Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Mencari Keindahan dalam Kebengisan

Film Life is Beautiful karya Roberto Benigni akhirnya diputar di bioskop komersial Indonesia. Uji coba yang patut dihargai.


27 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIFE IS BEAUTIFUL
(La Vita E Bella)
Sutradara:Roberto Benigni
Skenario:Vincenzo Cerami dan Roberto Benigni
Pemain:Roberto Benigni, Nicoletta Braschi
Produksi:Miramax Film dan Melampo Cinematografica Production
Tahun 1938, di suatu musim panas di Arezzo, Guido menemukan keindahan. Ia berpapasan dengan seorang wanita jelita, Dora (Nicoletta Braschi). Sang jelita yang disebutnya sebagai ''Princess" itu sudah bertunangan dengan seorang pejabat lokal pemerintah Italia yang fasis. Saat itu, setelah Mussolini memutuskan untuk menjilat ludahnya sendiri—karena sebelumnya mengejek doktrin Nazi Hitler—sembari membangun aliansi dengan Jerman, demam Hitler mulai menjangkit. Sekitar 8.000 orang, dari 45.000 jumlah keseluruhan warga Yahudi Italia, mulai dicatat untuk kemudian ditahan dan dideportasi.

Guido tak peduli dengan situasi yang mengancam hidupnya itu. Ia berhasil merebut sang Putri, menikahinya, dan berbuah Giosue (Giorgio Cantarini), si kecil berusia empat tahun yang sering menemaninya di toko buku milik keluarga. Hidup begitu indah, sampai suatu hari ketika Dora menemukan rumahnya porak-poranda, dan anak suaminya menghilang digiring ke atas truk bersama segerombolan warga Yahudi Italia yang lain. Ke mana? Sang Ibu memaksa ikut; sehidup-semati bersama para terkasih, meski ia bukan seorang Yahudi.

Lalu, bagaimana sang Ayah menjelaskan pada Giosue tentang kehidupan neraka yang akan mereka jalani sehari-hari? Dengan menciptakan sebuah La Vita E Bella bayangan. Hidup begitu seru dan nikmat karena sang Ayah bekoar bahwa kamp konsentrasi itu sesungguhnya hanyalah permainan, saat para pemain ditantang untuk mengumpulkan nilai sebanyak-banyaknya. Peraturannya: nilai bisa hilang jika pemain menangis, merengek minta bertemu mama dan minta kue.

Giosue, meski heran dengan ''tempat pertandingan" yang busuk, bau, dan mengerikan itu, menurut. Dia mengikuti pertandingan dengan takzim karena ingin hadiah tank yang dijanjikan sang Ayah.

Apakah hidup menjadi ''E Bella" dengan imajinasi sang Ayah? Mengapa tidak?

Sutradara Benigni, seorang aktor dan sutradara Italia terkemuka yang disebut-sebut memiliki bakat Charlie Chaplin, memang mengajukan sebuah konsep sinematik yang hampir mustahil. Membuat visualisasi kekejaman dan kekonyolan Nazi dengan cara komikal. Trauma para korban antisemit yang masih hidup memang belum tentu bisa tertawa lega menyaksikan bagaimana film ini menjungkirbalikkan salah satu horor terbesar di muka bumi ini. Tetapi Benigni memang tidak menyajikan sebuah film realis. Seluruh film yang direkam dalam sebuah studio itu—meski tetap mengacu pada detail artistik realita masa itu—sengaja didesain seotentik mungkin, tetapi sekaligus menampilkan konsep panggung tonil. Tentu saja suasana suram yang menekan memang tercipta dengan baik. Tetapi itu semua kemudian tersingkir oleh dunia baru, fantasi tokoh Guido yang diciptakan untuk anaknya, agar hidup menjadi bahagia dan indah.

Buku Benevolence and Betrayal karya Alexander Stille, salah satu karya yang mengilhami film ini, tentu menyajikan fakta bagaimana sepasang ayah dan anak yang bertahan hidup di kamp konsentrasi karena cinta dan solidaritas keduanya yang meniupkan optimisme kehidupan. Beberapa buku sejarah juga mencatat bagaimana banyak orang tua yang berhasil menyembunyikan anak-anaknya dari kewajiban ''mandi" (di kamar gas) di kamp konsentrasi hingga akhirnya Jerman kalah perang dan mereka bebas. Namun, semua fakta itu adalah ilham belaka. Benigni kemudian menampilkannya dengan sebuah cara yang hampir tak terbayangkan sebelumnya: humor. Manifesto of Racist Scientists, yang—entah dipungut dari langit mana—menjadi doktrin inti Nazi, diejek dengan sebuah ''pertunjukan" komikal di sebuah sekolah yang siap menerima ceramah tentang kejayaan bangsa Arya. Ketika kuda paman Guido dicat hijau dan ditulis dengan kata-kata makian yang rasis, Guido menganggapnya enteng dan bahkan mengendarai kuda itu ke sebuah pesta makan malam untuk menjemput sang kekasih.

Kekejaman dan doktrin inhuman Nazi yang begitu absurd kemudian diperlakukan dengan absurd dan sureal oleh Benigni. Dan dengan memperlakukan itu semua sebagai sebuah absurditas, putranya selamat dari berbagai teror, termasuk teror jiwa yang bisa merusak masa depannya kelak. Meski pada malam terakhir Guido ditembak mati, anaknya selamat hingga mampu berkisah kepada para penonton.

Mungkin yang agak mengganggu adalah adegan akhir ketika akhirnya tank itu datang dengan tentara Amerika yang meluncur bak pahlawan. Adegan ini tampil menjadi sebuah antiklimaks yang mencurigakan; seolah film ini sempat disentuh tangan studio Hollywood.

Jika film ini akhirnya meraih penghargaan film asing terbaik Academy Awards tahun lalu, tentu saja itu karena Benigni dan timnya memang layak mendapatkannya. Dia menyajikan sebuah optimisme bahwa dalam keburukan yang paling hitam sekalipun selalu ada cinta yang membuat La Vita E Bella.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum