LOKASARI -- yang dulu dikenal dengan nama Princen Park, tempat yang pernah membesarkan Tan Tjeng Bok, Wolly Sutinah, Titiek Puspa, dan Henny Purwonegoro -- kini telah rata dengan tanah. Di situ tidak ada lagi peramal nasib, peramal angka Porkas, atau acara tari jaipongan. Di atas tanah bekas tempat hiburan tertua di Jakarta itu, awal bulan ini, Gubernur R. Soeprapto meletakkan batu pertama pembangunan taman hiburan baru, serta proyek pertokoan yang dikelola PT Gemini Sinar Perkasa. Rencana pembangunan itu, sayangnya, mengabaikan ketentuan hukum. Sampai saat ini, gugatan pengelola lama, PT Tenang Jaya, atas taman hiburan itu masih belum selesai. Sekalipun, Juli lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Pemerintah DKI dan PT Gemini untuk menghentikan segala kegiatan di areal taman hiburan itu, toh keputusan itu tidak diindahkan tergugat. Terpaksa Mahkamah Agung, 6 Desember lalu, memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memperingatkan Pemda DKI Jakarta dan PT Gemini menaati perintah pengadilan. Senin pekan ini, peringatan Mahkamah Agung itu telah disampaikan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ke Pemda DKI. "Perkara 'kan masih berjalan di tingkat banding. Kalau pembongkaran dan pembangunan diteruskan, bagaimana nanti jika ternyata pengadilan memenangkan pihak Tenang Jaya? Bagaimana mengeksekusinya lagi?" kata Hakim Agung Pengawas Daerah Jakarta, Soebijantono. Karena itu, katanya Mahkamah Agung memerintahkan agar keadaan di tanah sengketa tidak diganggu dulu, sampai ada keputusan hakim yang berkekuatan tetap. Taman Hiburan Lokasari dibangun oleh NV Handel Bouw en Cultuur Maatschappij Tan Hin Hie pada 1937, sebagai tempat hiburan para meneer. PT Tenang Jaya, yang menggantikan perusahaan Tan Hin Hie mengelola tempat hiburan itu, mendapat Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah seluas 5,4 ha di Jalan Mangga Besar 81 tersebut sampai 1980. Sebelum jangka waktu itu habis, Tenang Jaya mengaku telah mengajukan permohonan perpanjangan HGB, dan sekaligus permohonan untuk meremajakan taman hiburan tersebut sesuai dengan kehendak DKI. Ternyata, Pemda DKI menganggap Tenang Jaya belum memenuhi persyaratan, kendati sudah diberi kesempatan beberapa kali. "Tenang Jaya hanya menuntut perpanjangan HGB, tapi tidak mengajukan proposal yang kongkret seperti yang kami kehendaki," kata Wakil Gubernur Eddie M. Nalapraya. Sebab itu, kata Eddie, Pemda DKI menerima pengelola baru Gemini, karena membawa proposal yang lengkap dan menyediakan dana Rp 22 milyar. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Abdul Razak, yang mengadili perkara itu, mengabulkan sebagian gugatan Tenang Jaya. Sebab itu, dalam vonis, Razak memerintahkan Pemda DKI dan Gemini menghentikan kegiatan meratakan taman hiburan itu. Pemda DKI tidak mengindahkan vonis hakim yang memang belum berkekuatan tetap itu. Bahkan, setelah taman hiburan itu rata dengan tanah, Gubernur R. Soeprapto sendiri yang meletakkan batu pertama pembangunan proyek baru di atas tanah tersebut. Karena itu, kuasa Tenang Jaya, Thomas Tampubolon, mengadukan ulah Pemda DK dan Gemini itu ke Mahkamah Agung. Hakim Agung Soebijantono, 6 Desember lalu, telah memerintahkan pembongkaran taman hiburan itu dihentikan. Alasannya Instruksi Mendagri pada 1984, yang memerintahkan semua kepala daerah mengambil sikap status quo atas semua kasus perumahan dan tanah yang masih dalam proses pengadilan. "Sudah diperintahkan status quo, ya mbok itu dipatuhi. Kalau pembangunan diteruskan dan ternyata nanti gugatan diterima, Pemda 'kan terpaksa membayar uang paksa," kata Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Soebandi. Menurut Thomas Tampubolon, perintah MA itu seharusnya ditaati Pemda DKI. "Bila tidak, hal itu akan menimbulkan kesan di masyarakat bahwa kekuasaan melebihi ketentuan hukum. Mahkamah Agung itu 'kan lembaga peradilan tertinggi," katanya. Kesan rupanya tidak begitu menjadi soal bagi Pemda DKI. "Lha, wong, taman hiburan itu sudah rata, baru di bilang jangan," kata Kepala Humas Pemda DKI, S. Sudarsin. Sebab itu, kata Sudarsin, Pemda DKI akan meneruskan pembangunan itu tanpa terganggu perkara yang lagi berjalan. Alasannya, menurut Sudarsin, adalah persetujuan DPRD DKI dan Menteri Dalam Negeri. Mengenai MA, "Kami akan meminta pengertian Mahkamah Agung bahwa proyek itu perlu diremajakan. Kalau bisa, keputusan kasasi nanti mendukung rencana kami," ujar Sudarsin. K.I. Laporan Happy S. (Biro Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini