Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adalah ahli gizi dari National Taiwan University Hospital dan Taipei Medical College, Prof. Tung Ta Chen, yang membuat paifeng (Canavalia ensiformis atau jack bean) diperebutkan orang. Kisahnya bermula dari berita di harian China News edisi 24 September 1998, media tempat Prof. Tung mengungkapkan hasil penelitiannya terhadap 20 orang pasien.
Selama sepekan, para pasien diberi satu miligram Concanavaline A -- disingkat Con A -- setiap hari. Con A merupakan lektin tumbuhan yang berasal dari sari kacang baifeng. Zat tersebut bisa mengaktifkan sel antikanker atau sel-T pada tubuh manusia. Dan memang, jumlah sel-T di badan 20 pasien itu meningkat drastis. Akibatnya, tentu saja kekebalan tubuh mereka terhadap serangan kanker menjadi semakin tinggi.
Sejak itulah, kacang baifeng dipercaya dapat mencegah kanker. Masyarakat Taiwan pun memburunya. Namun, benarkah kacang yang panjangnya dua sentimeter--hampir dua kali kacang kedelai--dan berwarna putih dengan setrip merah itu sedemikian ampuh membabat sel kanker?
Departemen kesehatan Taiwan menyatakan bahwa manfaat kacang baifeng masih perlu diteliti lebih lanjut dan diuji coba secara klinis. Prof. Tung juga memastikan bahwa kacang tersebut hanya manjur untuk mencegah kanker, bukan menyembuhkannya.
Ternyata, bagi banyak orang Indonesia, kacang baifeng bukanlah barang asing. Tanaman kacang yang dulunya didatangkan dari Amerika itu banyak ditemukan di daerah Jawa, Sumatra, dan Maluku. Ia dikenal dengan nama kacang parang, kacang pedang, atau kara bendo. Tanaman itu tumbuh liar, batangnya merambat satu sampai dua meter. Bunganya berwarna merah keungu-unguan. Meski aromanya kurang sedap, penduduk acap merebus daun muda tanaman kacang parang tersebut untuk pelengkap lauk nasi.
Tapi jangan coba-coba untuk langsung mengonsumsi biji kacang parang. Sebab, "Ia mengandung racun sianida," ujar Nisyawati, Ph.D., Staf Pengajar dan Peneliti dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. Beberapa buku, di antaranya Tumbuhan Berguna Indonesia II dan Taxonomy of Angiosperms, juga tak pernah menyebut-nyebut khasiat kacang parang sebagai penangkal penyakit kanker. Buku Medical Herb Index Indonesia hanya menyatakan bahwa kacang tersebut bisa digunakan sebagai obat asma, demam, dan penyakit eksim.
Mungkin karena itu pula, Nisyawati dan ahli pengobatan tradisional Prof. H.M. Hembing Wijayakusuma mengaku terkejut atas penemuan Prof. Tung. Memang sampai kini belum ada penelitian di Indonesia tentang kegunaan kacang parang bagi kesehatan. Dari keluarga tanaman kacang-kacangan, menurut Hembing, yang pernah diteliti dan terbukti berpotensi mengandung zat antikanker barulah kacang buncis. Tumbuhan lain yang juga biasa digunakan Hembing untuk mengobati pasien pengidap kanker adalah sambiloto.
Hembing, yang memahami khasiat berbagai tumbuhan, meragukan keampuhan kacang parang dalam membasmi kanker. Lagi pula, belum ada penelitian yang memastikan bahwa dengan mengonsumsi kacang parang, orang bisa terhindar dari penyakit yang mengerikan itu.
Bagaimanapun, penelitian Prof. Tung tampaknya bisa dijadikan acuan sementara untuk merangsang penelitian kacang parang di sini. Atau penelitian terhadap tumbuhan lain yang banyak tumbuh liar di hutan tropis Indonesia, dan khasiatnya bisa dikembangkan lebih dari yang sekadar diketahui oleh penduduk asli di Kalimantan ataupun Irian.
Ma’ruf Samudra, Raju Febrian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo