Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Wanita mentawai dan sex

Kehidupan wanita mentawai, tentang kebiasaan telah mengenai hubungan kelamin sebelum menikah. disebut hubungan rusuk kemudian hubungan lalep. jika resmi suami-istri, sistem perkawinan patrilineal. (ils)

19 Juni 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GADIS-GADIS Mentawai yang berkulit kuning dan bermata agak sipit itu, pada usia amat muda ternyata telah mengenal kehidupan seksuil. Tentu saja hubungan kelamin itu bukan dalam arti resmi, atau dalam ikatan pernikahan. Itu biasanya mereka lakukan di hutan-hutan. Dengan pemuda yang mereka cintai atau tidak. Perbuatan tersebut, tampaknya dipandang lumrah. Bahkan jadi kebanggaan para gadis remaja tersebut. Hingga, bila para gadis remaja berumur sekitar 12-13 tahun itu berkumpul sesamanya -- di sekolah-sekolah misalnya --, mereka akan saling berkisah tentang pengalaman mengasyikkan masing-masing. Seorang guru wanita asal Jawa Tengah misalnya, menuturkan kepada TEMPO bahwa setelah bisa memahami bahasa Mentawai, ia jadi kaget karena tahu apa yang diobrolkan gadis-gadis SD muridnya itu. "Mereka dengan bangga bercerita tentang pengalaman seksuil masing-masing", tutur guru yang mengajar di SD di Kecamatan Siberut Selatan itu. Menurut encik guru tersebut, obrolan tersebut merangsang gadis lain yang belum berpengalaman. Kata encik guru lagi, "biasanya gadis-gadis yang telah punya pengalaman seksuil itu sering membolos. Bahkan akhirnya tidak masuk sekolah sama sekali. Karena hamil? Tak jelas. Tampaknya hubungan kelamin sebelum kawin bukan perbuatan tercela dalam masyarakat Mentawai. Sebelum agama Kristen dan Islam masuk ke kepulauan ini, telah dikenal istilah lalep dan rusuk. Lalep adalah suami isteri yang telah resmi dan tinggal dalam satu rumah di sekitar huma atau rumah induk. Sedang rusuk adalah suami istri yang belum kawin secara resmi dan tinggal dalam satu rumah di sekitar huma tadi. Manakala seorang pemuda telah berusia 16 atau 17 tahun, mereka mulai punya hubungan intim dengan gadis remaja dan kemudian tinggal dalam satu rumah sebagai suami isteri yang belum resmi. Peresmian seringkali baru terjadi, setelah hubungan rusuk berlangsung lama dan pasangan itu melahirkan beberapa orang anak. Dan si laki-laki telah mampu menyediakan babi, kuali dan kain belacu untuk 'membeli' wanita itu dari ayahnya. Tentu saja laki-laki tersebut juga harus mampu mengadakan upacara perkawinan secara besar-besaran. Atau sering juga terjadi hubungan rusuk itu tak berlanjut jadi hubungan lalep, karena rupa-rupa alasan. Misalnya karena si laki-laki kurang mampu mengumpulkan kekayaan atau karena terjadi persengketaan. Sang ikan Kebiasaan tersebut tidak dengan sendirinya hilang, meski penduduk Mentawai meninggalkan agama asli mereka -- yang agaknya mengizinkan persetubuhan di luar nikah itu -- yang disebut Sabulungan dan menganut agama Islam atau Kristen. Meski kemudian mengganti rusuk dengan masa pertunangan, toh, praktek hubungan kelamin sebelum kawin itu tak lenyap begitu saja. Tampaknya kebiasaan tersebut ada hubungannya dengan upacara lalep, yang menuntut syarat tak mudah dipenuhi berupa pengumpulan harta dan keperluan rumah tangga sebagai alat "pembeli" si gadis. Di samping itu perkawinan resmi atau lalep dalam masyarakat Mentawai yang patrilineal dan patriarchaat menempatkan sang isteri pada posisi yang menyebabkan harus menderita dan bekerja keras. Karena si suami beranggapan bahwa isterinya adalah perempuan yang "telah dibeli" dari ayahnya dengan babi, kuali dan kain belacu. Si isteri berkewajiban mencari ikan ke laut atau sungai, memasak dan tentu saja memelihara anak. Suami hanya bertugas mencari sagu dan berburu ke hutan. Ikan adalah makanan penting orang Mentawai. Biasanya si perempuan (yang telah bersuami tadi) turun dari rumahnya pada waktu dinihari, ketika suami dan anak-anaknya masih tidur nyenyak. Mereka pergi ke muara sungai atau laut buat menjala atau menangguk ikan. Ia harus berada kembali di rumahnya sebelum suami dan anak-anak bangun pagi. Ikan-ikan yang diperoleh pagi itu dimasak untuk hari itu. Siang atau sore hari mereka kembali menangkap ikan. Bagaimana kalau mereka tak berhasil menangkap ikan? Atau penghasilannya sedikit? Si suami akan marah. Berikut kata-kata makian menyembur-nyembur dari mulut si laki-laki. Tak jarang disertai dengan siksaan oleh sang suami. Sebaliknya bila perolehan si perempuan ternyata lebih dari biasa. Sang suami akan cemburu dan curiga. Si suami akan menuduh si perempuan punya laki-laki lain sebagai gendak. Untuk mencegah keonaran seperti itu, biasanya perempuan-perempuan Mentawai pergi mencari ikan secara berombongan. Sekiranya ada seorang di antara mereka yang bernasib sial, tak mendapat ikan, maka perempuan yang lain akan memberikan sebagian pendapatannya. Dan kalau ada yang terlalu banyak mendapat ikan pun mereka dengan sendirinya akan memberikannya kepada yang lain. Ada akibat lain yang menarik juga dari perlakuan kasar suami terhadap istri itu. Yaitu menyebabkan para isteri yang diperlakukan bengis itu bersikap ramah terhadap setiap laki-laki pendatang. Dan selanjutnya hubungan-hubungan gelap dengan para pendatang -- yang biasanya terdiri dari para buruh perusahaan kayu yang kini cukup banyak terdapat di Mentawai itu -- banyak terjadi. Tentu saja laki-laki penikmat hubungan gelap dengan gadis Mentawai itu dengan senang hati membayar 'servis' yang diberikan si wanita -- yang memang sudah biasa dilakukannya itu. Dan dengan bayaran yang diterimanya itu si perempuan tak perlu berendam di sungai atau laut. Sebab para wanita itu bisa membeli ikan, tembakau dan garam serta keperluan lainnya. Dan mempersembahkannya kepada uami dan anak-anaknya. Tak diketahui jelas bagaimana sikap si suami bila ia mengetahui perbuatan si isteri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus