UNTUK menanggulangi kisruh dunia perbankan, pemerintah kembali meluncurkan jurus hukum yang kontroversial. Setelah Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1999 tentang Rekapitalisasi pada Januari lalu bikin geger? dan ditunda pemberlakuannya sampai Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara disetujui DPR?kali ini giliran Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang menjadi gunjingan kalangan hukum dan ekonomi.
Musababnya, peraturan pemerintah yang memberikan wewenang mahabesar kepada BPPN itu dianggap terlalu mengakali hukum. Tilik saja, semula BPPN lahir lewat keputusan presiden semasa Soeharto, pada Januari 1998. Waktu itu dikatakan bahwa tugas BPPN mengurusi bank-bank yang sakit hanya bersifat sementara, sampai akhir 1998. Setelah itu, ia akan berubah status menjadi asset management unit. Dengan masa kerja yang hanya satu tahun itu, BPPN sudah dikritik sebagai lembaga yang merebut wewenang Bank Indonesia.
Lantas keluarlah Undang-Undang Perbankan yang baru, yakni Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, pada 10 November 1998. Pada pasal 37-A undang-undang itu, istilah BPPN diganti dengan sebutan badan khusus. Tercantum juga pada pasal tersebut, badan yang bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan itu akan dibentuk dengan keputusan presiden, setelah pemerintah berkonsultasi dengan DPR.
Ternyata, pada 27 Februari lalu, menjelang pengumuman likuidasi bank yang kemudian ditunda selama dua pekan, sudah ada Peraturan Pemerintah tentang BPPN. Selain munculnya dengan peraturan pemerintah?jadi bukan dengan keputusan presiden?baru dinyatakan bahwa badan khusus tadi adalah BPPN. Mungkin karena perangkat peraturan itu berupa peraturan pemerintah, kelahirannya tidak melalui konsultasi dengan DPR. Padahal wewenang BPPN yang digariskan oleh PP bertanggal 27 Ferbuari 1999 itu boleh dikatakan luar biasa besar. Adalah janggal jika jangkauan wewenang sebesar itu tidak dibicarakan dulu dengan wakil-wakil rakyat.
Yang juga janggal, umur BPPN ditegaskan adalah lima tahun sejak peraturan pemerintah tadi berlaku pada 27 Februari?dengan catatan: dapat diperpanjang lagi bila masih diperlukan. Padahal, pasal 64 peraturan itu juga sekaligus mengukuhkan BPPN yang dibentuk pada Januari 1998. Dengan begitu, ketentuan peraturan pemerintah dan keputusan presiden jadi campur aduk.
Kendati wewenang badan khusus yang dimaksud sudah dijabarkan pada Undang-Undang Perbankan yang baru, orang tak dapat menahan diri untuk tidak mempersoalkan kekuasaan BPPN yang begitu dahsyat. Bayangkan, BPPN bisa mengambil alih wewenang direksi, komisaris, dan rapat umum pemegang saham dari bank yang dirawatnya. Apa hendak dikata, wewenang ini menabrak ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas Tahun 1995.
Selain itu, BPPN juga bisa membatalkan kontrak. Padahal, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pembatalan itu wewenang pengadilan. BPPN pun dapat mengambil alih suatu lahan meskipun lahan ini dijadikan jaminan kredit oleh pihak lain. Lagi-lagi wewenang ini bertentangan, kali ini dengan Undang-Undang Hak Tanggungan Tahun 1996.
Ahli hukum perbankan, Sutan Remy Sjahdeini, berkomentar bahwa wewenang BPPN yang sedemikian besar hanya bisa terjadi karena kelalaian DPR sewaktu menggodok Rancangan Undang-Undang Perbankan. "Itu menunjukkan bahwa DPR masih menggunakan cara-cara Orde Baru, dengan memakai undang-undang untuk melegitimasi tindakan penguasa," kata Remy.
Hebatnya pula, keputusan BPPN berstatus sama dengan vonis pengadilan. Kalau wewenang eksekutif sudah disatukan dengan wewenang yudikatif, "Peraturan Pemerintah tentang BPPN bukan hanya telah mengangkangi undang-undang, tapi juga menghantam secara serius prinsip supremasi hukum," ujar pengamat perbankan, Pradjoto.
Pemerintah tidak gentar terhadap berbagai keberatan itu dan tetap pada pendapatnya bahwa wewenang yang besar dan serba khusus itu sangat diperlukan agar BPPN bisa bekerja secara efektif dan cepat. Hal itu amat berguna untuk menyukseskan tugas BPPN dalam mengembalikan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang disalurkan kepada bank-bank yang kini ada dalam perawatannya.
Berdasarkan pertimbangan itu, pemerintah seolah-olah menggunakan adagium lex specialis derogat lex generalis (aturan khusus mengesampingkan aturan umum). "Bila BPPN tak diberikan cara-cara khusus begitu, akan susah mengatasi kondisi perbankan dalam keadaan ekonomi yang sudah demikian jelek," tutur Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin.
Happy S., Dwi Wiyana, dan Wenseslaus Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini