Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM pandangan banyak orang, citra Mahkamah Agung (MA) identik dengan kebobrokan Orde Baru. Wibawa lembaga puncak yudikatif yang semestinya menjadi penegak utama keadilan dan penentu arah hukum itu bukan cuma terpuruk karena mutu putusan, tapi juga tercemar oleh praktek percaloan perkara. Singkat kata, ada mafia di MA. Tak aneh kalau Prof. J.E. Sahetapy, yang baru diangkat menjadi Ketua Komisi Nasional Hukum, menyatakan bahwa MA mengalami pembusukan luar biasa.
MA sudah begitu parah, sampai-sampai ahli hukum dari Universitas Washington, Amerika, Prof. Daniel S. Lev, mengusulkan agar 51 orang hakim agung di lembaga itu, tak terkecuali Ketua MA Sarwata, segera dipensiunkan untuk diganti dengan hakim agung baru. Kini hakim agung tinggal 43 orang karena delapan orang telah pensiun. Sarwata sendiri, yang purnawirawan marsekal pertama dan mantan Ketua Muda Peradilan Militer di MA, baru pensiun pada 1 Agustus 2000, saat usianya genap 65 tahun.
Merombak MA agaknya sudah tak bisa ditawar dan ditunda lagi. Hasrat merombak itu kian bergelora setelah Presiden Abdurrahman Wahid beberapa kali mengusulkan nama Benjamin Mangkoedilaga sebagai ketua MA. Gagasan itu pertama kali diutarakan Presiden kepada Benjamin, yang pensiunan hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, sewaktu jamuan makan pagi pada Desember 1999. Dan Selasa pekan lalu, dalam gayanya yang serba terbuka, Presiden kembali mengutarakan keinginan yang sama.
Gagasan menjagokan Benjamin membuat para hakim agung merasa gerah. Mereka menganggap pencalonan Benjamin menyalahi ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA, yang menyebutkan bahwa ketua MA harus dicalonkan dari para hakim agung itu sendiri. Benjamin, yang sudah tak lagi bertogakarena pensiunberarti tak bisa dicalonkan sebagai ketua MA. Lagi pula, masa jabatan Sarwata tak boleh dipotong di tengah jalan, kecuali ia mengundurkan diri.
Untuk menjadi hakim agung pun, harus dengan sistem karir dan bersifat tertutup. Maksudnya, tentu, posisi hakim agung hanya bisa diisi oleh hakim di lingkungan peradilan. Dengan demikian, Benjamin, yang jadi terkenal karena berani mengalahkan Menteri Penerangan dalam kasus pembredelan TEMPO semasa Orde Baru, dinilai tak memenuhi syarat.
Bahkan, Sekretaris Jenderal MA Pranowo dan Hakim Agung Djoko Sarwoko, yang juga Sekretaris Ikatan Hakim Indonesia, menilai "droping" Benjamin sebagai ketua MA hanya akan mengulangi praktek Orde Baru, yang pada dasarnya membuat kekuasaan yudikatif terkooptasi oleh eksekutif. Lagi pula, usia Benjamin sudah 62 tahun. Artinya, bila menjadi ketua MA, ia hanya bisa bertugas sekitar dua tahun.
Selain itu, Benjamin dianggap masih tergolong "yunior". Soalnya, meski sudaH 33 tahun menjadi hakim, ia belum pernah menjadi ketua pengadilan tinggi. Baginya, tentu akan menyulitkan bila harus memimpin para hakim agung yang bagaimanapun adalah seniornya. "Sebanyak 51 orang hakim agung, yang semuanya hakim karir, masih saja kedodoran mengatasi tumpukan 15.800 perkara di MA. Apalagi bila ditangani orang yang belum berpengalaman," tutur Pranowo.
Prestasi Benjamin selama menjadi hakim pun dinilai tidak istimewa. "Jangan hanya melihat dari putusannya dalam perkara TEMPO. Lihat juga track record-nya selama memimpin pengadilan tata usaha negara," ujar Djoko. Tak cuma itu. Benjamin malah dianggap telah "berkhianat" karena mengajukan pensiun dini sebagai hakim pada 1998, justru pada saat MA dan dunia peradilan dikecam habis-habisan oleh masyarakat.
Suara-suara yang tidak bersahabat itu oleh sebagian kalangan hukum dianggap sebagai manifestasi sikap hakim agung yang cuma ingin mempertahankan status quo. Dari segi ketentuan formal, sebenarnya pintu buat Benjamin belum tertutup. Menurut Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang MA, dalam keadaan tertentu calon hakim agung bisa diambil dari jalur hakim nonkarir, yakni dari mereka yang telah 15 tahun teruji pengalaman serta keahliannya di bidang hukum.
Melalui pasal itu, Benjamin bisa dicalonkan dulu sebagai hakim agung, baru kemudian, ayah dua anak itu diajukan sebagai calon ketua MA. Preseden itu pernah ditempuh Ali Said, yang menjadi ketua MA setelah sebulan menjadi hakim agung pada 1985. Ketua MA sebelumnya, Prof. Oemar Senoadji dan Moedjono, juga bukan berasal dari hakim karir. Sarwata juga menjadi hakim agung setelah menjabat Direktur Jenderal Agraria.
Dengan preseden itu, pintu buat Benjamin pasti terbuka, akhirnya. Dikabarkan, DPR telah mencalonkan Benjamin dan Hakim Agung Dr. Paulus Effendie Lotulung, 57 tahun, sebagai ketua dan wakil ketua MA. Jajaran MA, konon, menjagokan pasangan Hakim Agung Soeharto, 59 tahun, dan Syafiuddin Kartasasmita, 60 tahun. Selain itu, nama Hakim Agung Muhamad Taufik dan Toton Suprapto ikut pula meramaikan bursa calon ketua MA.
Happy S., Arif A. K, dan I G.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo