta, 11 Maret 2023. Antara/Aditya Pradana Putra

Ia menjelaskan, sekitar Rp 253 triliun dari Rp 349 triliun yang disampaikan Mahfud merupakan transaksi korporasi. Jadi yang benar-benar berhubungan dengan Kementerian Keuangan yang menyangkut tugas pokok dan fungsi pegawai berasal dari 135 surat yang nilainya Rp 22 triliun. Tapi tidak semuanya berasal dari pegawai Kementerian Keuangan.

Dari Rp 22 triliun itu, terdapat transaksi berjumlah Rp 18,7 triliun yang menyangkut korporasi yang tidak ada hubungannya dengan pegawai Kementerian Keuangan. “Yang benar-benar terkait dengan pegawai Kemenkeu Rp 3,3 triliun selama belasan tahun itu, termasuk penghasilan resmi, transaksi keluarga, jual-beli aset, jual-beli rumah,” ujar Sri Mulyani.

Sri juga mengakui ada surat yang mencantumkan transaksi janggal berbagai perusahaan sebesar Rp 189 triliun. Tapi perkara ini sudah ditangani pegawai Kementerian Keuangan.

Rupanya, Sri sudah memiliki banyak informasi tentang transaksi Rp 349 triliun setelah mendapat pemaparan dari Kepala PPATK Ivan Yustiavandana di Kementerian Keuangan pada Selasa, 14 Maret lalu. Mahfud turut menerima kabar mengenai isi pertemuan itu.

Dalam rapat itu, Mahfud mengungkapkan, Sri Mulyani bertanya kepada anak buahnya ihwal transaksi janggal Rp 189 triliun oleh perusahaan yang diindikasikan menyangkut pegawai Kementerian Keuangan. Tapi anak buah Sri mengaku tak paham.

Mahfud menjelaskan, angka Rp 189 triliun adalah jumlah dugaan pencucian uang terkait dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai oleh 15 entitas. “Perusahaannya banyak, hartanya banyak. Padahal cukainya kurang. Tapi malah hanya pajaknya yang diusut,” ucapnya.

Ia membocorkan perusahaan tersebut bergerak di bidang impor emas batangan. Modus kecurangannya, perusahaan tersebut hanya mencantumkan impor emas mentah dalam manifes. Majalah Tempo pernah menulis kasus serupa di dalam artikel “Adu Fatwa Logam Mulia” pada edisi 14-20 Juni 2021. Dalam kurun 2019-2021, negara ditengarai merugi sekitar Rp 2,9 triliun akibat penyelundupan itu.

Mahfud menambahkan, PPATK sebenarnya sudah menyetorkan laporan hasil analisis itu ke Kementerian Keuangan pada 2017. Namun tidak ada tindak lanjut. “Diberikan tidak pakai surat karena ini sensitif,” tuturnya.

Ia juga menegaskan transaksi janggal yang menyangkut pegawai Kementerian Keuangan bukan sebesar Rp 3,3 triliun seperti klaim Sri Mulyani. Nilai sebenarnya mencapai Rp 35 triliun yang melibatkan 491 orang dari Kementerian Keuangan. Ia bahkan mengaku sudah memiliki nama di jaringan tersebut.

Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan pihaknya sudah berkali-kali menyetorkan laporan soal transaksi janggal senilai Rp 189 triliun ke Kementerian Keuangan. Ia juga sudah mengirimkan data pemeriksaan dari periode yang berbeda ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan. “Itu diabaikan. Jika kami kalkulasikan, Rp 360 triliun lebih,” katanya.

Ivan tak mau menyudutkan siapa pun. Ia hanya ingin menyampaikan fakta. Ia pun memastikan laporan kepada Kementerian Keuangan, selain mencantumkan nama pegawai, juga menyertakan perusahaan yang terlibat. 

PPATK memberikan nama plus perusahaan lantaran korporasi tersebut merupakan cangkang yang dimiliki oleh oknum pegawai Kementerian Keuangan. “Sehingga tidak bisa dipisahkan dari oknum tadi. Misal dia tidak pakai namanya atau anak ataupun istrinya, tapi pakai nama sopir, tukang kebun, dan segala macam. Modus pencucian uang selalu menggunakan proksi,” tutur Ivan.

Wakil Ketua Komisi Hukum Ahmad Sahroni mengaku berupaya mempertemukan Mahfud, Ivan, dan Sri Mulyani lantaran ada perbedaan data. Apalagi data yang disampaikan Sri Mulyani dan Komisi Keuangan berbeda dengan data yang disampaikan Mahfud di Komisi Hukum. Ia berjanji segera mengundang Sri Mulyani. “Perbedaan inilah yang akan coba kami damaikan,” ucapnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linda Trianita

Linda Trianita

Berkarier di Tempo sejak 2013, alumni Universitas Brawijaya ini meliput isu korupsi dan kriminal. Kini redaktur di Desk Hukum majalah Tempo. Fellow program Investigasi Bersama Tempo, program kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited dari Belanda, dengan liputan mengenai penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang melibatkan perusahaan multinasional. Mengikuti Oslo Tropical Forest Forum 2018 di Norwegia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus