Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Asam Ranji di Rumah Goenawan

Hampir 20 tahun Goenawan Mohamad hidup di rumahnya yang kini disita pengadilan. ”Saya tak cemas. Tapi saya siap untuk kecewa,” tuturnya.

5 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga pohon asam ranji mengacung di halaman rumah Goenawan Mohamad yang tak luas. Batang-batang yang besar dan kukuh. Tingginya telah lebih dari tiga meter dengan ranting yang banyak dan telah bertabrakan satu sama lain. ”Bibitnya saya bawa dari kampung saya di Batang, Jawa Tengah. Saya dan istri saya menanamnya ketika kami baru pindah ke rumah ini,” kata Goenawan Mohamad, 62 tahun.

Hujan baru saja reda di rumah sederhana di kawasan Tanah Mas, Jakarta Timur itu. Udara tak dingin. Angin datang membawa bau tanah basah dan sisa air hujan. Beberapa wartawan televisi yang mewawancarai redaktur senior Majalah TEMPO itu telah lama pulang. Malam belum terlalu larut. Goenawan Mohamad, yang mengenakan kemeja warna hitam, memandang ke atas, ke arah pucuk pohon asam ranji. ”Setiap orang yang menanam ingin melihat pohon yang ditanamnya menjadi besar,” katanya lirih.

Ketiga pokok pohon itu memang telah membubung. Tapi boleh jadi Goenawan tak akan pernah memilikinya lagi. Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin pekan lalu, menyita rumah itu sebagai jaminan atas kasus penghinaan yang membelitnya. Ia dituding bersalah karena mengatakan Indonesia tak boleh jatuh ke tangan preman dan Tomy Winata—pengusaha yang kini beperkara dengannya.

Semuanya terjadi begitu saja. Senin itu, sang esais sedang rapat di Yayasan Lontar—sebuah lembaga yang menerbitkan buku-buku sastra terjemahan—ketika petugas pengadilan datang. Mereka berseragam: mencatat, dan membacakan surat tanda rumah itu dibeslah. Tak ada orang di rumah kecuali dua pembantu dan seorang sopir. Widarti, istri Goenawan, sedang berada di Budapest, Hongaria, untuk sebuah tugas. Kedua anak Goenawan yang sudah dewasa sudah tak lagi tinggal di rumah itu. Di luar, sejumlah wartawan dan tetangga masih berkerumun.

Dibeli hampir 20 tahun lalu, rumah itu adalah sehimpun kenangan buat Goenawan. ”Harganya sekitar Rp 120 juta,” ujarnya. Rumah itu tak besar. Tanahnya 400 meter dengan bangunan 300 meter persegi. Rumah itu lalu dirombak: langit-langitnya ditinggikan agar udara lebih bebas bergerak. Dinding tebal yang kaku diganti dengan pintu geser berkaca buram agar tak menghabiskan tempat. ”Saya dibantu arsitek bernama Suwarno Supeno. Tapi ia tak mau dibayar. Gratis,” kata Goenawan, tersenyum.

Rumah di Tanah Mas adalah persinggahan kesekian dalam hidup Goenawan Mohamad selama di Jakarta. Ketika muda, ia kos dari satu pondokan ke pondokan yang lain. Ia pernah tinggal di rumah Salim Said, almarhum Zainal Sakse, Wiratmo Sukito, dan penyair Hartojo Andang Jaja. Sehabis menikah dengan Widarti pada 1968, ia mengontrak di Pasar Genjing, Jakarta Timur. ”Rumah itu bocor sehingga kalau hujan harus kami tadahi payung,” katanya. Tahun 1971, Goenawan membeli rumah di Kompleks PWI Cipinang Muara, Jakarta Timur. Setelah bermukim di sana lebih dari 10 tahun, keluarga Goenawan pindah ke Tanah Mas karena menganggap rumah lama mereka terlalu sempit.

Dua puluh tahun berlalu, dan kini rayap menggerogoti atap rumah ”baru” mereka. Langit-langit ruang tamu tampak terbuka, tanda sedang diperbaiki.

Tak ada yang istimewa dengan rumah bercahaya redup tersebut. Ruang tamu nyaris tanpa perabot. Hanya ada seperangkat kursi tamu, lemari kuno, beberapa reproduksi lukisan Picasso, sebuah lukisan Nashar yang kertasnya sudah menguning, gambar Tisna Sanjaya, dan patung karya Anusapati. Bufet besar di ruang keluarga hanya diisi sedikit buku, beberapa suvenir, dan televisi yang jarang berbunyi. Debu tipis menyelimuti pelbagai perabot. ”Sejak semula tak ada yang berubah dalam rumah ini,” kata Goenawan.

Di sebelah kiri pintu masuk terdapat tiga kamar yang tak besar. Satu di antaranya adalah kamar tidur Goenawan. Di dalamnya terdapat dipan berukuran sedang dengan seprai putih. Dua bantal lurik tanpa sarung tergeletak di arah kaki. Di dekatnya terdapat keranjang pakaian bersih. Lalu, ada foto-foto kecil yang ditempel pada sebuah papan kayu lunak yang terletak di belakang pintu. Ada foto kedua anak Goenawan di masa kanak-kanak—Hidayat Jati dan Paramita—foto Goenawan dengan sahabatnya Marsilam Simanjuntak, potret Goenawan muda dengan pipi yang penuh bulat dan tak bermisai. Agak ke luar, terdapat kamar mandi dengan wastafel yang berkarat dan keran air panas yang airnya tak lagi mengucur.

Goenawan lalu mengenang. Di ruang tamu, pada 1994, beberapa petinggi TEMPO pernah berapat untuk membahas masa depan majalah mereka yang baru saja dibredel. Beberapa hari sebelumnya, tawaran datang dari pengusaha Hashim Djojohadikusumo, yang menjanjikan bisa mengupayakan TEMPO hidup kembali. ”Tapi, syarat yang mereka ajukan, mereka harus bisa mengatur isi redaksi,” kata GM. Tawaran itu ditolak. ”Lebih baik,” kata Goenawan, ”kami mati secara terhormat.”

”Ayo makan,” kata GM tiba-tiba kepada beberapa wartawan yang hadir malam itu. Di meja telah tersaji nasi putih, ikan goreng, kerupuk, dan sayur. ”Barangkali ini jamuan saya yang terakhir di rumah ini,” tuturnya setengah bergurau. Di dekat meja makan terdapat beberapa lemari dan meja antik. Agak ke depan, terlihat taman Jepang kecil yang tak terurus.

”Saya selalu ingin pulang ketika sedang capek atau kangen makanan rumah,” katanya. Jika sedang sibuk, ia sesekali menginap di kantornya di Teater Utan Kayu, Jakarta Timur.

Jika di rumah, Goenawan mengaku jarang tidur di kamarnya sendiri. Sehari-hari ia lebih asyik di perpustakaan merangkap kamar kerjanya, yang terletak di lantai dua. Inilah ruangan yang paling ”hidup” di rumah itu. Kamar dengan dinding yang ditumbuhi buku. Lantai kayu berlapis karpet lusuh yang tertimbun oleh berbagai kitab. Di bawah jendela kaca terdapat tempat tidur seukuran badan dengan kasur dingin berlapis seprai biru. Di sinilah Goenawan biasa merebahkan badan. Sesungguhnya ia tak pernah benar-benar tidur. ”Saya cuma terlelap sebentar-sebentar,” katanya.

Hidupnya memang tak teratur. ”Bapak bisa pulang pukul empat pagi, tidur pukul lima, lalu minta dibangunkan pukul 6.30 WIB,” kata Bubun, sopir Goenawan, yang setia mengantar ke mana dia pergi. Jumat malam dipastikan ia akan melek sampai pagi karena menulis Catatan Pinggir, kolom tetapnya di Majalah TEMPO. ”Di kamar inilah banyak puisi saya yang lahir,” kata Goenawan.

Di perpustakaan pribadi itu, di antara tumpukan buku yang lusuh, terselip lukisan pensil wajah GM hasil karya Hidayat Jati, anaknya. Goenawan mencintai Jati, yang telah memberinya seorang cucu perempuan. Pada 1976, ia pernah menulis sajak untuk sang putra:

Tiap tengah malam hujan mendarat
Pada atap anak yang mimpi
Tentang seorang pilot, tanpa pesawat
Di atas sawah dan pagi hari

Cemas itu, nak, memang telah jadi umum
dan akan sampai pula kemari
nah, rapikan rambutmu sebelum kucium
dengan tangkai daun yang telah lama mati

Cemaskah kini Goenawan menghadapi prahara yang menimpanya? Ia mengaku tidak. ”Saya memang tak tahu akan pindah ke mana jika rumah ini jadi disita. Tapi saya telah siap untuk kecewa,” katanya. Ia tersenyum, matanya menyipit. Lalu, sekali lagi, ia tengadah menatap pucuk pohon asam ranji.

Arif Zulkifli

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus