PENGIDAP narkotika kini diancam lebih berat. Siapa yang
tertangkap akan dikirim ke Pulau Pari dan Pulau Edam di
Kepulauan Seribu. Tidak hanya dia tapi juga -- orangtuanya
bakal kena hukuman berat. Apalagi bila orangtuanya pegawai
negeri. Ulah sang anak akan mempengaruhi jabatan dan kenaikan
pangkat orangtuanya. "Bagaimana bisa mimpin batalyon kalau
ngatur anaknya saja tidak bisa", kata Laksamana Sudomo Kepala
Staf Kopkamtib dalam jumpa pers Selasa minggu lalu. Artinya
tanggung jawab orangtua dituntut lebih banyak. Ia harus ikut
memikul biaya perawatan jika ternyata biaya yang disediakan
pemerintah dan dermawan belum cukup. Biaya perawatan sehari
sekitar Rp 7 ribu sampai Rp 10 ribu. "Jangka waktunya 6 bulan.
Itu kalau. sembuh", kata Sudomo.
Mengapa dipilih Pulau Seribu? Selain memudahkan pengawasan juga
secara teknis medis sesuai. Sistim isolasi ini menurut Sudomo
seperti yang ada dalam fim seri Hawaii Five-O di televisi. Di
Pulau Pari dan Edam akan dibikin asrama dan Pusat Kesehatan
Mental persis seperti Rumah Sakit Fatmawati. Selain minta
perhatian orangtua agar secara khusus mengawasi anak-anaknya,
Sudomo juga mengharap info dari masyarakat luas. Menurut Sudomo
kini masih ada saja "gang-gang" yang mempengaruhi anak-anak
dengan memberi bahan narkotika secara gratis. Setelah kecanduan
mereka tidak akan lagi mendapat narkotika cuma-cuma. Empat tahun
yang lalu "gang-gang" di Jakarta telah menyatakan membubarkan
diri di depan Kepala Daerah Kepolisian Metro Jaya, waktu itu,
Mayor Jenderal Polisi drs. Widodo Budidarmo.
Widodo yang kini Kepala Kepolisian RI dan berpangkat Letnan
Jenderal. sejak 21 April sampai 3 Juni yang lalu dengan anak
buahnya melancarkan Operasi Gurita. Yang terkena jaring 239
pengedar narkotik. Ada orang asing dan ada orang Indonesia
asli. Mereka akan dikenakan PNPS 11 tahun 1963, peraturan
mengenai tindak pidana subversi sebab Ordonansi Obat Bius tahun
1927, ancaman hukumannya ringan sekali. Itu saja dasar hukum
yang bisa dipakai sementara menunggu disahkannya Undang-Undang
Narkotika yang baru oleh DPR. Jaksa Agung Ali Said SH
mengharapkan agar pembahasan RUU itu oleh wakil-wakil rakyat
tidak berkepanjangan.
RUU tersebut memuat ancaman hukuman mati, seumur hidup dan 20
tahun penjara. Memang dirancang berat hukumannya supaya selaras
dengan akibat yang ditimbulkan penyalahgunaan narkotika. "Supaya
ada efek preventif", ujar Ali. Said. Menurut Jaksa Agung
"represi (penindakan) yang baik adalah yang bisa menimbulkan
daya prevensi (pencegahan)". Walaupun RUU itu belum disahkan,
hukuman cukup berat pernah dijatuhkan kepada seorang wanita
penyelundup, Tja Ah Moy, yang tertangkap basah di Lapangan
Terbang Halim Perdanakusuma dengan barang bukti morfin. Jaksa
yang menuntut Tja Ah Moy cukup beruntung karena tuntutannya 20
tahun untuk terdakwa ternyata dikabulkan oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Utara/Timur (TEMPO, 2 Agustus 1975). Hukuman yang cukup
berat itu dimungkinkan setelah majelis hakim yang dipimpin
Bismar Siregar SH melihat betapa hebat penderitaan seorang yang
ketagihan morfin. Selama proses peradilan Tja Ah Moy, para
penegak hukum mendapat suguhan film dokumenter yang melukiskan
seorang gadis ketagihan narkotika di Jakarta . Gadis tadi
dikenal sebagai Ratu Morfinis. Dalam waktu dekat ia akan
diajukan ke Pengadilan. Tapi ada satu hal yang menarik tentang
sang ratu morfinis ini. Ia ditahan di Wisma Pamardi Siwi. Namun
selama penahanan tadi ia sempat berbadan dua. Sayang
kandungannya yang sudah beberapa bulan itu kini telah
digugurkan.
Operasi Gurita yang menelan biaya Rp 200 juta tadi menurut
Widodo minimal untuk mengurangi peredaran gelap narkotika.
Maksimal mengetahui jaringan dan menghancurkannya, sekaligus
memancing sambutan masyarakat. Dari operasi itu terlihat cukup
bukti bahwa Indonesia akan dijadikan batu loncatan lalu lintas
gelap narkotika. Baik Sudomo, Ali Said mauplln Widodo khawatir
bila itu terjadi karena akan merusak sendi-sendi kehidupan.
Presiden Suharto sendiri menganggap bahaya narkotika ini lebih
berat daripada penyelundupan. Sebab yang terkena kebanyakan
anak-anak muda. "Kalau addictnya (pengidapnya) sebaya saya....
biarlah mampus", ujar Ali Said yang menyayangkan bila anak muda
kerasukan narkotika .
Dipinjam Jaksa
Mudah-mudahan saja tidak ada yang mampus di Pulau Pari dan Edam.
Sebab barangkali ucapan Ali Said secara blak-blakan itu sekedar
cara untuk melukiskan betapa gawat bahaya narkotika yang sudah
menjadi masalah nasional dan internasional. Namun belum jelas
apakah kedua pulau kecil di Pulau Seribu itu nantinya akan
menjadi tempat pengasingan bagi pengidap narkotika dari seluruh
Indonesia. Baik yang tertangkap di Aceh, misalnya, atau di
Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya. Yang jelas soal bahaya
narkotika ini, kata Menteri Penerangan Mashuri SH, tidak bisa
ditangani pemerintah saja. Perlu kerjasama antara pemerintah dan
masyarakat.
Sayang kerjasama instansi-instansi yang bertugas menanggulangi
penyalahgunaan narkotika ini sekarang belum rapi. Ini pendapat
seorang perwira menengah di Komdak Jakarta. Contohnya banyak
tersangka yang belum selesai dibikin berita acaranya oleh polisi
sudah dipinjam jaksa untuk keperluan di tempat lain. Sistim bon
ini ternyata hanya batu loncatan untuk mengeluarkan tersangka
dari tahanan. Menurut perwira itu ia tinggal capai saja bikin
surat kepada jaksa untuk meminta tersangka yang dibon itu. Dalam
hal tersangka dan berita acaranya sudah diserahkan kepada jaksa,
perwira itu tutup mata bila tersangka dikeluarkan sebelum disi
dangkan. Sebab itu memang hak jaksa. Tapi untuk tersangka yang
masih di tangan polisi ia prihatin bila dipinjam jaksa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini