Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Santai orang jawa

Lomba mocapat nasional babak final, diikuti 10 peserta pilihan, dari 327 peserta yang tersisih. diadakan di flores room hotel borobudur. mocapat dikenal sebagai seni tambang warisan zaman majapahit. (ms)

19 Juni 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGGALIAN kultur pribumi mulai beralih ke ruang-ruang mewah dan terhormat. Dapat dimaklumi usaha ini memang dipuji -- kan mahal, dan hampir merupakan kesibukan orang-orang paling terhormat di Republik ini. Demikianlah 3 Juni yang lalu di Flores Room Hotel Borobudur, yang sejuk dan parlente, telah diangkat seni Macapat yang menurut Profesor Purbatjaraka almarhum di majalah Jawa tahun 1940 -- adalah seni tembang yang tumbuh pada zaman Majapahit tatkala pengaruh kebudayaan Hindu di kalangan masyarakat Jawa mulai sirna. Sastra kakawi yang bergaya sastra Sansekerta dan kurang sesuai dengan sifat bahasa Nusantara, tidak digemari lagi. Orang menoleh kepada mapacat yang berbentuk puisi dengan aturan-aturan tertentu, dan kemudian dikenal sebagai tembang-tembang Dandaggula, Sinom, Pangkur, Mijil, Asmarandana, Durma, Kinanti, Gambuh, Pucung, Megatruh dan Maskumambang. Tersohorlah pujangga seperti R.Ng. Yasadipuraatau R.Ng. Ranggawarsita. Getuk lindri, arem-arem, mete goreng serta juga teh poci dengan gula batu yang biasanya hanya dijumpai pada masyarakat pribumi, khususnya Jawa, ikut disajikan. Malam santai itu dinamakan'Lomba Macapat Nasional -- Babak final diikuti oleh 10 lelaki dan perempuan pilihan, yang telah mengungguli 327 peserta lainnya, termasuk seorang tunanetra asal Jawa Barat. Tampak hadir bapak-bapak penggede, di samping 5 orang juri dengan busana Jawa (Ki Nartosabdo, C. Hardjosubroto. R. Pirngadi, Suroso Daladi, Budya Priipta). Sementara ruangan terasa semakin lama semakin dingin, seperangkat gamelan dengan para niyaganya telah memulai malam pertarungan itu dengan klenengan. Jadi Minder Berusia 29 tahun, mewakili kota Gudeg, Ny. Th. Suharti Sudarsono muncul membawakan lagu Dandanggula (pelog, 2 bait): Serat Arjunasasrabahu karya R. Ng. Sindusastra. Lagu wajib tersebut dilemparkannya dengan suara empuk sekali. Tetapi sayang, ketua juri Budya Pradipta kemudian hanya bisa mengumpulkan nilai 1.716 untuk nyonya ini dan memberi kedudukan juara harapan I. "Mutu suara Suharti sebetulnya bagus", ucap anggota juri Hardjosubroto, "tapi dia melakukan kesalahan dalam tembangnya". Alasan ini mau tak mau terpaksa diterima para pencandu macapat yang sebelumnya menjagokan. Apalagi Ny. Soekiyatno yang tampak dengan kebaya hijau kemudian memang membuktikan keunggulannya. Dengan lagu Sinom (pelo, 2 bait) Serat Kalatiha karya R. Ng. Ranggawarsita serta Mijil (slendro, 2 bait), Serat Rama karya R. Ng. Yasadipura, nyonya ini membuat para juri terkesima. "Dadag mutu pengucapan, pedotan, andengan, irama, cengkok, suara dan mutu rasanya sangat baik", ujar Budya Pradipta. "Dadag ini merupakan sumber utama suaranya menjadi bisa lantang, mampu membuat hadirin terdiam seperti tersirap". Komentar tersebut dilengkapi oleh Nartosabdo dengan pujian terhadap keunggulan pengucapan sang nyonya (35 tahun), sehingga tidak saja kedudukan juara pertama wanita berhasil diraihnya, sekaligus juga juara umum. Akan Widarsi Suranto, 29 tahun, nyonya wakil Jawa Tengah yang pada babak penyisihan memperoleh nilai tertinggi, pada akhirnya hanya bisa bertahan jadi juara II. Seorang juri menganggap nyonya yang membawakan lagu Asmarandana (slendro, 2 bait) Serat Mintaraga karya Pakubuwana III dan Durma (pelog, 2 bait), Serat Sekar Macapat karya Mas Kartahanijaya tersebut, memiliki teknik yang baik namun sayang terserang semacam demam panggung. "Terus terang", ujar sang nyonya, "selain dingin, ruangan yang begitu mewah itu membuat saya jadi minder, ah saya kan orang udik". Juri Nartosabdo dan Budya ikut menambahkan: "Karena udara dingin, tenggorokan akan terpengaruh dan suaranya tidak lantang". Pantas diketahui dasar penilaian juri diletakkan atas mutu pengucapan, pedotal dan afldegan, irama dan cengkok suara serta mutu rasa. Wakil Jawa Timur Ny. Sukaesih, dan Siti Sutijah yang mewakili Yogya, kemudian berhasil menduduki tempat III dan juara harapan II. Lepas Dari Kultur Di bilangan pria sebetulnya terdapat 2 calon juara I. Tetapi menilik cara pengucapan yang wajar dan pengambihan nada yang pas, Nartosabdo ikut mengukuhkan wakil Jawa Tengah Soeparno Sisworahardjo sebagai jago sesudah melemparkan lagu Asmarandana dan Durma. Saingannya, wakil Jawa Timur, Darmono Seputro, dengan lagu-lagu yang sama menjadi juara II diikuti oleh jago-jago berikutnya: Hartono (DKI Jaya), Soepeno Hadiatmojo (Jawa Tengah), Hadisworo (Yogya). Dengan demikian maka daerah peserta Jawa Barat, Lampung dan Sumatera Utara kali ini harus pulang dengan tangan kosong. Tak apa. Terselenggara saja, usaha ini sudah lumayan. Tahun yang lalu dalangnya Radio Swasta Niaga Monalisa, entah kenapa tidak berhasil menyelenggarakan. Dimulai sejak 1974 barangkali kerepotan ini akan dijadikan tradisi. "Ah entahlah, uangnya dong yang sulit", kata Nastopo insinyur ketua lomba tersebut. "Pada dasarnya macapat adalah tradisi membaca suatu kitab yang mengandung kesusastraan yang tinggi", kata drs. Singgih Wibisono dosen sastra Jawa UI. Acara ini di Jawa dahulu dilakukan pada saat selamatan bayi atau pesta perkawinan, dalam formasi duduk melingkar. Kini ternyata hanya tinggal sebagai gumam-gumam kecil kalau orang tua mau menidurkan bayinya. "Sekarang kalau toh ada macapatan, konteksnya sudah lepas dari kultur yang dibawanya ketika lahir", demikian Singgih Wibisono -- sambil menunjuk siaran macapatan dari radio swasta niaga yang kedudukannya hampir sama dengan siaran lagu-lagu pop di tengah malam buta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus