Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ancaman karena bangkrutnya bank di Amerika Serikat serta krisis Credit Suisse di Swiss mulai reda.
Investor menilai Indonesia bisa menjadi tempat berlindung saat ketidakpastian melanda pasar finansial.
Aliran dana investor masuk, nilai tukar rupiah menguat.
PASAR keuangan global relatif mulai tenang pekan lalu. Ancaman karena bangkrutnya dua bank di Amerika Serikat serta krisis di Credit Suisse, Swiss, sepertinya sudah berlalu. Namun masih ada ketakutan yang mencekam pasar. Investor pun untuk sementara mengadopsi strategi mencari aman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal itu terlihat pada derasnya dana investasi yang mengalir masuk ke money market fund di Amerika Serikat, instrumen reksa dana yang tergolong paling aman karena menginvestasikan uang nasabahnya ke berbagai surat berharga berjangka pendek, likuid, dengan risiko paling rendah. Misalnya obligasi terbitan pemerintah Amerika atau korporasi bonafide yang memiliki peringkat utang terbaik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut data yang dikutip Financial Times, selama Maret lalu saja, ada dana senilai lebih dari US$ 286 miliar yang masuk ke sana, pindahan dari berbagai instrumen investasi lain yang lebih berisiko, seperti saham. Bahkan banyak juga pemilik deposito bank yang ikut memindahkan uangnya karena masih dilanda trauma melihat kebangkrutan bank Silicon Valley dan Signature yang begitu cepat.
Secara total, dana yang tersimpan di money market fund Amerika sudah mencapai rekor tertinggi, sekitar US$ 5,2 triliun, akhir Maret lalu. Bagi investor, berinvestasi di wahana ini sebetulnya tidak memberikan keuntungan optimal. Imbal hasilnya hanya sedikit lebih besar ketimbang bunga tabungan di bank. Namun, ketika ketakutan akan meledaknya krisis masih mencekam, imbal hasil kecil jelas terasa lebih baik ketimbang iming-iming profit besar dengan ancaman risiko yang jauh lebih besar.
Biasanya strategi mencari aman juga akan memukul pasar keuangan negara-negara berkembang. Banyak dana investasi yang kabur dari sini. Namun, tak seperti biasanya, kali ini Indonesia justru mendapat pengecualian. Investor global rupanya menilai pasar keuangan Indonesia masih dapat menjadi pilihan tempat berlindung manakala ketidakpastian melanda pasar finansial di mana-mana.
Ketika gonjang-ganjing pasar global berlangsung selama Maret lalu, tidak terjadi eksodus modal dari Indonesia. Sebaliknya, malah ada aliran dana investasi asing yang masuk ke Surat Berharga Negara dalam rupiah. Total nilainya hampir Rp 12 triliun. Jumlah dana asing yang parkir di sini naik dari Rp 799 triliun pada awal bulan menjadi Rp 811,7 triliun per 29 Maret. Di bursa saham, dana asing senilai neto Rp 2,9 triliun juga mengalir masuk.
Secara nilai nominal, kenaikan ini mungkin belum terasa besar. Namun masuknya dana asing, berapa pun nilainya, merupakan sinyal positif yang penting bagi Indonesia. Ketika investor global masih tercekam kecemasan, justru ada pengelola dana yang mencari perlindungan di sini sembari mengejar imbal hasil yang lebih baik ketimbang hasil investasi di money market fund Amerika Serikat.
Masuknya dana asing juga tecermin pada menguatnya kurs rupiah selama Maret lalu. Nilai rupiah terapresiasi 1,95 persen, dari 15.250 per dolar Amerika di awal bulan menjadi 14.995 di akhir Maret. Dus, dalam jangka pendek, pasar finansial Indonesia memang masih aman dari gejolak pasar global. Bahkan boleh dibilang kita mendapatkan benefit dari ketakutan investor.
Namun perjalanan pasar tentu tak akan berhenti hanya dalam jangka pendek. Ketidakpastian masih sangat dalam. Bisa jadi akan ada gempa susulan yang muncul di industri perbankan, entah di negara mana. Bahkan bisa juga gonjang-ganjing yang sepertinya sudah usai ini sebetulnya baru awal dari letupan krisis yang jauh lebih besar. Otoritas keuangan di berbagai negara untuk sementara memang berhasil menenangkan pasar. Tapi tak ada seorang pun yang berani memastikan situasi terburuk sudah benar-benar berlalu.
Satu parameter yang paling kasatmata adalah inflasi tinggi di berbagai negara yang tak kunjung melunak meskipun bunga sudah naik cukup tinggi beberapa kali. Akibatnya, fokus kebijakan bank sentral masih harus terbelah, antara menjaga stabilitas sistem keuangan dan pasar atau menanggulangi inflasi. Ini dilema yang menakutkan dan sama-sama bisa menjerumuskan kita ke krisis. Ke mana pun akhirnya bank sentral mengarahkan fokus kebijakan, konsekuensinya akan sama saja: pasar kembali guncang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo