Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KISAH skandal Monsanto muncul lagi. Pewartanya kali ini The Asian Wall Street Journal (AWSJ). Dalam edisinya tiga pekan silam, surat kabar terkemuka itu menurunkan kisah patgulipat perusahaan konsultan Harvest International dalam melancarkan bisnis Monsanto di Indonesia. Perusahaan konsultan itu memang dipakai Monsanto sebagai juru lobi agar izin proyek transgenik Monsanto di Indonesia bisa berjalan lancar.
Dan ini yang mengejutkan, berdasarkan sumber AWSJ, Michael Villarreal, konsultan Harvest, telah memberi uang sebesar US$ 50 ribu (sekitar Rp 450 juta) kepada Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim. Itu terjadi sekitar Februari 2002.
Ini memang kabar teranyar. Sebelumnya, sejak kasus ini meledak, siapa saja pejabat Indonesia yang kecipratan duit Monsanto belum jelas. Kasus penyuapan Monsanto terhadap para pejabat Indonesia sendiri baru terkuak setelah Monsanto melaporkan temuan internal mereka ke Departemen Kehakiman Amerika Serikat (DOJ) dan Badan Pengawas Pasar Modal Amerika (SEC) pada Januari lalu.
Awalnya, pada 2002, perusahaan raksasa yang berkantor pusat di St. Louis, Missouri, ini menemukan transaksi mencurigakan pada anak perusahaan mereka di Indonesia. Pengeluaran yang disamarkan sebagai biaya konsultasi itu mencapai US$ 50 ribu. Sebagai perusahaan yang berbasis di Amerika, Monsanto terikat aturan Foreign Corrupt Practices Act. Aturan itu mengharamkan praktek suap kepada pejabat tempat mereka beroperasi. Apalagi, perusahaan ini terdaftar di bursa saham New York.
Pada Januari silam, SEC dan DOJ pun menjatuhkan sanksi atas Monsanto. Oleh SEC, raksasa kimia dan bioteknologi itu didenda US$ 500 ribu (sekitar Rp 4,5 miliar). Adapun sanksi dari DOJ lebih berat. Monsanto didenda US$ 1 juta (sekitar Rp 9 miliar). Selain itu, perusahaan ini diwajibkan menyewa konsultan untuk memperbaiki sistem kepatuhan. Monsanto pun mendapat "pengampunan" bersyarat. Jika tiga tahun mendatang DOJ puas atas perbaikan sistem kepatuhan Monsanto, pejabatnya yang terlibat kasus itu lepas dari ancaman pidana.
Di Indonesia, terungkapnya penyuapan Monsanto, tak pelak lagi, menampar sejumlah pejabat dan bekas pejabat, terutama Departemen Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup. Soalnya, dua departemen ini yang paling erat kaitannya dengan pemberian izin penanaman kapas transgenik yang digagas Monsanto di Indonesia. Gerilya Monsanto kepada kedua departemen itu semakin aktif setelah terjadi pergantian kabinet pada 2001. SEC melaporkan, setidaknya, ada sekitar 144 pejabat yang telah disuap Monsanto untuk bisnis tersebut.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan. Sepanjang Januari hingga Februari lalu, lembaga superbodi ini memanggil sejumlah bekas pejabat tinggi yang diduga mengetahui kasus ini, termasuk, antara lain, bekas Menteri Pertanian Bungaran Saragih dan bekas Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim. Selain mantan pejabat, KPK juga memanggil Presiden Direktur Harvest International, Harvey Goldstein. Tapi, belakangan, pemeriksaan kasus Monsanto ini meredup. "Ada perkembangan, tapi sedikit," ujar anggota KPK Amien Sunaryadi.
Sebenarnya, KPK pernah akan melakukan telekonferensi dengan SEC dan DOJ guna membahas kasus ini. Telekonferensi itu disepakati bersifat rahasia. "Celakanya, karena rencana telekonferensi tersebut menjadi berita, kami disalahkan. Akibatnya, orang yang diperiksa SEC dan DOJ tidak mau ngomong lagi," ujar Amien.
Lalu bagaimana dengan berita AWSJ itu? KPK tampaknya menganggap berita itu tinggal berita. "Tulisan koran kan bukan fakta hukum," kata Erry Riyana Hardjapamekas, Wakil Ketua KPK, kepada Tempo.
Benarkah? Tidak juga. Menurut staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Rudy Satrio, berita di sebuah media bisa dijadikan bahan awal menelusuri penyelidikan. Meski bukan fakta hukum, kata Rudy, informasi itu bermanfaat sebagai bahan permulaan. "Berita kan dibuat juga berdasarkan bukti," ujarnya.
Selain itu, Rudy menilai, meskipun masih dalam tahap penyidikan, untuk kasus seperti ini perlu dilakukan pembuktian terbalik. Lazimnya, kata Rudy, asas pembuktian terbalik memang terjadi di persidangan. Tapi, menurut dia, KPK bisa menggunakannya ketika melakukan pemanggilan. "Ketika dipanggil, orang itu tidak hanya bisa membantah tapi juga harus mampu membuktikan bantahannya, membuktikan dia tidak bersalah," ujarnya.
Bekas Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim tampaknya tak mau ambil pusing dengan berita yang menyebut ia disuap US$ 50 ribu oleh Michael Villarreal. "Tidak ada urusannya," katanya. Sementara itu, Michael sendiri mengaku dekat dengan Nabiel. "Tapi, kedekatan sebagai teman," katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Michael membantah telah menyuap Nabiel untuk meloloskan proyek kapas transgenik Monsanto. "Tidak ada fasilitas apa pun kepada Nabiel," ujarnya. Pemberitaan AWSJ, menurut Michael, diambil dari sumber yang tidak diketahui. "Itu bisa siapa saja," ujar kekasih aktris Sophia Latjuba itu.
Di mata Tejo Wahyu Jatmiko, Direktur Eksekutif Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia, kunci penting untuk membuka kasus ini adalah DOJ. "Keengganan DOJ membuka data tentang kasus ini menunjukkan sikap standar ganda Amerika yang sering mengumandangkan keterbukaan informasi," kata aktivis LSM yang dulu paling depan menentang proyek kapas transgenik Monsanto ini.
Tejo mengakui tidak bisanya data itu dibuka adalah karena kendala perbedaan mazhab hukum antara Amerika dan Indonesia. "Karena sistem hukum di sana mengatur demikian," ujarnya. Tejo mengaku mendapat dorongan dari rekan-rekannya sesama aktivis LSM di Amerika untuk menggugat Departemen Kehakiman Amerika agar data itu dibuka. "Karena ini menyangkut perusahaan multinasional yang bisa dijadikan contoh," ujarnya.
Sukma N. Loppies, Muchamad Nafi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo