PENGGALIAN kultur pribumi mulai beralih ke ruang-ruang mewah dan
terhormat. Dapat dimaklumi usaha ini memang dipuji -- kan mahal,
dan hampir merupakan kesibukan orang-orang paling terhormat di
Republik ini. Demikianlah 3 Juni yang lalu di Flores Room Hotel
Borobudur, yang sejuk dan parlente, telah diangkat seni Macapat
yang menurut Profesor Purbatjaraka almarhum di majalah Jawa
tahun 1940 -- adalah seni tembang yang tumbuh pada zaman
Majapahit tatkala pengaruh kebudayaan Hindu di kalangan
masyarakat Jawa mulai sirna. Sastra kakawi yang bergaya sastra
Sansekerta dan kurang sesuai dengan sifat bahasa Nusantara,
tidak digemari lagi. Orang menoleh kepada mapacat yang berbentuk
puisi dengan aturan-aturan tertentu, dan kemudian dikenal
sebagai tembang-tembang Dandaggula, Sinom, Pangkur, Mijil,
Asmarandana, Durma, Kinanti, Gambuh, Pucung, Megatruh dan
Maskumambang. Tersohorlah pujangga seperti R.Ng. Yasadipuraatau
R.Ng. Ranggawarsita.
Getuk lindri, arem-arem, mete goreng serta juga teh poci dengan
gula batu yang biasanya hanya dijumpai pada masyarakat pribumi,
khususnya Jawa, ikut disajikan. Malam santai itu
dinamakan'Lomba Macapat Nasional -- Babak final diikuti oleh 10
lelaki dan perempuan pilihan, yang telah mengungguli 327 peserta
lainnya, termasuk seorang tunanetra asal Jawa Barat. Tampak
hadir bapak-bapak penggede, di samping 5 orang juri dengan
busana Jawa (Ki Nartosabdo, C. Hardjosubroto. R. Pirngadi,
Suroso Daladi, Budya Priipta). Sementara ruangan terasa semakin
lama semakin dingin, seperangkat gamelan dengan para niyaganya
telah memulai malam pertarungan itu dengan klenengan.
Jadi Minder
Berusia 29 tahun, mewakili kota Gudeg, Ny. Th. Suharti Sudarsono
muncul membawakan lagu Dandanggula (pelog, 2 bait): Serat
Arjunasasrabahu karya R. Ng. Sindusastra. Lagu wajib tersebut
dilemparkannya dengan suara empuk sekali. Tetapi sayang, ketua
juri Budya Pradipta kemudian hanya bisa mengumpulkan nilai 1.716
untuk nyonya ini dan memberi kedudukan juara harapan I. "Mutu
suara Suharti sebetulnya bagus", ucap anggota juri
Hardjosubroto, "tapi dia melakukan kesalahan dalam tembangnya".
Alasan ini mau tak mau terpaksa diterima para pencandu macapat
yang sebelumnya menjagokan. Apalagi Ny. Soekiyatno yang tampak
dengan kebaya hijau kemudian memang membuktikan keunggulannya.
Dengan lagu Sinom (pelo, 2 bait) Serat Kalatiha karya R. Ng.
Ranggawarsita serta Mijil (slendro, 2 bait), Serat Rama karya R.
Ng. Yasadipura, nyonya ini membuat para juri terkesima. "Dadag
mutu pengucapan, pedotan, andengan, irama, cengkok, suara dan
mutu rasanya sangat baik", ujar Budya Pradipta. "Dadag ini
merupakan sumber utama suaranya menjadi bisa lantang, mampu
membuat hadirin terdiam seperti tersirap". Komentar tersebut
dilengkapi oleh Nartosabdo dengan pujian terhadap keunggulan
pengucapan sang nyonya (35 tahun), sehingga tidak saja kedudukan
juara pertama wanita berhasil diraihnya, sekaligus juga juara
umum.
Akan Widarsi Suranto, 29 tahun, nyonya wakil Jawa Tengah yang
pada babak penyisihan memperoleh nilai tertinggi, pada akhirnya
hanya bisa bertahan jadi juara II. Seorang juri menganggap
nyonya yang membawakan lagu Asmarandana (slendro, 2 bait) Serat
Mintaraga karya Pakubuwana III dan Durma (pelog, 2 bait), Serat
Sekar Macapat karya Mas Kartahanijaya tersebut, memiliki teknik
yang baik namun sayang terserang semacam demam panggung. "Terus
terang", ujar sang nyonya, "selain dingin, ruangan yang begitu
mewah itu membuat saya jadi minder, ah saya kan orang udik".
Juri Nartosabdo dan Budya ikut menambahkan: "Karena udara
dingin, tenggorokan akan terpengaruh dan suaranya tidak
lantang". Pantas diketahui dasar penilaian juri diletakkan atas
mutu pengucapan, pedotal dan afldegan, irama dan cengkok suara
serta mutu rasa. Wakil Jawa Timur Ny. Sukaesih, dan Siti Sutijah
yang mewakili Yogya, kemudian berhasil menduduki tempat III dan
juara harapan II.
Lepas Dari Kultur
Di bilangan pria sebetulnya terdapat 2 calon juara I. Tetapi
menilik cara pengucapan yang wajar dan pengambihan nada yang
pas, Nartosabdo ikut mengukuhkan wakil Jawa Tengah Soeparno
Sisworahardjo sebagai jago sesudah melemparkan lagu Asmarandana
dan Durma. Saingannya, wakil Jawa Timur, Darmono Seputro, dengan
lagu-lagu yang sama menjadi juara II diikuti oleh jago-jago
berikutnya: Hartono (DKI Jaya), Soepeno Hadiatmojo (Jawa
Tengah), Hadisworo (Yogya). Dengan demikian maka daerah peserta
Jawa Barat, Lampung dan Sumatera Utara kali ini harus pulang
dengan tangan kosong. Tak apa. Terselenggara saja, usaha ini
sudah lumayan. Tahun yang lalu dalangnya Radio Swasta Niaga
Monalisa, entah kenapa tidak berhasil menyelenggarakan. Dimulai
sejak 1974 barangkali kerepotan ini akan dijadikan tradisi. "Ah
entahlah, uangnya dong yang sulit", kata Nastopo insinyur ketua
lomba tersebut.
"Pada dasarnya macapat adalah tradisi membaca suatu kitab yang
mengandung kesusastraan yang tinggi", kata drs. Singgih Wibisono
dosen sastra Jawa UI. Acara ini di Jawa dahulu dilakukan pada
saat selamatan bayi atau pesta perkawinan, dalam formasi duduk
melingkar. Kini ternyata hanya tinggal sebagai gumam-gumam kecil
kalau orang tua mau menidurkan bayinya. "Sekarang kalau toh ada
macapatan, konteksnya sudah lepas dari kultur yang dibawanya
ketika lahir", demikian Singgih Wibisono -- sambil menunjuk
siaran macapatan dari radio swasta niaga yang kedudukannya
hampir sama dengan siaran lagu-lagu pop di tengah malam buta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini