ADA tawa riang di sebuah rumah bilik di Desa Lemahtamba, Cirebon, pekan lalu. Padahal, Dasma, pemilik rumah itu, tak mengadakan kenduri. Para tetangganya datang begitu saja, tanpa diundang, tanpa ada yang mengomandokan. "Dasma disambut penduduk seperti orang yang pulang naik haji saja," kata Sali, tetangga Dasma. Bukan cuma sambutan, tapi sejumlah pemuda simpatisan Dasma akan menggunduli kepala mereka sebagai kaul atas kembalinya ayah enam anak itu. Dasma, 49, memang baru "pulang" ke rumahnya. Bukan dari Tanah Suci, melainkan dari Polsek Arawimangun, tempat ia ditahan selama tiga bulan. Dasma dituduh membuat petisi, yang ditandatangani oleh 50 warga, yang isinya tak mempercayai kepemimpinan Kepala Desa Munali. Agustus lalu, Dasma divonis Pengadilan Negeri Sumber tiga bulan penjara, potong masa tahanan. Tapi putusan itu dibatalkan Pengadilan Tinggi Jawa Barat, November lampau. Dasma dinyatakan tak bersalah, dan harus segera dibebaskan. Mengapa Dasma ditahan? Kisahnya berawal dari rasa tak puas dan desas-desus yang berkembang di seantero Desa Lemahtamba. Munali, kepala desa yang merangkap dukun, dianggap sudah terlalu lama menduduki jabatannya, lebih dari 20 tahun. Selain itu, sang kepala desa dikabarkan pula sering "melalap" gadis-gadis ingusan. Maka, begitu ada yang memberitahukan akan datang calon kepala desa baru, penduduk langsung setuju. Tanpa curiga, 50 penduduk segera membubuhkan tanda tangan mereka pada selembar kertas yang disodorkan Mashuri, yang mengaku petugas Korem Sunan Gunungjati. Ternyata, di samping bicara calon kepala desa baru, Mashuri juga mencantumkan tuduhan gemar memperkosa cewek pada Munali. Ketika pernyataan itu, yang lebih dikenal dengan Petisi 50 gaya Cirebonan, sampai di tangan Munali, ia marah besar, lalu lapor ke polisi. Lantas Dasma ditangkap dan diadili, sementara Mashuri hilang seperti ditelan bumi. Diadilinya Dasma membuat orang bertanya-tanya, mengingat tanda tangan Dasma tak tercantum dalam petisi itu sekalipun diteken massa di warungnya. "Namanya juga warung jadi, banyak orang kumpul. Lagi pula, semua orang percaya pada Mashuri," ujar Dasma. Pada persidangan Dasma, meski berjalan lancar, terlihat banyak kejanggalannya. Mashuri, biang keladi persoalan, tak pernah dihadirkan di sidang. Bahkan mereka yang ikut menandatangani petisi juga tak diwajibkan memberikan kesaksiannya. Alkisah, hanya Dasma yang dituding memfitnah Kepala Desa Munali. Tentang yang lainnya, pengadilan tampak tak ambil pusing. "Kami hanya memeriksa perkara yang dilimpahkan jaksa," ujar Hakim Ketua Arzham Yahya. Berbeda dengan Pengadilan Negeri Sumber, Pengadilan Tinggi Jawa Barat cukup jeli memeriksa banding Dasma. Menurut Supandi, yang mengetuai sidang, tak terpenuhi unsur kesengajaan yang meliputi pelanggaran atau pencemaran nama baik. Isi petisi tersebut menceritakan fakta yang benar, yaitu tentang masa jabatan Munali yang panjang. "Mereka menginginkan kepala desa baru yang berasal dari ABRI demi suksesnya pemilu mendatang. Dan itu tak meresahkan masyarakat," kata Supandi. Berdasarkan pertimbangan itulah Supandi membebaskan Dasma dari segala tuduhan, dan memulihkan hak, harkat, dan martabatnya. Putusan bebas murni untuk Dasma sekaligus menutup kemungkinan jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. "Sesuai dengan pasal 224 KUHAP, putusan bebas ini tak bisa dikasasi. Karena itu, kami akan menuntut balik dan ganti rugi," ujar Pengacara Ricky Umar Angkawijaya, penasihat hukum Dasma. Munali, yang tampak kaget mendengar keputusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat itu, kini sedang bersiap-siap menghadapi tuntutan balik Dasma. Tapi benarkah Munali gemar memperkosa gadis-gadis kecil? "Sebenarnya, kami hanya menginginkan kepala desa dari ABRI. Yang lain-lain, tidak tahu," kata Dasma. Erlina Soekarno Laporan Biro Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini