KASUS biskuit beracun, yang menghebohkan masyarakat tahun lalu ternyata berakhir dengan antiklimaks di meja hijau. Pengadilan Negeri Tangerang, Rabu pekan lalu, memvonis direktur utama dan kepala produksi CV Gabisco -- pabrik biskuit yang produksinya tercemar racun Tan Chandra Helmi, 60 tahun, dan Gimun Tanno, 34 tahun, masing-masing 6 bulan penjara dalam masa percobaan setahun. Kedua terdakwa, menurut majelis hakim yang diketuai Soaloon Siregar, hanya terbukti lalai memproduksi biskuit jenis mari, yang adonannya tercemar senyawa kimia sodium nitrit (NaNO2). Namun, kematian empat korban bayi dan anak balita di Tangerang, kata majelis, tidak terbukti akibat memakan biskuit produksi Gabisco. Sebab itulah, majelis membebaskan kedua pimpinan CV Gabisco, Tangerang, itu dari tuduhan "kelalaian, yang menyebabkan matinya orang". Mereka, apalagi, dibersihkan dari tuduhan "sengaja" memproduksi biskuit beracun. Atas keputusan ini, kedua terdakwa, kendati masih menyatakan pikir-pikir, tampak tersenyum gembira. Antara Juli dan Oktober lalu, setidaknya 28 orang meninggal dunia akibat memakan biskuit, yang tercemar NaN02 -- bahan pengawet batik. Belakangan, biskuit yang mengandung racun itu diketahui berasal dari produksi CV Gabisco dan PT Lonbisco di Tangerang, PT Toronto (Palembang), PT National Biscuit (Medan), dan PT Sumber Ratu Layang Indah (Pontianak). Kelima pabrik biskuit itu memperoleh kiriman bahan beracun itu dari PT Firman Jaya Abadi (FJA), pamasok bahan baku pabrik biskuit. Semula, PT FJA memang memesan amonium bikarbonat (NH3HC03) -- bahan untuk merenyahkan biskuit -- dari importir di Hong Kong. Rupanya, di kapal pengangkutnya, MV Sun Kung S, NH3HC03 itu tertukar dengan sodium nitrit, yang diimpor PT Panca Kusuma Aneka Kusuma(PKAK), yang juga dimuat di kapal itu. Celakanya, kelima pabrik tadi tanpa mengecek lagi memakai racun itu. Malapetaka musibah "makanan beracun" pun datang. Baru pada akhir tahun, heboh itu yang telanjur berkembang menjadi histeria masal -- mereda. Semua yang terlibat kasus itu FJA, PT PKAK, dan kelima pengusaha pabrik tersebut diusut. Tapi yang muncul di pengadilan baru kedua terdakwa itu. Menurut dakwaan Jaksa H. Sulubi Siappo, kedua terdakwa sepatutnya bertanggung jawab atas produksi dan peredaran biskuit beracun itu. Sebab, mereka tak pernah melakukan pemeriksaan laboratorium terhadap bahan baku yang digunakannya, sebagaimana ketentuan Departemen Kesehatan. Dalam proses produksinya, Gabisco cuma menguji produknya dengan cara "mencicipi langsung adonan biskuit" itu. Hanya saja, dari delapan lapis dakwaannya, Jaksa Sulubi cuma menganggap satu dakwaannya yang terbukti. Yakni kedua terdakwa lalai memproduksi barang yang berbahaya sehingga menyebabkan kematian orang. Berdasarkan itu, jaksa menuntut keduanya masing-masing setahun dan 10 bulan penjara. Ternyata, majelis hakim mengempiskan lagi tuntutan itu. Kedua terdakwa, kata majelis, tidak mengetahui bahwa barang yang diperoleh dari PT FJA itu beracun. Selain itu, sambungnya, terdakwa telah menghentikan produksi dan menarik biskuit produknya dari peredaran, pada September 1989, setelah diperintahkan Bupati Tangerang. Ketua majelis hakim, Soaloon Siregar, mengaku menyayangkan kenapa ketiga korban biskuit beracun itu cuma diperiksa luar. Dengan kata lain bukannya otopsi. Begitupun pengacara kedua terdakwa, Unzir Syamsudin, tetap berpendapat bahwa kasus itu menjadi tanggung jawab PT FJA. "Klien kami cuma kena akibatnya saja," ujar Unzir. Tapi, sampai kini pengurus PT FJA ternyata cuma berstatus saksi dalam kasus ini. Karenanya, Unzir berniat menuntut PT FJA secara perdata, dengan ganti rugi Rp 500 juta. "Gara-gara dia, klien kami jadi sulit. Usahanya ditutup, 200 pekerjanya terpaksa dirumahkan." Persoalan yang lebih dari itu, kalau kedua terdakwa tak terbukti menyebabkan matinya para korban biskuit beracun, siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas musibah itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini