Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jauh Vonis dari Utang

19 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ATURAN kepailitan yang sering dibilang kaku dan galak, belakangan, semakin memudar. Itu karena lahir peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu)?yang hadir atas desakan Dana Moneter Internasional (IMF)?pada 22 April 1998. Setelah disempurnakan sebagai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, aturan itu diharapkan memberikan kepastian hukum bagi pemberi utang, terutama perusahaan asing. Namun, begitu aturan dijalankan, dengan dibukanya pengadilan niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada 1 September 1998, ternyata banyak kreditur yang menganggap praktek hukum kepailitan lebih melindungi debitur (perusahaan pengutang) di Indonesia ketimbang kreditur. Soalnya, banyak debitur tetap luput dari vonis pailit (bangkrut). Padahal, melalui upaya terakhir itu, kreditur berharap, bila debitur dipailitkan, asetnya bisa segera dijual untuk melunasi utang. Tak cuma itu sorotan negatif terhadap peradilan kepailitan. Proses perkaranya yang dijamin bakal cepat jadinya juga berkepanjangan?karena perkara bisa berlangsung sampai proses peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Sudah begitu, putusan peninjauan kembali pun tak konsisten. Contohnya vonis peninjauan kembali dalam perkara kepailitan PT Hutama Karya, yang diberitakan media massa pekan lalu. Semula, Hutama Karya, badan usaha milik negara di bidang konstruksi jalan raya, dan PT Bina Maint dituntut pailit oleh PT Jaya Readymix dan PT Primacoat Lestari. Utang Hutama sebenarnya hanya Rp 2,3 miliar. Hutama juga diketahui menunggak utang kepada PT Interworld Steel Mills dan PT Bina Adidaya. Di pengadilan niaga, Hutama luput dari vonis pailit. Tapi, di Mahkamah Agung, pada 23 Februari lalu, Hutama dipailitkan. Rupanya, Hutama pantang mundur, dengan mengajukan pe-ninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Hutama mengajukan novum (bukti baru) berupa pelunasan utang kepada tiga PT yang memberinya utang tadi. Selain itu, Hutama berdalil bahwa utangnya kepada dua penuntut belum jatuh tempo. Ternyata, pada 6 April lalu, majelis hakim agung yang langsung dipimpin Ketua Mahkamah Agung Sarwata membenarkan dalil Hutama. Selamatlah Hutama dari tebasan pedang kepailitan. Tentu saja putusan itu diprotes oleh kuasa hukum PT Jaya Readymix, Teras Narang. "Kalau bukti baru itu terjadi setelah persidangan perkaranya, itu bukan novum," ucap Teras. Yang jelas, ujarnya, Hutama tidak hanya mengemplang utang kepada kedua penuntut, tapi juga kepada 162 kreditur, yang sebagian besar perusahaan asing. Sebaliknya yang terjadi pada putusan peninjauan kembali dalam kasus pailit PT Dharmala Agrifood. Dalam perkara ini, anak perusahaan Grup Dharmala yang bergerak di bidang produksi dan distribusi pakan ternak itu dituntut oleh Bank Niaga, ING Indonesia Bank, dan International Finance Corporation?anak perusahaan Bank Dunia. Sebab, Dharmala tak membayar utang kepada ketiga penuntut masing-masing sebesar Rp 10 miliar, US$ 10 juta, dan US$ 35 juta. Di pengadilan niaga dan di tingkat kasasi, Dharmala yang dibela oleh pengacara Hotman Paris Hutapea itu menang. Hakim menganggap utang Dharmala kepada Bank Niaga termasuk kredit untuk transaksi derivatif, yang dilarang pemerintah, berdasarkan surat keputusan direksi Bank Indonesia tertanggal 29 Desember 1995. Karena itu, perjanjiannya menjadi tidak sah dan batal. Sedangkan utang Dharmala kepada dua penuntut lainnya dinilai hakim belum jatuh tempo. Kali ini, para krediturlah yang mengajukan peninjauan kembali. Mereka menggunakan novum berupa surat dari Bank Indonesia tertanggal 22 Februari lalu, yang menyatakan bahwa perjanjian transaksi valuta asing antara Bank Niaga dan Dharmala bukan kredit yang dilarang. Sekali lagi majelis hakim agung yang diketuai Sarwata, juga pada 6 April lalu, menerima bukti baru tersebut. Berdasarkan itu, Dharmala dipailitkan. Vonis pailit itu diiklankan melalui koran Bisnis Indonesia edisi Kamis pekan lalu. Sebagaimana Teras, Hotman mengaku merasa kecewa dengan pertimbangan Mahkamah Agung mengenai bukti baru. Sebab, surat Bank Indonesia itu dibuat sewaktu perkara sedang ditangani Mahkamah Agung. Itu berarti jauh setelah perkara pailitnya disidangkan di tingkat pertama. Namun, Hotman menganggap dirinya tetap telah memenangi pertarungan hukum, sejak perkara itu di tingkat pertama sampai di tingkat kasasi. "Kekalahan Dharmala pada proses peninjauan kembali lebih karena tekanan politis, karena pengaruh Bank Dunia dan IMF," ujarnya. Happy S., Hendriko L. Wiremmer, dan Darmawan Sepriyossa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus