Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Yang Terlindung di Balik Surat Dokter

Gara-gara surat dokter, DPR dan Kejaksaan Agung tak bisa memeriksa Soeharto. Mengapa tidak mengandalkan Pasal 23 UU Antikorupsi 1971, yang jelas menyatakan bahwa terdakwa bisa diadili secara in absentia?


27 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOEHARTO dan Augusto Pinochet sama dalam satu hal ini: kedua mantan presiden itu berlindung di balik selembar surat keterangan dokter. Pinochet, bekas presiden Cile yang diburu jaksa Spanyol karena tuduhan pelanggaran hak asasi manusia, kini hampir lepas dari keharusan dideportasi ke negeri seribu matador itu. Pinochet kini cuma harus menunggu hasil pemeriksaan dokter independen, sebelum ada kepastian tentang nasibnya.

Mirip Pinochet, Soeharto juga mengandalkan selembar surat dokter. Bukan hanya penyidikan Kejaksaan Agung terhenti, Panitia Kerja DPR untuk kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pun "dihalau" dari rumahnya di Jalan Cendana 8, Jakarta. Peristiwa itu terjadi karena surat keterangan dari tim dokter yang diketuai Teguh A.S. Ranakusuma. Isi surat menyatakan Soeharto sakit, dan oleh pengacaranya ditafsirkan "Soeharto tak bisa diganggu, tak bisa ditanya, tak bisa ketemu siapa-siapa."

Panja DPR memerlukan penjelasan Soeharto sehubungan dengan kasus dana BLBI sebesar Rp 144,5 triliun. Kejaksaan Agung harus memeriksa Soeharto selaku tersangka dalam kasus tiga yayasan yang dulu dipimpinnya: Dharmais, Supersemar, dan Dakab. Kasus BLBI dan yayasan itu diduga sarat dengan unsur penyalahgunaan kekuasaan semasa Orde Baru.

Namun, panggilan dari Kejaksaan Agung pada Senin dua pekan lalu sia-sia. Penasihat hukum Soeharto, Juan Felix Tampubolon, malah menambahkan bahwa Soeharto tak mungkin bisa diperiksa karena kemampuan komunikasi dan daya ingatnya amat menurun.

Usaha delapan anggota DPR yang diketuai Sukowaluyo Mintorahardjo ke rumah Soeharto pada Jumat sore dua pekan lalu juga tanpa hasil. Orang-orang terdekat bekas presiden itu, termasuk putri sulungnya, Siti Hardijanti Rukmana, dan Sekretaris Pribadi Anton Tabah, tak pernah menyampaikan surat panggilan DPR kepada Soeharto. Alasannya, jenderal purnawirawan itu bisa shock bila membaca surat panggilan. Tapi, "Itu kan cuma asumsi mereka," kata Sukowaluyo kepada Iwan Setiawan dari TEMPO.

Penolakan atas panggilan DPR bisa dianggap menghina kewibawaan DPR (contempt of parliement) dan berdasarkan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang DPR, bisa diancam sanksi pidana (subpoena) setahun kurungan. "Kalau ternyata Soeharto tidak sakit, pengadilan bisa menjatuhkan sanksi setahun kurungan lewat persidangan singkat (kortgeding)," ujar praktisi hukum Luhut M.P. Pangaribuan.

Tapi, menurut Sukowaluyo, yang dianggap menghalang-halangi tugas DPR justru orang-orang sekitar Soeharto tadi. "Bila Soeharto terbukti tidak sakit, mereka juga bisa kena delik keterangan palsu," katanya tegas.

Di pihak lain, Pengacara Juan Felix Tampubolon menafsirkan, "Delik pelecehan parlemen itu berlaku bila orang dengan sengaja tak memenuhi panggilan DPR. Pak Harto memang tak bisa datang karena alasan medis berdasarkan keterangan dokter. Secara hukum itu sudah sah," katanya. Kalau pemeriksaan dipaksakan, begitu kata Juan, hasilnya sulit dipertanggungjawabkan.

Kamis pekan lalu, Juan menyerahkan hasil pemeriksaan kesehatan Soeharto, yang dilakukan tim 24 dokter, ke Kejaksaan Agung, agar bisa diuji kembali. Jaksa dari Gedung Bundar sendiri sudah membentuk tim 10 dokter dan mungkin akan mendatangi Soeharto pekan ini.

Persoalannya, bila sakit Soeharto berlarut-larut sehingga ia terus tak bisa diperiksa, bukan mustahil kasusnya tetap tersimpan di laci kejaksaan alias menguap. Hal ini bukan saja bertentangan dengan Ketetapan MPR, tapi juga sangat melukai rasa keadilan rakyat banyak. Selain Soeharto tak bisa dibawa ke meja hijau, berbagai keterangan otentik tentang perbuatannya dan pelanggaran hukum yang dilakukan para kroninya juga tak utuh bisa diungkap.

Sayangnya, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mencantumkan hak tersangka untuk membela diri dan melarang terjadinya peradilan tanpa kehadiran terdakwa (in absentia). Artinya, bila tersangka atau terdakwa sakit, baik jaksa maupun hakim harus menunggunya sampai sembuh.

Menghadapi kebuntuan ini, Chairul Imam, Direktur Tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan Agung, sengaja mengutip Pasal 23 Undang-Undang Antikorupsi Tahun 1971, yang jelas menyatakan bahwa terdakwa bisa diadili secara in absentia. "Janganlah terlalu legalistis, sehingga mengabaikan rasa keadilan masyarakat," katanya.

Chairul mungkin benar. Vonis in absentia dalam kasus korupsi setidaknya bisa menetapkan status dana tiga yayasan yang mengalir ke para pengusaha kroni Soeharto. Untuk itu, Kejaksaan Agung hendaknya tak terpaku pada pemeriksaan Soeharto saja. Cobalah mengembangkan pembuktian lewat keterangan saksi, surat, petunjuk, dan keterangan ahli. Paling tidak, cobalah untuk tidak menyerah pada selembar surat dokter.

Happy Sulistyadi, Hendriko L. Wiremmer, dan Edy Budiyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum