GADIS-GADIS Mentawai yang berkulit kuning dan bermata agak sipit
itu, pada usia amat muda ternyata telah mengenal kehidupan
seksuil. Tentu saja hubungan kelamin itu bukan dalam arti resmi,
atau dalam ikatan pernikahan. Itu biasanya mereka lakukan di
hutan-hutan. Dengan pemuda yang mereka cintai atau tidak.
Perbuatan tersebut, tampaknya dipandang lumrah. Bahkan jadi
kebanggaan para gadis remaja tersebut. Hingga, bila para gadis
remaja berumur sekitar 12-13 tahun itu berkumpul sesamanya -- di
sekolah-sekolah misalnya --, mereka akan saling berkisah tentang
pengalaman mengasyikkan masing-masing.
Seorang guru wanita asal Jawa Tengah misalnya, menuturkan kepada
TEMPO bahwa setelah bisa memahami bahasa Mentawai, ia jadi
kaget karena tahu apa yang diobrolkan gadis-gadis SD muridnya
itu. "Mereka dengan bangga bercerita tentang pengalaman seksuil
masing-masing", tutur guru yang mengajar di SD di Kecamatan
Siberut Selatan itu. Menurut encik guru tersebut, obrolan
tersebut merangsang gadis lain yang belum berpengalaman. Kata
encik guru lagi, "biasanya gadis-gadis yang telah punya
pengalaman seksuil itu sering membolos. Bahkan akhirnya tidak
masuk sekolah sama sekali. Karena hamil? Tak jelas.
Tampaknya hubungan kelamin sebelum kawin bukan perbuatan tercela
dalam masyarakat Mentawai. Sebelum agama Kristen dan Islam masuk
ke kepulauan ini, telah dikenal istilah lalep dan rusuk. Lalep
adalah suami isteri yang telah resmi dan tinggal dalam satu
rumah di sekitar huma atau rumah induk. Sedang rusuk adalah
suami istri yang belum kawin secara resmi dan tinggal dalam satu
rumah di sekitar huma tadi.
Manakala seorang pemuda telah berusia 16 atau 17 tahun, mereka
mulai punya hubungan intim dengan gadis remaja dan kemudian
tinggal dalam satu rumah sebagai suami isteri yang belum resmi.
Peresmian seringkali baru terjadi, setelah hubungan rusuk
berlangsung lama dan pasangan itu melahirkan beberapa orang
anak. Dan si laki-laki telah mampu menyediakan babi, kuali dan
kain belacu untuk 'membeli' wanita itu dari ayahnya. Tentu saja
laki-laki tersebut juga harus mampu mengadakan upacara
perkawinan secara besar-besaran. Atau sering juga terjadi
hubungan rusuk itu tak berlanjut jadi hubungan lalep, karena
rupa-rupa alasan. Misalnya karena si laki-laki kurang mampu
mengumpulkan kekayaan atau karena terjadi persengketaan.
Sang ikan
Kebiasaan tersebut tidak dengan sendirinya hilang, meski
penduduk Mentawai meninggalkan agama asli mereka -- yang agaknya
mengizinkan persetubuhan di luar nikah itu -- yang disebut
Sabulungan dan menganut agama Islam atau Kristen. Meski kemudian
mengganti rusuk dengan masa pertunangan, toh, praktek hubungan
kelamin sebelum kawin itu tak lenyap begitu saja.
Tampaknya kebiasaan tersebut ada hubungannya dengan upacara
lalep, yang menuntut syarat tak mudah dipenuhi berupa
pengumpulan harta dan keperluan rumah tangga sebagai alat
"pembeli" si gadis. Di samping itu perkawinan resmi atau lalep
dalam masyarakat Mentawai yang patrilineal dan patriarchaat
menempatkan sang isteri pada posisi yang menyebabkan harus
menderita dan bekerja keras. Karena si suami beranggapan bahwa
isterinya adalah perempuan yang "telah dibeli" dari ayahnya
dengan babi, kuali dan kain belacu. Si isteri berkewajiban
mencari ikan ke laut atau sungai, memasak dan tentu saja
memelihara anak. Suami hanya bertugas mencari sagu dan berburu
ke hutan.
Ikan adalah makanan penting orang Mentawai. Biasanya si
perempuan (yang telah bersuami tadi) turun dari rumahnya pada
waktu dinihari, ketika suami dan anak-anaknya masih tidur
nyenyak. Mereka pergi ke muara sungai atau laut buat menjala
atau menangguk ikan. Ia harus berada kembali di rumahnya sebelum
suami dan anak-anak bangun pagi. Ikan-ikan yang diperoleh pagi
itu dimasak untuk hari itu. Siang atau sore hari mereka kembali
menangkap ikan.
Bagaimana kalau mereka tak berhasil menangkap ikan? Atau
penghasilannya sedikit? Si suami akan marah. Berikut kata-kata
makian menyembur-nyembur dari mulut si laki-laki. Tak jarang
disertai dengan siksaan oleh sang suami. Sebaliknya bila
perolehan si perempuan ternyata lebih dari biasa. Sang suami
akan cemburu dan curiga. Si suami akan menuduh si perempuan
punya laki-laki lain sebagai gendak.
Untuk mencegah keonaran seperti itu, biasanya
perempuan-perempuan Mentawai pergi mencari ikan secara
berombongan. Sekiranya ada seorang di antara mereka yang
bernasib sial, tak mendapat ikan, maka perempuan yang lain akan
memberikan sebagian pendapatannya. Dan kalau ada yang terlalu
banyak mendapat ikan pun mereka dengan sendirinya akan
memberikannya kepada yang lain.
Ada akibat lain yang menarik juga dari perlakuan kasar suami
terhadap istri itu. Yaitu menyebabkan para isteri yang
diperlakukan bengis itu bersikap ramah terhadap setiap laki-laki
pendatang. Dan selanjutnya hubungan-hubungan gelap dengan para
pendatang -- yang biasanya terdiri dari para buruh perusahaan
kayu yang kini cukup banyak terdapat di Mentawai itu -- banyak
terjadi. Tentu saja laki-laki penikmat hubungan gelap dengan
gadis Mentawai itu dengan senang hati membayar 'servis' yang
diberikan si wanita -- yang memang sudah biasa dilakukannya itu.
Dan dengan bayaran yang diterimanya itu si perempuan tak perlu
berendam di sungai atau laut. Sebab para wanita itu bisa
membeli ikan, tembakau dan garam serta keperluan lainnya. Dan
mempersembahkannya kepada uami dan anak-anaknya. Tak diketahui
jelas bagaimana sikap si suami bila ia mengetahui perbuatan si
isteri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini